Penegak Hukum Diminta Samakan Persepsi Soal Sertifikat Tanah Elektronik untuk Bukti Kepemilikan

Ilustrasi | Foto: freepik.com

Cyberthreat.id - Dosen Notariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Arsin Lukman berpendapat bahwa para penegak hukum perlu menyamakan persepsi atas sertifikat tanah elektronik sebagai alat bukti kepemilikan.

"Pengadilan mesti menyamakan persepsi, kalau memang data elektronik tadi sah menjadi alat bukti, sekarang mestinya UU Peradilan juga mesti menyesuaikan ke situ," kata Arsin dalam diskusi "Problem dan Solusi Sertifikat Tanah Digital", Kamis (4 Maret 2021)

Arsin mengatakan akan jadi masalah kalau para penegak hukum tidak menyamakan persepsi bahwa sertifikat tanah elektronik ini sebagai alat bukti.

"Jadi kacau itu bahwa sertifikat elektronik tidak diterima di dunia peradilan. Jadi masalah," katanya.

Menurut Arsin, data elektroniknya seharusnya tetap mendukung data dari sertifikat manualnya. Dengan kata lain, menurutnya sertifikat manualnya (fisik) masih dibutuhkan masyarakat sebagai bukti kepemilikan.

Selain itu, Arsin mengatakan bisa juga sertifikat elektronik itu dirancang agar bisa dicertak sendiri oleh masyarakat sehingga, paling tidak, memiliki semacam bukti tertulisnya. Mengingat aturan dalam kitab hukum undang-undang perdata (KUHP) terkait yang dinilai sebagai bukti adalah bukti tertulis.

"Justru dari bukti fisik menjadi dasar hukum makanya kalau kemarin ada statement kalau sertifikat elektronik, kemudian sertifikat manual itu ditarik, itu menciptakan kegelisahan di kalangan si punya sertifikat," katanya.

Mantan Kepala Pusat Hukum dan Humas Kementerian ATR/BPN, Kurnia Toha juga sependapat dengan Arsin, bahwa perlu persamaan persepsi para penegak hukum terkait pembuktiannya serta sertifikat elektronik bisa dicetak oleh masing-masing pemiliknya.  


Diskusi "Problem dan Solusi Sertifikat Tanah Digital", Kamis (4 Maret 2021)

Terkait persamaan persepsi, Kurnia mengatakan sebenarnya  sudah ada undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) yang mengatur terkait sertifikat elektronik dan tanda tangan elektronik merupakan alat bukti. Hanya saja, menurutnya masih terdapat perbedaan pandangan.

"Perlu persamaan persepsi dengan hakim-hakim, hakim perdata, hakim PTUN. Nah perlu menjadi perhatian kita bahwa ini peraturan menteri. UU ITE saja tidak mudah kita semua pihak sepaham mengenai penerimaan alat-alat bukti berdasarkan UU ITE," ujar Kurnia.

Kendati demikian, menurut Kurnia, memang harus hati-hati dan sebaiknya segera ditinjau apakah memang sertifikat elektronik ini sudah diterima oleh hakim, mengingat levelnya adalah peraturan menteri.

"Karena UU saja hakim belum tentu mau ikut, dalam arti belum sepaham gitu, apalagi dengan peraturan menteri," tuturnya.

Terkait mencetak sendiri sertifikat tanah elektronik, Kurnia mengatakan bahwa dulu sewaktu dia masih bekerja di Kementerian ATR/BPN, konsep seperti itu pernah dirancang. Dia berharap seharusnya konsep itu diadopsi untuk sertifikat elektronik saat ini.

"Saya baca Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2021, namun belum jelas hal ini. Tapi saya kira bagaimana pun harus ada yang dipegang, kalau tidak dalilnya bagaimana seperti tadi ini tiba-tiba tidak punya data, tidak punya fisiknya. Saya kira ini alangkah baiknya memang tidak hanya elektronik tetapi juga ada back up fisik yang dipegang oleh pemilik,”  ujar Kurnia. []