Wabah virus corona tak hanya menjadi ancaman di dunia nyata. Di ruang siber, teknologi ibarat pedang bermata dua. Efek Medusa pun tak terelakkan.
Yuswardi A. Suud | Kamis, 05 Maret 2020 - 20:30 WIB
Cyberthreat.id - Dua bulan sudah virus corona menjadi momok global. Bermula dari kota Wuhan di Provinsi Hubei China awal Desember lalu, virus corona kini menjalar ke 77 negara. Rumor dan fakta pun berseliweran tanpa batas. Fakta bahwa belum ada obat yang ampuh untuk membunuh virus tersebut, membuat banyak orang kalang kabut.
Saat laporan ini ditulis, situs yang mencatat penyebaran virus itu secara global bikinan Johns Hopkins University di Amerika, menyebutkan sudah 95.748 orang terinfeksi, 3.286 diantaranya meninggal, dan 53.423 dinyatakan bisa disembuhkan.
Padahal, pada 11 Februari lalu jumlahnya masih 43.141 orang, dengan 1.018 jiwa diantaranya meninggal dunia dan 4.340 orang dinyatakan sembuh.
Di dunia nyata, pemerintah di negara-negara yang terinfeksi selain China, antara lain Korea Selatan, Italia, Rusia, Singapura, juga Indonesia, membatasi lalu lintas orang antar negara. Mereka yang terinfeksi dilacak dengan siapa saja mereka pernah berinteraksi. Yang paling menderita tentu warga China, mereka ditolak dimana-mana.
Di ruang siber, dunia yang terkoneksi lintas negara, virus corona muncul dalam bentuk lain. Ada yang menyebarkan kepanikan lewat disinformasi dan hoax ke seantero bumi, namun tak sedikit pula yang memanfaatkan teknologi untuk membantu mengatasi penyebaran corona, meskipun perusahaan-perusahaan teknologi juga terpukul oleh wabah tersebut.
Di China, misalnya, terlepas dari kontroversi yang muncul, pemerintah setempat mengggandeng raksasa e-commerce Alibaba untuk membuat aplikasi yang dapat mendeteksi apakah seseorang telah melakukan 'kontak dekat' dengan orang-orang yang terpapar virus corona.
Untuk menggunakan aplikasi yang disebut The Alipay Health Care itu, pengguna diharuskan memindai QR code di smartphone menggunakan aplikasi Alipay. Nantinya, aplikasi akan memindai pemilik ponsel dengan warga hijau, kuning, atau merah.
Jika yang keluar adalah warna hijau, artinya orang tersebut sehat dan dapat berkeliaran di kota tanpa batas. Jika mendapat warna kuning, itu artinya harus menjalani karantina tujuh hari. Sedangkan jika mendapat warna merah, orang itu harus menjalani karantina 14 hari.
Belakangan, laporan The New York Times menyebutkan terkadang aplikasi itu tidak akurat. Seseorang yang sebelumnya mendapat warna hijau, hari berikutnya berganti menjadi merah.
Namun, Alibaba tak menyerah. Terbaru, perusahaan itu mengatakan sedang mengembangkan teknologi artificial intelligence atau kecerdasan buatan untuk mendeteksi dan mendiagnosa apakah seseorang terinfeksi corona atau tidak.
Alibaba menyebut, sistem barunya itu dapat mendeteksi virus corona lewat pemindaian momografi terkomputerisasi atau yang biasa disebut CT scan pada bagian dada seseorang. Teknologi itu diklaim akurasinya mencapai 96 persen dalam membedakan kasus pneumonia virus biasa dengan pneumonia virus corona. Diketahui, virus corona dapat menyebabkan pneumonia atau infeksi yang menimbulkan peradangan paru-paru.
Para peneliti di Alibaba Damo Academy menyebut mereka telah melatih model AI-nya dengan data sampel lebih dari 5.000 kasus virus corona dan telah diuji di rumah sakit di seluruh China.
