Dipakai sekitar 60 persen dari 26,5 juta pengguna aktif bulanan Amerika Serikat dengan rentang usia pengguna antara 16 hingga 24 tahun.
Andi Nugroho | Jumat, 07 Agustus 2020 - 13:30 WIB
Cyberthreat.id –TikTok telah menjadi aplikasi populer tahun lalu di Amerika Serikat. Aplikasi milik ByteDance Ltd itu—berkantor pusat di Beijing—dipakai sekitar 60 persen dari 26,5 juta pengguna aktif bulanan AS dengan rentang usia antara 16 hingga 24 tahun.
Tahun lalu, sorotan terhadap TikTok telah muncul, misal, dari kalangan militer AS yang lebih dulu diminta tak memakai TikTok di ponselnya. (Baca: Taruna Angkatan Darat AS Dilarang Gunakan TikTok)
Sorotan itu di tengah ketegangan AS dan China terkait Huawei Technologies. AS menuding perangkat 5G Huawei berisiko terhadap keamanan nasionalnya. Sayangnya, isu Huawei “menenggelamkan” TikTok. (Baca: Ini Strategi TikTok Menghindari Penyelidikan AS)
Media 2020, ketika AS gencar melarang Huawei, termasuk membujuk sekutunya, seperti Inggris, Australia, Selandia Baru, dan sejumlah negara di Eropa, India mengalami konflik dengan China.
Konflik yang bermula dari perkelahian militer kedua negara di perbatasan Himalaya itu, berujung pada pelarangan puluhan aplikasi China oleh pemerintah India, salah satunya TikTok. Padahal, India adalah salah satu pasar terbesar TikTok di luar China.
TikTok adalah sensasi baru di India. Dengan lebih dari 600 juta unduhan, India menyumbang 30 persen dari 2 miliar unduhan di seluruh dunia. Sebelum diblokir, ByteDance berencana untuk berinvestasi senilai US$1 miliar di India yang merupakan pasar pertumbuhan utama di mana TikTok mempekerjakan 2.000 orang. (Baca: Jeritan Hati Content Creator Setelah Pemerintah India Blokir TikTok)
Di Negeri Paman Sam, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo turut berkomentar usai India melarang TikTok, bahwa AS juga akan melarangnya dalam waktu dekat. Tak lama kemudian, muncul RUU larangan pegawai negeri sipil menginstal TikTok di perangkat pemerintah. (Baca: AS Larang Pegawainya Instal TikTok di Perangkat Pemerintah)
Ketika isu Huawei “mereda”, sejak Inggris akhirnya ikuti jejak AS yang melarang perangkat China itu, TikTok menjadi isu baru ketegangan antara AS dan China.
Presiden Donald Trump mengatakan tetap akan melarang TikTok meski Microsoft berencana membeli operasional perusahaan khusus di AS. Namun, ia berubah pikiran dan memberikan waktu hingga 15 September kepada Microsoft dan ByteDance untuk negosiasi dalam mencari kesepakatan. Tak hanya TikTok AS, Microsoft juga berencana membeli layanan tersebut di Kanada, Australia, dan Selandia Baru. (Baca: TikTok Akan Dibeli Microsoft, Trump Berubah Pikiran: Silakan Negosiasi!)
Bagaimana jejak perjalanan TikTok yang kini mendunia hingga akhirnya berseteru dengan AS, berikut ini seperti dirangkum dari Reuters, diakses Jumat (7 Agustus 2020):
2012 – ByteDance didirikan oleh Zhang Yiming di Beijing.
2016 – ByteDance meluncurkan Douyin, TikTok versi Cina.
2017 – TikTok diluncurkan. ByteDance membeli aplikasi video AS Flipgram dan Musical.ly.
2018 – ByteDance mengintegrasikan Musical.ly ke TikTok. Pemerintah Indonesia sempat melarang TikTok karena mengandung "pornografi, konten yang tidak pantas, dan penistaan agama". Larangan dicabut seminggu kemudian setelah TikTok setuju untuk menghapus "semua konten negatif" dari aplikasi dan membuka kantor di Indonesia.
Februari 2019 – ByteDance setuju untuk membayar denda US$ 5,7 juta kepada Komisi Perdagangan Federal AS atas pengumpulan informasi pribadi ilegal dari anak di bawah umur.
