Charles Lim: Dua Sisi Melihat International Internet Gateway
Cyberthreat.id - Deputy Head Master of Information Technology Swiss German University, Charles Lim, menilai penerapan sebiji international internet gateway di Indonesia dilihat dari dua sisi. Menurut dia, ada dampak positif dan negatif dari penerapan tersebut.
Untuk lebih jelasnya, Charles memberikan analogi seperti kompleks perumahan yang memiliki satu pintu agar lebih mudah memonitor keamanan dan ketahanan ruang cyber. Ketika satu pintu diterapkan sebagai satu-satunya jalan masuk, maka keamanan dan lalu lintas jauh lebih mudah dikontrol.
"Nah, memang dari sisi keamanan (satu pintu) bagus, kita bisa kontrol semuanya," kata Charles Lim kepada Cyberthreat.id, Jumat (14 Februari 2020).
"Kita bisa melihat itu semua dari satu pintu, sama kayak perumahan kan. Begitu ada penjahat yang masuk ke perumahan, tinggal CCTV-nya dipasang di satu pintu saja, sehingga kita bisa lihat dan monitor dari situ saja," ujarnya.
Ia mencontohkan China yang menerapkan internasional gateway internet satu pintu yang sudah lama dipraktikkan oleh negara berpenduduk 1,4 miliar tersebut. Di negeri berjuluk Tirai Bambu, semua lalu lintas dikontrol dan terkontrol oleh negara lewat satu pintu.
"Kalau di China itu, mereka bilang kalau kamu lewat gateway kami, maka Anda punya data terenkripsi, itu harus bisa kami buka enkripsinya. Di China seperti itu, mereka harus memberikan key-nya untuk membuka enkripsinya,"
"Jadi, kalau kita mengambil banyak contoh dari dunia luar ya, khususnya seperti di China lah, tetapi China itu kan menggunakan satu gateway sementara Internet Service Provider (ISP)-nya cuma tiga," ungkap Charles.
Kondisi di Indonesia berbeda. Menurut Charles, keberadaan Internet Service Provider (ISP) di Indonesia cukup banyak sehingga untuk mempertahankan gateway-nya harus sangat baik. Kalau tidak bagus justru menjadi ancaman besar.
"Kalau tidak salah, menurut catatan APJII di Indonesia itu ada 250 (ISP). Nah, jadi kalau kita mau pakai satu gateway bisa saja, cuma kita harus maintain gateway itu dengan sangat baik."
"Artinya, jangan sampai gateway itu bermasalah. Ibaratnya, kita kalau mau bikin itu jadi satu pintu boleh, tapi kita harus jaga pintu itu jangan sampai bermasalah," tegasnya.
Kebijakan satu pintu internasional gateway internet jangan sampai menjadi Boomerang atau ketika disebut sebagai single point of failure. Artinya, sumber masalahnya di situ, begitu satu titik itu masalah, semuanya terkena masalah.
Meski demikian, Charles menyatakan dirinya tidak masalah dengan satu pintu, tetapi aspek yang harus ditekankan adalah perencanaan dan persiapan matang jika suatu saat nanti gateway itu bermasalah.
"Mungkin ada semacam degradasi (kalau bermasalah). Istilahnya layanannya mungkin berkurang, tetapi enggak sampai mati total. Jadi, ibaratnya, bukan mati total tetapi ada degradasi layanan lah. Misalnya tadinya gateway cepat jadi lambat, tetapi bukan mati."
Sementara itu, Ketua Asosiasi Cloud Hosting Indonesia (ACHI) Rendy Maulana menilai kebijakan satu internasional internet gateway akan menyebabkan koneksi redundant (berlebihan-lebihan) dan rentan censorchip. Kemudian, ketika terjadi permasalahan seperti koneksi putus, maka semua disconnect.
"Itu koneksi redundant dan rentan censorchip. Kalau enggak redundant seperti putus lalu bermasalah seperti disconnect. Koneksi lemot bisa juga," ujarnya kepada Cyberthreat, Kamis (13 Februari 2020).
Redaktur: Arif Rahman