Dengan algoritma itu, Alibaba juga mengklaim hanya butuh waktu 20 detik bagi AI untuk menyimpulkan apakah seseorang terinfeksi virus corona atau tidak. Biasanya, dokter butuh waktu sekitar 15 menit untuk mendiagnosis pasiennya melalui CT scan.
Nikkei's Asian Review melaporkan, teknologi AI ini setidaknya telah diadopsi di lebih dari 100 rumah sakit di provinsi, Hubei, Guangdong dan Anhui.
Sebelumnya, dua perusahaan raksasa China yang berfokus pada AI, Megvii dan Baidu juga telah mengembangkan sistem pemindaian suhu tubuh berbasis kecerdasan buatan. Alat pemindaian itu dapat mendeteksi suhu tubuh dan mengirimkan peringatan kepada pekerja perusahaan jika suhu tubuh seseorang tinggi hingga demam.
Peluncuran Megvii dan Baidu dilakukan tak lama setelah pemerintah Beijing menetapkan langkah-langkah pemantauan suhu di semua stasiun kereta bawah tanah. Sistem Megvii disebut-sebut dapat mendeteksi suhu tubuh hingga 15 orang per detik.
Ada pun Baidu, salah satu perusahaan mesin pencari terbesar di China, menyaring penumpang kereta bawah tanah di stasiun Qinghe dengan pemindai inframerah. Namun, mereka juga menggunakan sistem pengenalan wajah, mengambil foto wajah penumpang.
Jika sistem Baidu mendeteksi suhu tubuh setidaknya 99 derajat Fahrenheit, selanjtunya mesin mengirimkan peringatan kepada anggota staf untuk dianalisis. Teknologi ini dapat memindai suhu lebih dari 200 orang per menit.
***
Terpaut ribuan kilometer dari China, Center for Systems Science and Engineering (CSSE) dariJohn Hopkins University mengambil inisiatif untuk membuat sebuah dashboard digital yang bisa diakses dari seluruh dunia. Dashboad itu merekam persebaran wabah virus corona secara real-time. Pasokan datanya didapat dari Organisasi Kesehatan Dunia, WHO.
Mengudara pertama kali secara publik pada 22 Januari lalu, para peneliti membuat semacam pemetaan global yang memperlihatkan lokasi dan jumlah kasus Covid-19 yang terkonfirmasi, jumlah korban meninggal, hingga mereka yang berhasil disembuhkan di semua negara yang terdampak.
"Ini dikembangkan untuk memberi para peneliti, otoritas kesehatan masyaraakt, dan masyarakat umum alat yang mudah digunakan untuk melacak wabah saat terungkat," tulis John Hopkins University di laman resminya.
Selama 22 - 31 Januari 2020, seluruh pengumpulan dan pemrosesan data dikelola secara manual. Mulai 1 Februari, barulah CSSE mengadopsi strategi aliran data semi-otomatis dengan data utama bersumber dari DXY sebuah platform online yang dijalankan oleh komunitas medis Tiongkok. Sejak itu, data diperbaharui setiap 15 menit.
Selain itu, untuk mengidentifikasi kasus baru, CSSE memantau laporan media massa, termasuk media sosial. Temuan itu lantas dikonfirmasi ke otoritas kesehatan negara terdampak dan WHO.
***
Saat sebagian orang berjuang mencari cara memanfaat teknologi informasi untuk berkontribusi mencegah meluasnya wabah corona, di sisi lain, para penjahat siber juga menjalankan aksinya. Sebagian memanfaatkan kepanikan orang-orang terkait virus corona, sebagian lain melihatnya sebagai kesempatan mendulang pundi-pundi uang.
Tak lama setelah kabar virus corona menghiasi halaman media massa cetak dan online, muncul kabar sekelomppok penjahat dunia maya memanfaatkan isu itu untuk menipu.
Akhir Januari lalu, peneliti IBM X-Force dan Kaspersky menemukan kampanye penyebaran malware yang mengusung tema virus corona. Yang disasar adalah pengguna internet di Jepang. Modusnya, pelaku mengirimkan email yang sekilas terlihat seperti informasi tentang bagaimana menghindari terpapar virus corona. Namun, begitu diklik, sistem akan otomatis mengunduh file jahat dan menetap di komputer , untuk kemudian menginfeksi komputer.