Maret 2019 – TikTok melampaui 1 miliar unduhan secara global di App Store Apple dan Google Play.
April 2019 – Pengadilan di negara bagian Tamil Nadu di India selatan meminta pemerintah federal India untuk melarang pengunduhan TikTok, yang katanya mendorong pornografi. Larangan sementara berlangsung selama dua minggu.
Akhir 2019 – Komite Investasi Asing di Amerika Serikat mulai meninjau pembelian TikTok dari Musical.ly.
April 2020 – TikTok mencapai 2 miliar unduhan secara global.
Mei 2020 – TikTok menunjuk mantan kepala streaming Walt Disney Kevin Mayer sebagai CEO.
10 Juni 2020 – Regulator Uni Eropa mulai meneliti praktik TikTok setelah komisi perlindungan data Belanda memutuskan untuk membuka penyelidikan atas kebijakan perusahaan dalam melindungi data anak-anak.
29 Juni 2020 – TikTok dan lusinan aplikasi China lainnya dilarang oleh India dengan alasan keamanan. Larangan itu muncul setelah konflik perbatasan yang mematikan antara India dan China awal Juni.
6 Juli 2020 – Ketika ditanya oleh Fox News apakah Amerika Serikat sedang melihat potensi pelarangan TikTok, kata Menteri Luar Negeri Mike Pompeo. (Baca: Tiga Pejabat Donald Trump Serang TikTok)
7 Juli 2020 – Trump menyarankan larangan TikTok dapat dikerahkan untuk menghukum Cina karena menyebarnya virus corona.
20 Juli 2020 – Australia sedang memeriksa TikTok untuk risiko yang mungkin ditimbulkan terkait dengan potensi campur tangan asing dan masalah privasi data, sumber pemerintah kepada Reuters.
28 Juli 2020 – Kepala Divisi Kecerdasan TikTok Ma Wei-Ying memutuskan hengkang dari perusahaan. Ini lantaran perusahaan mendapat tekanan berat dari AS terkait keamanan dan privasi pengguna. Ma Wei-Ying yang merupakan mantan pekerja Microsoft bergabung dengan ByteDance untuk menjadi wakil presiden dan kepala lab AI pada 2017. (Baca: TikTok Hadapi Banyak Tekanan, Bos Kecerdasan Buatan Hengkang)
29 Juli 2020 – Anggota parlemen dari Partai Demokrat Liberal yang berkuasa di Jepang memutuskan untuk mendesak pemerintah mengambil langkah-langkah untuk membatasi penggunaan TikTok, khawatir bahwa data pengguna dapat berakhir di tangan pemerintah China, lapor lembaga penyiaranan publik NHK. (Baca: Jepang Wacanakan Blokir TikTok, Diajak Amerika?)
31 Juli 2020 – Trump memberitahu wartawan bahwa dia berencana untuk melarang TikTok di Amerika Serikat dalam waktu 24 jam.
2 Agustus 2020 – Microsoft mengumumkan sedang menjajaki pembelian layanan TikTok di AS, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.
4 Agustus 2020 – Australia belum menemukan bukti yang menunjukkan bahwa mereka harus membatasi TikTok, kata Perdana Menteri negara itu Scott Morrison.
5 Agustus 2020 – Warganet China menghujat ByteDance di Weibo lantaran perusahaan dianggap terlalu cepat menyerah untuk menjual operasional TikTok AS ke Microsoft.
6 Agustus 2020 – Senat AS menyetujui RUU pelarangan pegawai negeri federal untuk menginstal TikTok di perangkat pemerintah.[]
TikTok mengatakan mereka bisa membawanya ke pengadilan AS untuk memastikan mereka diperlakukan dengan adil.
Yuswardi A. Suud | Jumat, 07 Agustus 2020 - 20:30 WIB
Cyberthreat.id - Presiden Amerika Serikat Donald Trump resmi menandatangani perintah eksekutif berisi larangan bagi perusahaan dan individu AS untuk bertransaksi dengan Bytedance selaku pemilik TikTok dan Tencent yang punya WeChat.
Dilansir dari TechCrunch, larangan itu akan mulai berlaku mulai 45 hari ke depan sejak diteken pada 6 Agustus 2020 waktu setempat.
