Perlukah Gerbang Internet Internasional Satu Pintu?
Jakarta, Cyberthreat.id – Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Jamalul Izza mengusulkan ada baiknya Indonesia bisa menerapkan gerbang internet internasional (international internet gateway/IIG) satu pintu saja.
Alasannya, penyedia layanan internet (ISP) akan lebih gampang memantau trafik atau lalu lintas jika terjadi sebuah serangan siber dari luar negeri. Masing-masing operator (ISP) pun tidak lagi punya banyak gerbang; jika terjadi insiden siber, antisipasi cepat bisa segera dilakukan.
Ia mengaku opitmistis kebijakan satu pintu gerbang internet internasional tersebut bisa diwujudkan di Indonesia. "Satu pintu bagus. Tapi, memang harus dipersiapkan dengan benar-benar siap. Soal spesifikasi keandalannya, rencana backup-nya seperti apa kalau mati," kata Jamalul saat berbincang santai dengan Cyberthreat.id di kantornya di Jakarta, Selasa (11 Februari 2020).
Menanggapi wacana usulan tersebut, Cyberthreat.id mewawancarai sejumlah pengamat siber dan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.
Tidak semuanya setuju dengan usulan tersebut, bahkan mengaku pesimistis. Komentar kritis menyebutkan, bahwa Indonesia berbeda dengan China yang dipegang oleh pemerintah otoriter.
Berita Terkait:
- Ketua APJII Setuju International Gateway Satu Pintu Saja
- Charles Lim: Dua Sisi Melihat International Internet Gateway
- Kominfo Pesimistis Soal Gerbang Internet Satu Pintu
- Indonesia Internet Exchange Ditargetkan di 32 Provinsi
Berikut komentar masing-masing narasumber tersebut:
Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja
Indonesia tidak cocok menerapkan IIG satu pintu. Jika hanya alasan memudahkan ISP memantau trafik jika terjadi serangan siber dari luar negeri, justru kebijakan itu akan menghambat pertumbuhan industri di indonesia, mulai ekonomi, investasi, hingga inovasi.
Ini industrik kita mau maju atau mundur? Apalagi presiden sudah canangkan Revolusi Industri 4.0. Saat ini serangan siber tidak melulu dari luar, tapi berasal dari dalam negeri. Penerapan satu gateway tanpa sistem yang baik akan cukup besar risikonya. Jika satu diserang dan dilumpuhkan, semua sektor akan lumpuh, justru ancaman terhadap keamanan nasional. Dengan hanya memiliki satu gateway, kepunahan digital nasional justru akan sangat cepat terjadi dalam hitungan jam."
China bisa melakukannya karena mereka negara dengan sistem politik yang tertutup alias Komunis. Indonesia adalah negara demokrasi besar nomor empat di dunia, nah apakah kita mau mundur menjadi negara tertutup?
Kepala Laboratorium Keamanan Siber Swiss German University Charles Lim
Saya menganalogikan dengan pintu gerbang di perumahan. Secara keamanan bisa kita lihat kan, dengan satu pintu, keamanan akan bagus dan bisa kita kontrol. Kalau ada penjahat yang masuk ke perumahan itu, CCTV-nya tinggal dipasang di satu pintu saja, kita bisa lihat monitor dari situ saja begitu.
Di China, international internet gateway (IIG) sangat terkontrol. Kalau kamu lewat gateway punya data terenkripsi, ya harus bisa saya buka enkripsinya. Di China seperti itu, mereka harus memberikan key untuk membuka enkripsinya. China itukan menggunakan satu gateway, tetapi ISP-nya Cuma tiga. Berbeda dengan Indonesia, ISP-nya banyak.
Kalau enggak salah di Indonesia itu ada 250 ISP menurut catatan APJII. Kalau kita mau pakai satu gateway, ya bisa-bisa saja sih, cuma kita harus jaga gateway itu dengan sangat baik. Artinya, jangan sampai gateway itu bermasalah, ya sudah satu negara bermasalah. Sebab, jika satu pintu saja itu artinya single point of failure. Makanya, ini harus perencanaan matang.
Plt Kabiro Humas Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu
Saya enggak lihat kemungkinan itu [international internet gateway/IIG, red] bisa diterapkan. Karena tata kelola international gateway di Indonesia sudah terlanjur multiple (banyak). Kecuali, dari awal sudah dijalankan artinya kita kalau pun bilang single gateway saat ini sudah susah, komitmen bisnisnya sudah tercipta.
Untuk sekarang menjadikan satu pintu agak berat, mungkin sih mungkin, tapi butuh regulasi. Kami pikir jangan sampai berlebihan kalau kita lakukan sekarang karena sudah terlambat jauh, tidak seperti Cina yang dari awal.[]
Redaktur: Andi Nugroho