"Termasuk trojan dan worm yang mampu menghancurkan, memblokir, memodifikasi atau menyalin data, dan mengganggu operasi komputer atau jaringan," kata peneliti Kaspersky.
Di sisi lain, para pedagang di platform e-commerce dan sosial media memanfaatkan isu corona untuk meningkatkan penjualan mereka.
Di Indonesia, sekedar menyebut contoh, para pedagang di platform Tokopedia dan Shopee menawarkan obat-obatan yang diklaim mampu menangkal dan menyembuhkan virus corona. Padahal, belum ada pembuktiannya secara medis. Bahkan, hingga kini, para peneliti masih berjuang menemukan obat penawar untuk menyembuhkan virus corona.
Di Amerika, platform e-commerce milik orang terkaya di dunia, Amazon, juga tak luput dari hal serupa. Bedanya dengan e-commerce di Indonesia, Amazon bertindak cepat memblokir produk yang diklaim bisa menyembuhkan corona, bahkan pedagang yang menaikkan harga masker berkali lipat juga turut dilibas.
Raksasa sosial media Facebook dan Twitter juga telah melakukan upaya serupa dengan mencegah disinformasi terkait virus corona dengan melarang iklan produk penawar virus corona.
Laporan terbaru dari Info Security Magazine menyebut fenomena itu sebagai Efek Medusa. Dalam mitologi Yunani, Medusa adalah makhluk mistis yang berwujud seorang wanita cantik dengan ular sebagai rambutnya.
Efek Medusa, dapat disarikan sebagai: ketika Anda memiliki terlalu banyak risiko, coba abaikan sedapat mungkin dan berharap itu tidak terjadi.
Perusahaan-perusahaan dengan cepat harus membuat skenario baru, yang mungkin tidak terpikirkan sebelum sebelumnya.
Di era digital, keamanan siber selalu terkait dengan kelangsung bisnis dan ketahanan melindunginya dari peretas. Jika berhasil, selamat, Anda bisa keluar dari kepungan yang mengancam.[]
Setelah memindai kode QR code, aplikasi akan menandai pemilik ponsel dengan warga hijau, kuning, atau merah
Yuswardi A. Suud | Rabu, 04 Maret 2020 - 13:40 WIB
Cyberthreat.id - Bulan lalu, China meluncurkan aplikasi untuk mendeteksi apakah seseorang telah melakukan 'kontak dekat' dengan orang-orang yang terpapar virus corona. Warga di sana diharuskan menggunakan perangkat lunak itu di ponsel mereka. Dengan begitu, bisa dipantau apakah mereka harus dikarantina atau diizinkan masuk ke mal, kereta bawah tanah, atau ruang publik lainnya. (Baca: China Luncurkan Aplikasi Pendeteksi Corona pada Jarak Dekat)
Namun, laporan the New York Times awal Maret lalu menyebutkan, sistem itu tidak hanya memutuskan secara real time apakah seseorang berisiko menularkan virus, namun tampaknya juga berbagi informasi dengan polisi, juga menetapkan bentuk-bentuk baru kontrol sosial otomatis yang dapat bertahan lama setelah wabah virus corona mereka.
Aplikasi yang disebut dengan The Alipay Health Care itu, menandai seseorang berdasarkan warna. Setelah memindai kode QR code, aplikasi akan menandai pemilik ponsel dengan warga hijau, kuning, atau merah. Jika yang keluar adalah warna hijau, artinya orang tersebut sehat dan dapat berkeliaran di kota tanpa batas. Jika mendapat warna kuning, itu artinya harus menjalani karantina tujuh hari. Sedangkan jika mendapat warna merah, orang itu harus menjalani karantina 14 hari.
Setelah mempelajari kode pemograman pada aplikasi itu, the New York Times menemukan bahwa segera setelah pengguna memberikan akses perangkat lunak ke data pribadi, sepotong program berlabel "reportInfoAndLocationToPolice" (laporkan informasi dan lokasi ke polisi) mengirimkan data lokasi, nama kota, dan nomor kode pengidentifikasi (user ID) ke server yang seharusnya milik pihak berwenang.