Sebelumnya, pada 1 Agustus lalu, Trump memberi waktu 45 hari bagi Microsoft untuk bernegosiasi membeli TikTok, setidaknya untuk wilayah operasional AS. Ini berarti, larangan tersebut berlaku 5 hari setelah batas negosiasi TikTok dengan Microsoft berakhir. Dengan kata lain, jika negosiasi dengan Microsoft gagal hingga 15 September, maka 5 hari sesudahnya, tak ada lagi transaksi jual beli untuk TikTok dan WeChat dengan perusahaan dan individu warga AS.
Sebelumnya AS juga telah menyebut aplikasi video pendek milik China, TikTok, dan aplikasi messenger WeChat sebagai ancaman signifikan bagi keamanan nasional.
"Aplikasi TikTok dapat digunakan untuk kampanye disinformasi yang menguntungkan Partai Komunis China, dan Amerika Serikat harus mengambil tindakan agresif terhadap pemilik TikTok untuk melindungi keamanan nasional kita," kata Trump bulan lalu.
Ada pun WeChat, Trump mengatakan,"secara otomatis mengambil banyak informasi dari penggunanya. Pengumpulan data ini mengancam, lantaran mengizinkan Partai Komunis China mengakses informasi pribadi dan kepemilikan orang Amerika."
Sebelumnya pada Minggu ini, Trump mengatakan akan mendukung penjualan operasi TikTok di AS ke Microsoft Corp jika pemerintah AS mendapat "porsi besar" dari harga penjualan. Namun, ia juga memperingatkan akan melarang layanan tersebut dipakai di AS pada 15 September.
Seorang juru bicara Tencent mengatakan perusahaan sedang meninjau perintah eksekutif untuk "mendapatkan pemahaman penuh".
Sedangkan TikTok, menurut Reuters, mengatakan pihaknya terkejut dengan perintah eksekutif Presiden Trump untuk melarang aplikasi tersebut, dan mengatakan mereka bisa membawanya ke pengadilan AS untuk memastikan mereka diperlakukan dengan adil.
"Kami akan mengejar semua opsi pemulihan yang tersedia bagi kami untuk memastikan bahwa aturan ukum tidak dibudang dan perusahaan kami serta pengguna kami dperlakukan dengan adil - jika bukan oleh Administrasi (pemerintah), maka oleh pengadilan di AS," tulis TikTok di websitenya yang menjadi rujukan Reuters.
Namun, ketika Cyberthreat.id mengakses tautan tersebut pada Jumat malam (7 Agustus 2020), konten di tautan https://newsroom.tiktok.com/en-us/tiktok-responds sudah tidak tersedia lagi.[]
Larangan itu akan mulai berlaku mulai 45 hari ke depan sejak diteken pada 6 Agustus 2020 waktu setempat.
Yuswardi A. Suud | Jumat, 07 Agustus 2020 - 22:00 WIB
Cyberthreat.id - Presiden Amerika Serikat Donald Trump dikabarkan telah menandatangani perintah eksekutif berisi larangan bagi perusahaan dan individu AS untuk bertransaksi dengan Bytedance selaku pemilik TikTok dan Tencent yang punya WeChat.
Larangan itu akan mulai berlaku mulai 45 hari ke depan sejak diteken pada 6 Agustus 2020 waktu setempat.
"Penyebaran [aplikasi yang dikendalikan oleh pemerintah China] terus mengancam keamanan nasional, kebijakan luar negeri, dan ekonomi Amerika Serikat," bunyi perintah itu.
“Amerika Serikat harus mengambil tindakan agresif terhadap pemilik TikTok untuk melindungi keamanan nasional kita,” kata Trump.
Seperti diketahui, Amerika Serikat sudah lama melempar tudingan TikTok berbagi data penggunanya dengan pemerintah China, sesuatu yang dianggap berbahaya bagi keamanan nasional AS. Ada pun perintah eksekutif ini muncul setelah Trump memberi waktu bagi Microsoft untuk bernegosiasi dengan ByteDance untuk mengakuisi TikTok, setidaknya untuk operasional di Amerika Serikat. Tenggat waktu yang ditetapkan untuk negosiasi adalah hingga 15 September. Artinya, jika kesepakatan tidak tercapai, TikTok harus angkat kaki dari Amerika Serikat.
Merespon manuver Trump itu, TikTok mengunggah sebuah pernyataan sikap di websitenya dalam bahasa Inggris pada Jumat (7 Agustus 2020). Terjemahannya kurang lebih seperti di bawah ini.
