Medsos Lebih Kejam dari Virus Corona

Ilustrasi

VIRUS corona (2019-NCoV) telah menjadi bencana global. Seluruh dunia kini waspada terhadap virus yang bisa membuat korbannya tewas, tapi di saat bersamaan China sudah mengumumkan pasien yang sembuh dari virus ini. Artinya, Corona tidak seperti virus HIV yang menyerang kekebalan tubuh dan mematikan lantaran belum ada obatnya.

Seorang dokter lewat akun @dirgarambe di Twitter mengatakan pasien virus Corona bisa disembuhkan. Masyarakat tidak perlu panik. Dokter lain di akun @dr_koko28 mengatakan 2019-nCoV belum ada anti-virusnya, juga belum ada vaksinnya. Ia menyarankan semua orang untuk memperkuat daya tahan tubuh dengan menjaga pola hidup sehat dan menjaga makanan.

"Udah paling bener ya hindari penyebabnya. Perkuat daya tahan tubuh. Lagi gw sampaikan: telur, sinar matahari, minyak zaitun, alpukat, kale, brokoli, jeruk, anggur, daun jambu, rehat, less-stress, vit. D," cuitan akun tersebut.

Akun @MarikaRahman_ mengutip pernyataan seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran UI yang mengatakan faktor iklim tropis Indonesia membuat virus Corona susah berkembang.

"Virus-virus itu seharusnya tidak bisa bertahan hidup jika terpapar di udara dan panasnya iklim tropis di Indonesia. Itulah sebabnya Indonesia menghadapi risiko lebih rendah," (Erlina Burhan, med. FK UI)," tulis @MarlinaRahman_.

Apa yang membuat Corona begitu menakutkan? Simpel, jawabannya hoaks dan disinformasi yang berseliweran di medsos. Dan Medsos memang lebih kejam dari pembunuhan atau Corona Virus sekaligus.

Di era digital dan konektivitas tinggi, terdapat kekuatan raksasa yang memanipulasi pikiran dan informasi untuk mempengaruhi kita semua. Oke, semua pasti mengenal Troll, Bots, akun anonim, dan Hoaks. Tetapi anda juga harus tahu dibelakang itu semua terdapat algoritma yang bekerja. Bahwa dunia yang berjalan saat ini diatur oleh 'kode-kode tak terlihat' yang dirancang segelintir orang di depan layar komputer.

Algoritma dikembangkan dan di desain menjadi kode-kode tertentu yang diterjemahkan menjadi konten bagi kita semua. Konten itu ada di mana-mana mengisi ruang siber (cyberspace). Konten yang selalu merayu kita untuk meng-klik di depan layar atau ponsel. Banyak klik, pasti banyak uang. Itu prinsipnya.

Algoritma membuat kita melakukan semuanya. Manipulasi yang dilakukan online berdampak masif. Sebut saja korporasi raksasa global yang saat ini menjadi penguasa medsos. Facebook (menaungi Instagram dan WhatsApp), Twitter, YouTube, WeChat, hingga TikTok dan sebagainya.

Jika dilokalkan ada raksasa teknologi seperti Gojek,Traveloka, Bukalapak, Tokopedia dll yang turut berperan memperkaya konten marketing atau bisnis di medsos. Mereka turut memanen data, tetapi konten viral semakin 'manis' jika digiring ke politik, SARA, pornografi, hingga Corona Virus.

Di mata para raksasa tersebut; saya, anda, dan kita semua bukan sebagai konsumen semata, tetapi penghasil data. Para raksasa itu membutuhkan kita untuk menyukai (like) mereka guna menghasilkan lebih banyak data.    

Di era digital manusia akan selalu bicara data sebagai komoditas paling berharga. Data terus bertambah dan beragam sementara kita semua 'dipaksa atau terpaksa' menyukai data karena memang butuh.

Semakin sering kita menggunakan (medsos), semakin banyak data yang dihasilkan. Setiap hoaks, troll, bots yang anda klik dan share, akan menghasilkan uang bagi para raksasa tersebut. Data yang dishare turut memproduksi uang bagi operator telko yang menjual paket data. Tak heran jika para raksasa ini menolak segala sesuatu yang membatasi bisnisnya. Sebut saja pembatasan internet beralasan HAM.

Jika dulu ada zaman prasejarah, zaman batu, zaman logam, zaman tembaga, zaman perunggu, maka sekarang kita berada di zaman data. Di zaman batu penguasa adalah orang terkuat yang mengolah batu, maka penguasa terkuat di zaman data adalah raksasa teknologi yang berlomba-lomba mengumpulkan data lalu mengolahnya menjadi ladang minyak baru (new oil).

Konten apapun tentang virus Corona yang kerap anda klik di akun medsos atau berita, pasti akan menghasilkan data. Hoaks tentang virus Corona memang begitu masif dan benar-benar merusak isi kepala.

Wuhan Jiayou!

Benar kata Kepala BSSN Hinsa Siburian. Serangan siber paling berbahaya adalah serangan yang menyerang pikiran manusia. Hinsa mengucapkan ini saat menanggapi kerusuhan di Papua pada Agustus 2019 yang disulut api konflik akibat hoaks. Ketika itu gelombang hoaks menyerang pikiran masyarakat Papua yang terprovokasi berujung kerusuhan. Coba search di Google, kerusuhan waktu itu bahkan membakar seorang dokter hidup-hidup di Wamena hingga pembacokan terhadap anak kecil.