Perangkat lunak tidak menjelaskan kepada pengguna bahwa datanya dikirim ke polisi. Tetapi menurut kantor berita Xinhua yang dikelola pemerintah dan akun media sosial polisi resmi, otoritas penegak hukum adalah mitra penting dalam pengembangan sistem.
Sekedar informasi, aplikasi ini tersedia atas bantuan Ant Financial, bagian dari grup raksasa e-commerce China, Alibaba.
Aplikasi membagikan data ke ini ke server setiap kali seseorang memindai kode. Hal ini memudahkan otoritas melacak pergerakan seseorang. Meskipun hal biasa bagi perusahaan teknologi China berbagi data dengan pemerintah, metode langsung ini menjadi presden baru.
Tidak banyak detail tentang bagaimana kode-kode itu diberikan. Namun, secara spekulatif, Tingkok menggunakan pengawasan dan kecakapan teknologi tinggi untuk mengidentifikasi orang yang mungkin terjangkitt virus.
Laporan dari TechNode, misalnya, menyebutkan beberapa pengguna menunjukkan bahwa anggota dari keluarga yang sama yang telah diisolasi mendapat hasil pemindaian yang berbeda dari aplikasi itu. Jadi, sulit sepenuhnya mengandalkan aplikasi itu.
Ketika situasi di China semakin memburuk dari hari ke hari, pemerintah setempat berupaya lebih keras untuk melacak orang-orang yang mungkin terdampak Covid-19. Pada hari-hari awal wabah, masker muka menyulitkan sistem pengenalan wajah mendeteksi orang-orang yang mungkin sedang dilacak oleh pemerintah.
Bulan lalu, raksasa pencarian Cina, Baidu, memperkenalkan sistem AI yang disebut bisa mengenali wajah seseorang meskipun sedang memakai masker. (Baca: Kala Teknologi AI China Turun Tangan Deteksi Virus Corona).
Hal serupa juga dlakukan oleh SenseTime yang mengembangkan alogartma yang dapat mendeteksi wajah seseorang bahkan ketika sedang mengenakan topeng. (Baca: China Kembangkan Pengenal Wajah yang Tertutup Masker).
Maya Wang, seorang peneliti China di bidang hak asasi manusia, mengatakan bawah pengwasan seperti itu akan menjadi preseden dalam sejarah.
"Wabah virus corona terbukti menjadi salah satu landmark dalam sejarah pengawasan massal di China," kata Maya Wang.
Foto: The New York Times
Ant Financial menolak menjawab pertanyaan tentang bagaimana sistem buatannya bekerja. Mereka hanya mengatakan bahwa departemen pemerintah menetapkan aturan dan mengendalikan data. Alipay memiliki 900 juga pengguna di seluruh China.
Leon Lei, 29 tahun, mendaftar lewat kode Alipay sebelum meninggalkan kampung halamannya di Anqing untuk kembali bekerja di Hangzhou. Pada awalnya, ia mendapat kode berwarna hijau. Padahal, sehari sebelum dia pergi, kodenya masih merah. Ia tak tahu kenapa hasilnya bisa berbeda. Anqing belum terlalu terpukul oleh virus corona, meskipun bertetangga dengan Provinsi Hubei yang merupakan pusat wabah.
Saat di perjalanan menuju Hangzhou, petugas di dua pintu keluar jalan raya memeriksa warna kode milik Leon Lei. Ketika dicoba lagi, hasilnya merah. Namun, entah bagaimana, di pintu keluar ketiga, ia diizinkan lewat karena hasil scannya menjadi hijau lagi.
Pejabat Hangzhou telah mengakui adanya keresahan yang disebabkan oleh sistem. Pada konferensi pers baru-baru ini, merek amenddesak warga untuk melaporkan jika mengalami gangguan atau ketidakakuratan sistem pemeriksa.
