Ketua APJII Setuju International Gateway Satu Pintu Saja

Ilustrasi | Foto: freepik.com

Jakarta, Cyberthreat.id – Ketua Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII) Jamalul Izza mengusulkan agar Indonesia bisa menerapkan gerbang internet internasional (international internet gateway) satu pintu, seperti halnya China.

Alasannya, penyedia layanan internet (ISP) akan lebih gampang memantau trafik atau lalu lintas jika terjadi sebuah serangan siber dari luar negeri. Masing-masing operator (ISP) pun tidak lagi punya banyak gerbang; jika terjadi insiden siber, antisipasi cepat bisa segera dilakukan.

Ia mengaku opitmistis kebijakan satu pintu gerbang internet internasional tersebut bisa diwujudkan di Indonesia. "Satu pintu bagus. Tapi, memang harus dipersiapkan dengan benar-benar siap. Soal spesifikasi keandalannya, rencana backup-nya seperti apa kalau mati," kata Jamalul saat berbincang santai dengan Cyberthreat.id di kantornya di Jakarta, Selasa (11 Februari 2020).


Berita Terkait:


Secara sederhana, international gateway adalah semacam gerbang trafik internet dari Indonesia menuju ke dunia internasional atau sebaliknya. Di Indonesia, saat ini banyak pintu gerbang internasional yang dikelola oleh berbagai perusahaan, di antaranya Telkom, Indosat, dan Biznet.

"International gateway kita banyak, masing-masing punya Network Acces Point (NAP). Masing-masing operator besar itu punya gateway sendiri-sendiri. Berbeda dari negara China, misalnya, mereka punya satu internasional gateway,” kata Jamalul.

Jamalul berpendapat pintu gerbang internasional dari awal memang tidak diatur dalam sebuah regulasi. Ini sangat berbeda dengan Indonesia Internet Exchange (IIX).

Oleh karena itu, menurut dia, dengan banyaknya international internet gateway, upaya memonitor serangan yang masuk ke Indonesia akan lebih membutuhkan kerja keras.

“Istilahnya kalau rumah satu pintu lebih gampang kita ngejagain-nya. Kalau banyak pintu, bisa juga dijagain, cuma usahanya lebih banyak," kata Jamalul.

Badan pengelola

Jamalul menyadari betul bahwa secara mendasar internet tidak bisa diatur terlalu ketat, tapi tidak bisa juga terlalu longgar.

Jika memang ingin dibuat aturan gerbang internasional satu pintu, ia mengusulkan segera perjelas dalam regulasi. Selain itu, pengelolaannya pun sebaiknya dilakukan oleh satu badan.

“Yang kelola biarkan pihak swasta, pemerintah lebih ke regulasi," kata dia.

Jamalul berharap pemerintah bisa melihat wacana ini lebih jauh lagi, terutama dalam regulasi keamanan siber (RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, red).

"Ini harus dibicarakan lagi karena menyangkut keamanan siber banyak banget pihak yang harus terlibat. Bukan hanya BSSN, tapi juga BIN, terus kepolisian, TNI, perbankan dan sebagainya," kata dia.

Terlebih, di era sekarang, perang bukan lagi dalam bentuk fisik, tapi cenderung mengarah pada perang siber (cyberwar). Oleh karena itu, pemerintah harus memerhatikan hal tersebut. Karena, jika terjadi cyberwar dan berhasil, maka semua transaksi pelayanan publik dalam kondisi mati, seperti infrastruktur listrik, dan lain-lain.

"Apalagi sekarang kan zaman yang namanya industri digital. Nah, ini harus benar-benar aman," kata dia.[]

Redaktur: Andi Nugroho