Hoaks seputar 2019-nCoV menimbulkan kecurigaan dan kepanikan di masyarakat kita. Muncul hasutan untuk mengusir wisawatan asal China di Tanah Air. China berpenduduk 1,4 miliar. Ya, 1,4 miliar itu jumlah orang, bukan uang sebanyak Rp 1,4 miliar. Ambil contoh 0,1 persen saja sebagai wisatawan, itu artinya 1,4 juta orang China berpotensi datang ke Indonesia.

Media massa asing, terutama media 'musuh politik' China seperti AS turut menyebar hoaks melalui medsos. Di Eropa kasus rasis terhadap orang China marak sejak naiknya tagar "JeNeSuisPaUnVirus" disertai hoaks yang memprovokasi. Di Kanada, restoran China jadi sasaran amuk orang tak dikenal akibat hoaks yang menyebut virus Corona berasal dari makanan.

Troll, bots, dan hoaks beraksi di medsos. Banyak media barat menggambarkan Wuhan ibarat kota Zombie seperti di film terkenal Resident Evil atau 28 Days Later. Padahal penanganan virus Corona lewat isolasi beralasan medis. Kata 'zombie' sepertinya digunakan untuk menakut-nakuti.

Coba ketik Wuhan Jiayou di YouTube. Tonton videonya saat penduduk kota itu saling bersahutan memberi semangat. Bikin merinding.

Di Natuna, tempat yang menjadi karantina bagi WNI yang dijemput dari China, muncul demonstrasi ribuan masyarakat setempat yang takut ditulari Corona. Masyarakat jadi 'parno' lantaran ketakutan ditulari virus Corona. Dan parno itu datang dari fakenews di medsos atau media mainstream yang mengutip hoaks.

Pemerintah melalui Kementerian Kominfo bergerak cepat mengantisipasi hoaks Virus Corona. Cyber Drone juga bergerak aktif. Menkominfo Johnny G Plate secara khusus meminta masyarakat untuk tidak mengaitkan Virus Corona dengan masalah lain yang berdampak luas dan negatif terhadap negara, baik dari sektor ekonomi, keamanan negara, maupun sektor lainnya.

Corona, kata Johnny, murni masalah kesehatan. Hingga Senin (3 Februari 2020) belum satupun orang Indonesia yang meninggal akibat virus ini.

Perang Dagang

Perang dagang AS vs China untuk sementara 'istirahat' dulu gara-gara Corona. AS dan sekutunya paling diuntungkan akibat aksi 2019-nCoV. Seorang analis intelejen dan keamanan UI mengatakan kepada saya bahwa kota Wuhan yang jadi asal muasal Corona adalah pusat bisnis dan riset China.

Dari 500 perusahaan besar yang ada di dunia, sekitar 230 perusahaan berinvestasi di kota Wuhan. Sebagai pusat bisnis dan ekonomi, Wuhan juga memiliki bandara yang melayani setidaknya 3.300 penumpang perhari.  Jalur penerbangan di kota tersebut terhubung langsung ke kota-kota besar dunia seperti AS, Australia, Timur Tengah hingga Eropa.

Wuhan adalah jantung China. Kita harus paham 'beruntungnya' AS akibat serangan virus ini. Tanpa perlu mengirimkan senjata dan alat berat, AS seolah memenangi persaingan saat menyaksikan kepanikan China akibat Corona. Analogi saya mengatakan mirip saat AS membunuh Jenderal Iran Qasim Soleimani di Baghdad awal Januari 2020. Tanpa perlu kirim pasukan dan alat berat, AS mengutus beberapa drone (MQ-9 Reaper) yang dikontrol menggunakan algoritma untuk mengebom Soleimani.

Indonesia juga bisa seperti itu. Musuh tidak perlu mengirim pasukan, kapal induk, dan persenjataan berat. Cukup dengan mengirim gelombang hoaks, sesama anak bangsa bisa perang dan saling bunuh dengan sendirinya. Inilah yang terjadi di krisis Suriah, Libya, dan Arab Springs.

September 2020 Indonesia akan menggelar Pilkada serentak di 270 daerah. Penyelenggara pemilu seperti Bawaslu, Kepolisian, hingga aktivis telah menyatakan medsos tetap menjadi Indeks Kerawanan Pilkada. Hoaks sudah lama dikenal menjadi senjata politik dan kampanye hitam.

Ambil 10 persen saja dari 270 daerah tersebut. Misalnya 27 daerah terjadi kerusuhan saat Pilkada nanti. Penyebabnya tidak lain karena hasutan di medsos. Bukan karena provokasi di dunia nyata, dimana orang Indonesia dikenal ramah dan baik.

Memberantas hoaks dengan literasi dan pendekatan retorika adalah hal kuno. Saya sependapat dengan Agung Nugraha, mantan  Direktur Proteksi Infrakstruktur Informasi Kritikal Nasional (IIKN) BSSN, pernah mengatakan sudah saatnya Indonesia berpikir mencari solusi teknologi untuk memberantas hoaks.

Untuk apa buang waktu dan tenaga kampanye anti-hoaks sementara teknologi terus berkembang. Kini sudah muncul Deepfake yang disebut sebagai next level of hoaks. Agung pernah mengatakan, AI harus dilawan dengan AI, teknologi vs teknologi, tidak cukup dengan kampanye dan tatap muka karena sekarang adalah era digital dan data.

Apakah Indonesia bisa?

Penulis adalah Editor di Cyberthreat.id