"Bahkan, jika kode kuning atau merah muncul, jangan gugup," kata Tu Dongshan, wakil sekretaris jenderal komite Partai Komunis kota setempat.
Doo Wang, 26 tahun, juga mengalami hal yang sama. Ia yang sehari sebelumnya mendapat kode merah, pada hari berikutnya mendapat kode hijau. Ia sempat mengontak call center untuk menanyakan itu, namun tak mendapat jawaban. Meski begitu, ia setuju dengan penerapan sistem tersebut.
"Jika dalam kondisi biasa, itu mungkin akan menyakitkan. Tapi dalam kondisi wabah penyakit begini, itu masuk akal," katanya.
Wang juga tak menyoal masalah privasi. "Alipay sudah memiliki semua data kami. Jadi apa yang kita takutkan? Serius."[]
Hoaks Covid-19 harus dilawan dengan penjernihan informasi karena dampaknya sangat luas dan beruntun hingga kejahatan cyber
Arif Rahman | Rabu, 04 Maret 2020 - 15:34 WIB
Cyberthreat.id - Ketua Mafindo Harry Sufehmi mengatakan pihaknya bakalan aktif melakukan bantahan terhadap hoaks dan disinformasi terkait kasus virus Corona (Covid-19). Bantahan terhadap hoaks yang disebut Debunking akan diwujudkan Mafindo dengan membuat website bertajuk Kawal Covid-19 yang akan diluncurkan dalam beberapa hari ke depan.
"Kita Debunking dengan membuat bantahan terhadap hoaks, tapi kemudian tidak cukup sampai di situ karena pihak terkait yang paham juga harus memberikan bantahan dan penjelasan yang benar," kata Harry kepada Cyberthreat.id, Rabu (4 Maret 2020).
Secara teknis, kata dia, bantahan terhadap hoaks dan disinformasi Covid-19 memang sulit dilakukan. Jumlah hoaks yang muncul terlalu banyak dan bisa beranak, tetapi dalam hal ini, yang harus menjadi perhatian menurut Harry adalah berusaha untuk menjernihkan informasi.
Jika dibiarkan, masalah hoaks dan disinformasi bisa jauh lebih parah. Salah satu contoh adalah beredarnya data pribadi korban Covid-19 di media sosial sehingga menjadi pemberitaan dan trending topik. Menurut Harry, masalah itu muncul sebagai akibat minimnya bantahan atau Debunking tersebut.
"Seperti apa sih sumber informasi yang benar sehingga kami dan kita semua harus sosialisasikan. Masalah ini bisa lama dan panjang waktunya sehingga dari sekarang harus ada upaya aktif melawannya."
Harry juga meminta masyarakat tidak asal membagikan informasi jika belum paham. Jika memang belum mengerti persoalan, masyarakat sebaiknya tidak usah melakukan sharing atau posting di media sosial.
"Menyebar data pribadi korban Covid-19 enggak boleh karena efeknya bisa beruntun. Di Singapura itu korban Corona hanya disebutkan pasien nomor 1, 2, 3 dan seterusnya. Enggak diumbar identitasnya karena bikin panik. Usia saja yang disebutkan, nama dan alamat tidak usah."
Sementara itu, dari sisi kejahatan cyber, sejak beberapa waktu lalu telah muncul berbagai modus kejahatan Phishing yang bisa saja mengarah kepada penipuan. Kejahatan ini biasanya muncul dari luar negeri dan bisa bertransformasi di Tanah Air seperti meminta donasi atau sekedar menambang data secara online.
"Korban Covid-19 itu enggak salah, tetapi orang lain juga tidak berhak menyebar data pribadinya yang bisa disalahgunakan."
Di Twitter pembahasan terkait Covid-19 terus mengemuka. Akun @oxfara yang di bio berprofesi sebagai seorang dokter mengatakan, menyebarluaskan data pribadi korban Covid-19 bisa berdampak terhadap munculnya penularan baru. Menurut dia, korban yang terduga ataupun yang sudah positif tertular Covid-19 akan berupaya menutupi penyakit yang sudah dianggap aib ini.