TikTok adalah komunitas yang penuh dengan kreativitas dan semangat, rumah yang menghadirkan kegembiraan bagi keluarga dan karier yang bermakna bagi para content creator. Dan kami sedang membangun platform ini untuk jangka panjang. TikTok akan ada di sini selama bertahun-tahun yang akan datang.
Kami terkejut dengan Perintah Eksekutif baru-baru ini, yang dikeluarkan tanpa proses hukum. Selama hampir setahun, kami telah berupaya untuk terlibat dengan pemerintah AS dengan itikad baik untuk memberikan solusi konstruktif atas kekhawatiran yang telah diungkapkan.
Yang kami temui adalah bahwa Pemerintah AS tidak memperhatikan fakta, mendikte ketentuan perjanjian tanpa melalui proses hukum standar, dan mencoba memasukkan dirinya ke dalam negosiasi antara bisnis swasta.
Kami memperjelas niat kami untuk bekerja dengan pejabat yang sesuai guna merancang solusi yang bermanfaat bagi pengguna, pembuat konten, mitra, karyawan, dan komunitas yang lebih luas di Amerika Serikat. Sudah ada, dan terus ada, tidak ada proses hukum atau kepatuhan terhadap hukum. Teks keputusan tersebut menjelaskan bahwa telah ada ketergantungan pada "laporan" tanpa nama tanpa kutipan, kekhawatiran bahwa aplikasi "dapat" digunakan untuk kampanye informasi yang salah tanpa pembuktian dari ketakutan semacam itu, dan kekhawatiran tentang pengumpulan data yang adalah standar industri untuk ribuan aplikasi seluler di seluruh dunia.
Kami telah menjelaskan bahwa TikTok tidak pernah membagikan data pengguna dengan pemerintah China, atau menyensor konten atas permintaannya. Faktanya, kami menyediakan pedoman moderasi dan kode sumber algoritme di Pusat Transparansi kami, yang merupakan tingkat akuntabilitas yang tidak dimiliki oleh perusahaan sejenis. Kami bahkan menyatakan kesediaan kami untuk mengejar penjualan penuh bisnis AS ke perusahaan Amerika.
Perintah Eksekutif ini berisiko merusak kepercayaan bisnis global pada komitmen Amerika Serikat terhadap supremasi hukum, yang telah menjadi magnet bagi investasi dan memacu pertumbuhan ekonomi Amerika selama beberapa dekade. Dan ini menjadi preseden berbahaya untuk konsep kebebasan berekspresi dan pasar terbuka.
Kami akan mengejar semua pemulihan yang tersedia bagi kami untuk memastikan bahwa aturan hukum tidak dibuang dan bahwa perusahaan kami dan pengguna kami diperlakukan dengan adil - jika tidak oleh Administrasi (pemerintah), maka oleh pengadilan AS.
Kami ingin 100 juta orang Amerika yang menyukai platform kami karena ini adalah rumah untuk berekspresi, hiburan, dan koneksi untuk mengetahui: TikTok tidak pernah, dan tidak akan pernah, goyah dalam komitmen kami kepada Anda. Kami memprioritaskan keselamatan, keamanan, dan kepercayaan komunitas kami - selalu. Kepada pengguna TikTok Amerika kami, pembuat konten, mitra, dan keluarga, Anda memiliki hak untuk mengungkapkan pendapat Anda kepada perwakilan terpilih Anda (di parlemen), termasuk Gedung Putih. Anda memiliki hak untuk didengarkan.[]
Bill Gates mengatakan dirinya bukanlah target audiens untuk TikTok. Namun, dia percaya Microsoft akan mampu mengamankan data pengguna TikTok di AS.
Yuswardi A. Suud | Jumat, 07 Agustus 2020 - 16:52 WIB
Cyberthreat.id - Pendiri Microsoft, Bill Gates, turut angkat bicara terkait rencana perusahaannya untuk mengakuisisi operasional TikTok di Amerika Serikat. Sebelumnya, Presiden Donald Trump mengancam memblokir TikTok di negara itu karena diduga kuat membagikan data pengguna Amerika Serikat ke pemerintah China.
Seperti diketahui, perusahaan induk TikTok, ByteDance, yang berbasis di China memiliki kantor pusat di AS, tepatnya di wilayah selatan California. Trump mengatakan TikTok berpotensi menjadi alat intelijen China yang memata-matai AS.