"Tau ga sih apa hal terburuk kalo pasien yg mengidap Covid-19 datanya disebar&sekarang diekspos media besar2an kayak gini? My guess is habis ini kalo ada yg curiga dirinya kena COVID-19,ga ada yg mau periksa ke RS. Dia akan nutup2in biar ga jd korban stigma & dipermalukan kyk gini," tulis akun @oxfara.
"Ikut petunjuk yang ada dari menteri kesehatan, jangan sampai mengacu pada informasi yang tidak dapat dipercaya bahkan merugikan masyarakat," kata Johnny
Tenri Gobel | Rabu, 04 Maret 2020 - 09:15 WIB
Jakarta, Cyberthreat.id - Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Johnny G. Plate menanggapi terkait banyaknya obat-obatan yang tersebar di e-commerce dengan klaim dapat mencegah hingga menyembuhkan orang yang terinfeksi virus corona. Ia menilai masyarakat jangan mudah mempercayai sesuatu yang sumbernya bukan dari pemerintah
"Ikut petunjuk yang ada dari Menteri Kesehatan, jangan sampai mengacu pada informasi yang tidak dapat dipercaya bahkan merugikan masyarakat," kata Johnny, Selasa (3 Maret 2020).
"Satu sumbernya di Indonesia ini dari kementerian kesehatan. menteri kesehatan pun mengacu dari saran dari WHO agar masyarakat ikut itu agar menjaga dirinya melindungi dirinya dari bahaya penyebaran virus Covid-19 itu." tambahnya.
Sebelumnya dari pantauan Cyberthreat.id, sejumlah situs e-commerce popular di Indonesia seperti Tokopedia dan Shopee menawarkan obat-obatan yang diklaim bisa menangkal hingga menyembuhkan seseorang yang terinfeksi corona.
Beberapa diantaranya, obat Chloroquine/Primaquine yang dijual oleh Adeliaoktavia98 dengan judul "Obat Chloroquine/primaquine mencegah gejala virus corona". Pada bagian deskripsi produk disebutkan "metode yang efektif untuk mengobati virus corona. obat antimalaria Chloroquine Phosphate/Primaquine ditemukan memiliki efek penyembuhan pada virus corona."
Obat-obatan yang memiliki klaim dapat menangkal virus corona tersebut memang memiliki nomor izin edar dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Namun, obat-obatan itu belum diuji kebenarannya apakah dapat menangkal virus corona atau tidak, seperti yang diklaim penjual.
Saat ditanya apakah Kominfo melakukan himbauan kepada e-commerce, Johnny mengatakan pihaknya terus berkomunikasi dengan pengelola platform e-commerce.
"Jangan diasumsikan tidak. Kami berkomuikasi [dengan e-commerce] terus menerus. Namun, apakah kami sampaikan kepada media atau tidak, itu persoalan lain." ujarnya.
Terpisah, External Communications Senior Lead Tokopedia, Ekhel Chandra Wijaya, mengatakan, obat-obatan itu diunggah oleh pihak ketiga selaku pedagang yang disebut dengan user generated content (UGC). Karena itu, Ekhel meminta masyarakat untuk melaporkan jika menemukan produk yang menyesatkan pembeli.
"Kami juga turut menghimbau masyarakat agar dapat melaporkan produk-produk dengan judul atau deskripsi kurang tepat, langsung dari fitur Laporkan yang ada di setiap halaman produk," kata Ekhel dalam keterangan yang diterima oleh cyberthreat.id, Senin, (2 Maret 2020).
Tokopedia, kata Ekhel, secara aktif terus berupaya memastikan tidak ada produk dengan judul atau deskripsi yang berpotensi menciptakan kesalahpahaman masyarakat, terutama untuk produk kesehatan.
Ekhel juga mengklaim, Tokopedia selalu melakukan patroli dan pemantau yang disertai dengan aksi-aksi proaktif untuk menjaga norma dan hukum yang berlaku.
Pantauan Cyberthreat.id, hingga berita ini ditulis, obat-obatan itu masih ditawarkan kepada pembeli.