Berbicara dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg pada 5 Agustus lalu, Bill Gates mengatakan dalam proposal akuisisi, Microsoft mencantumkan rencana memindahkan semua data pengguna TikTok di AS agar tidak disalahgunakan.
Bill Gates mengatakan dirinya bukanlah target audiens untuk TikTok. Namun, dia percaya Microsoft akan mampu mengamankan data pengguna TikTok di AS.
"Microsof sangat berhati-hati dengan janji datanya. Kami tidak akan melakukan hal-hal yang memusuhi, atau dipandang sebagai permusuhan," katanya.
Gates mengatakan dirinya sama bingungnya dengan siapa pun ketika mencoba melacak apa yang terjadi selama sepekan terakhir antara Presiden Trump, Microsoft dan ByteDance yang merupakan induk dari TikTok. Apalagi jika dihadapkan pada pilihan: apakah penjualan TikTok harus dipaksakan atau aplikasi itu dilarang di Amerika.
Ditanya tentang apakah dirinya ingin melihat TikTok bergabung dalam keluarga Microsoft, Gates hanya memuji inovasi platform berbagi video pendek itu.
“Sangat menyenangkan TikTok menciptakan beberapa kompetisi melalui inovasi. Tampaknya mencegah inovasi itu tersedia tidak masuk akal ketika Anda menginginkan hal-hal baru di luar sana, "kata Gates yang mengaku sedang fokus pada kegiatan filantropi dan pandemi Covid-19.
"Saya mungkin akan memberikan saran pada beberapa hal, tetapi saya bukan penentu keputusan yang akan dibuat," katanya.
Sebelumnya, dalam pembicaraan dengan CEO Microsoft, Satya Nadella, Presiden Trump mengatakan TikTok tak dapat dikontrol dari sisi keamanan.
Trump juga mengingatkan, jika Microsoft berniat membeli TikTok, sebaiknya membeli seutuhnya daripada hanya menjadi pemegang saham mayoritas. Trump memberi waktu hingga 15 September bagi Microsoft dan perusahaan Amerika lain untuk bernegosiasi.[]
Rencana ini memberi kesempatan langka bagi Microsoft untuk menjadi pesaing utama bagi raksasa media sosial seperti Facebook dan Snap.
Yuswardi A. Suud | Senin, 03 Agustus 2020 - 16:16 WIB
Cyberthreat.id - Microsoft mengonfirmasi sedang dalam pembicaraan untuk mengakuisisi aplikasi video pendek TikTok di Amerika Serikat. Negosiasi ini berlangsung di tengah ancaman Presiden Donald Trump untuk memblokir operasional TikTok di negara itu.
Dilansir dari Reuters, Senin (3 Agustus 2020), Microsoft secara resmi menyatakan minatnya pada hari Minggu setelah Trump menyatakan memberi waktu bagi kedua perusahaan untuk mencapai kesepakatan dalam waktu 45 hari.
Rencana akuisi TikTok versi AS ini --dengan 100 juta pengguna di AS-- memberi kesempatan langka bagi Microsoft untuk menjadi pesaing utama bagi raksasa media sosial seperti Facebook dan Snap.
Microsoft, yang juga memiliki jaringan media sosial profesional LinkedIn, juga berusaha membeli operasional TikTok di Kanada, Australia, dan Selandia Baru.
ByteDance belum mengkonfirmasi kabar tersebut secara terbuka. Tetapi dalam surat internal kepada staf pada hari Senin yang dilihat Reuters, pendiri dan CEO perusahaan Zhang Yiming mengatakan perusahaan telah memulai pembicaraan dengan perusahaan teknologi yang tidak disebutkan namanya.
Surat itu juga mengatakan ByteDance tidak setuju dengan sikap yang diambil oleh Komite Investasi Asing di Amerika Serikat (CFIUS) bahwa mereka harus sepenuhnya mendivestasi operasi TikTok di Amerika.
"Kami tidak setuju dengan kesimpulan CFIUS ini," kata surat itu tetapi menambahkan: "... kami memahami keputusan dalam lingkungan makro saat ini."
ByteDance tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Trump mengatakan pada hari Jumat bahwa ia merencanakan larangan di tengah kekhawatiran bahwa kepemilikan China merupakan risiko keamanan nasional karena data pribadi yang ditangani.[]