Ada pun Public Relations Lead Shopee Indonesia, Aditya Maulana mengatakan pihaknya bekerjasama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk memastikan legalitas obat-obatan yang ditawarkan oleh pedagang di platform mereka.
"Kami akan selalu memantau situasi terkini di dalam aplikasi kami, salah satunya dengan bekerja sama dengan BPOM," kata Aditya Maulana dalam keterangan tertulis kepada Cyberthreat.id, Senin (2 Maret 2020).
Sebelumnya, raksasa e-commerce asal Amerika Serikat (AS) Amazon telah menghapus lebih dari 1 juta produk yang diberi nama obat penyembuh atau pencegah virus corona. Facebook juga telah melakukan upaya serupa dengan mencegah disinformasi terkait virus corona dengan melarang iklan produk penawar virus corona.
Shopee belum memberikan komentarnya lebih lanjut saat ditanya apakah akan mengambil langkah untuk melarang penjualan produk yang diklaim bisa mencegah atau menyembuhkan dari serangan virus corona seperti yang dilakukan Amazon.[]
Editor: Yuswardi A. Suud
Berita terkait:
Pemerintah berkolaborasi dengan pihak terkait seperti operator telekomunikasi dan kementerian agar Smishing tidak meluas dan bertambah
Tenri Gobel | Selasa, 18 Februari 2020 - 05:00 WIB
Cyberthreat.id - Pemerintah Korea Selatan (Korsel) menemukan 9.888 SMS Phishing (Smishing) dan 165 phishing telepon (voice Phishing) yang menggunakan informasi palsu tentang virus Corona. Kementerian Sains dan TIK, Kepolisian, dan regulator keuangan pemerintah Korsel dalam sebuah pernyataan bersama mengungkapkan pada Senin (17 Februari 2020) bahwa Smishing teks mulai dikirimkan pada 15 Februari 2020.
Teks ini mengklaim dan berpura-pura menjadi perusahaan yang telah mengalami keterlambatan pengiriman akibat virus corona. Tujuannya untuk menipu orang-orang dan mencuri informasi pribadi mereka.
Terdapat 165 panggilan telepon (voice Phishing) yang dilakukan para penjahat menggunakan nomor palsu. Telepon itu mengklaim mereka adalah otoritas kesehatan yang bertugas, tetapi menipu orang dengan tujuan mendapatkan uang dan informasi sensitif korban.
Upaya phising suara (voice) ekstrim juga dilakukan dengan modus. Scammer atau penipu membuat panggilan palsu ke restoran lalu mereka mengklaim tertular virus dan baru-baru ini makan di sana. Penipu kemudian menuntut uang sebagai biaya tutup mulut agar tidak memberitahu pihak berwenang. Sebuah restoran yang diisukan memiliki virus Corona dipastikan akan kehilangan pelanggan.
"Saya adalah pemberi konfirmasi. Saya pergi ke restoran Anda." kata pelaku voice phising di percakapan telepon dilansir ZD Net, Senin (17 Februari 2020).
Ada juga upaya untuk memanipulasi melalui nomor telepon yang meniru organisasi kesehatan dan institusi medis terkait dengan Virus Corona.
Pemerintah Korea Selatan segera bekerja dengan tiga perusahaan telekomunikasi seluler untuk mengingatkan publik agar berhati-hati terhadap voice Phishing dan Smishing. Pemerintah telah mengirimkan pesan peringatan kepada masyarakat terkait maraknya upaya voice phising dan Smishing tersebut.
Selain itu, pemerintah Korea Selatan juga akan memblokir alamat internet (URL) apapun yang digunakan penipu dalam melakukan aksi Smishing. Pemerintah juga memastikan untuk melindungi nomor telepon resmi milik otoritas kesehatan agar tidak dimanipulasi.
Hingga saat ini belum diketahui berapa pengguna yang telah dicuri informasi pribadinya akibat aksi Smishing serta berapa jumlah kerugian finansial jika ada yang terkena aksi penipuan ini.[]
Redaktur: Arif Rahman