Kisah Pria yang Menggugat Polisi karena Kesalahan Teknologi Pengenal Wajah Hampir Menghancurkan Hidupnya

Ilustrasi via TheNextWeb

Cyberthreat.id - Aparat penegak hukum di Amerika Serikat diketahui menggunakan teknologi pengenalan wajah (facial recognition) untuk membantu mereka melawan kriminal. Namun, teknologi itu tak selamanya akurat. Seorang pria kulit hitam di New Jersey baru-baru ini menggugat aparat penegak hukum lantaran salah tangkap.

Pria itu, Nijeer Parks, dituduh mencuri makanan ringan dan mencoba menabrak polisi dengan mobil di Hampton Inn di Woodbrigde, New Jersey, pada Februari 2019. Tuduhan kepadanya berdasarkan hasil pengusutan yang meggunakan teknologi pengenalan wajah. Padahal, saat kejadian, Parks sedang berada di tempat yang jaraknya sekitar 30 mil dari lokasi kejadian.

Parks tentu saja kaget bukan kepalang ketika sekelompok polisi menangkapnya dan menjebloskannya ke penjara. Dia harus mendekam 10 hari di penjara dan membayar sekitar US$ 5 ribu untuk membela diri. Pada November 2019, kasus itu dibatalkan karena tidak cukup bukti.

Sekarang, Parks, 33 tahun, menuntut polisi, jaksa, dan pemerintah Kota Woodbridge karena salah tangkap, memenjarakan dirinya, dan pelanggaran hak-hak sipilnya.

Menurut laporan New York Times, Park adalah orang ketiga yang diketahui salah tangkap lantaran teknologi pengenalan wajah menghasilkan kesimpulan yang salah.  Ketiganya adalah orang kulit hitam.

Teknologi pengenalan wajah dikenal memiliki kekurangan. Pada 2019, sebuah studi terhadap lebih dari 100 algoritma pengenalan wajah menukan bahwa tekologi itu tidak berfungsi dengan baik ketika diuji kepada wajah orang kulit hitam dan Asia.

Nathan Freed Wassler, seorang pengacara dari American Civil Liberties Union yag percaya bahwa polisi harus berhenti menggunakan teknologi pengenalan wajah, mengatakan ketiga kasus itu menunjukkan bahwa teknologi itu telah mengungkap adanya diskriminasi yang merugikan komunitas kulit hitam. Dia khawatir, masih ada kasus-kasus salah tangkap lainnya karena penggunaan teknologi yang tidak akurat itu.

Para penegak hukum sering kali membela diri dengan menyebutkan bahwa teknologi itu dipakai hanya sekadar sebagai petunjuk awal dalam mengungkap sebuah kasus. Namun, kasus yang menimpa Parks menunjukkan sebaliknya. Nyatanya, Parks harus mendekam di penjara karena teknologi pengenal wajah salah mengenali dirinya.

Awal Mula Penangkapan
Pada hari Sabtu di bulan Januari 2019, dua petugas polisi muncul di penginapan Hampton Iin di Woodbrige setelah menerima laporan tentang seorang pria yang mencuri makanan ringan dari toko souvenir.

Dalam laporan yang mereka terima, pelaku adalah seorang pria kulit hitam dan mengenakan jaket hitam. Setelah mengambil makanan ringan, pria itu mengatakan makanannya akan dibayar belakangan, dan dia menitipkan SIM sebagai jaminan.

Saat petugas memeriksa SIM-nya, ternyata itu SIM palsu. Seorang polisi kemudian mengatakan melihat kantong yang diduga berisi ganja di saku pria itu. Polisi pun mencoba memborgolnya. Namun, pria itu melawan dan berhasil kabur menggunakan mobil sewaan.

Sebelum meninggalkan tempat, pria itu terlebih dahulu menabrak mobil polisi yang diparkir di depan hotel. Saat dikejar, polisi menemukan mobil yang digunakan pria itu terparkir di sebuah tempat yang berjarak sekitar satu mil dari lokasi kejadian.

Lalu, berbekal SIM palsu yang ditinggalkan pria itu, polisi mencoba mencocokkannya dengan mnggunakan teknologi pengenal wajah.

Keesokan harinya, penyelidik negara bagian mengatakan telah mengetahui siapa pria itu. Namanya Nijeer Parks. Tinggalnya di Paterson yang berjarak 30 mil dari lokasi. Pria itu bekerja di toko bahan makanan. Data di SIM palsu itu kemudian dicocokkan dengan data KTP Parks. Klop. Sama. Polisi pun kemudian mengeluarkan surat perintah penangkapan. Padahal, bisa saja data SIM palsu dibuat berdasarkan data Parks yang bocor dan tersebar.

Sementara Park sendiri merasa sama sekali tidak mirip dengan pria itu. "Saya tidak berpikir dia mirip dengan saya. Satu-satunya kesamaan yang kami miliki adalah jenggot," katanya.

Kasus salah tangkap ini pertama kali dilaporkan oleh NJ Advance Media. Dikatakan, aplikasi pengenalan wajah besutan Clearview AI telah digunakan dalam kasus itu.

Pengacara Parks, Daniel Sexton, mengatakan dia telah menyimpulkan bahwa polisi menggunakan Clearview AI untuk mencari kecocokan wajah. Namun, belakangan, dia mengatakan telah salah menyimpulkan.

Clearview AI adalah aplikasi pengenalan wajah yang menggunakan miliaran foto orang yang diambil dari web publik, termasuk Facebook, LinkedIn, dan Instagram. Pendiri Clearview AI, Hoan Ton-That, mengatakan bahwa petugas yang berafiliasi dengan lembaga negara tempat kasus itu dianalisis, saat itu tidak menggunakan aplikasi dari perusahaannya.

Menurut laporan polisi, mereka menemukan kecocokan data dari foto di SIM, yang berada di database pemerintah, dan tidak dapat diakses oleh Clearview AI.

Awal tahun ini, penggunaan Clearview AI oleh penegak hukum untuk mengidentifikasi orang-orang yang diduga sebagai pelaku kriminal, telah mencuatkan kontroversi dan menjadi sorotan media. Setelahnya, Jaksa Agung New Jersey, Gurbir S. Grewal, memberlakukan moratorium penggunaan Clearview AI oleh polisi dan mengumumkan penyelidikan atas produk itu dan produk yang sejenis dengannya.


Nijeer Parks | Foto: The New York Times

Teknologi itu Hampir Menghancurkan Hidup Orang
Sementara itu, setelah 10 hari ditangkap, Park menjalani hari-hari di dalam penjara dengan rasa khawatir. Penyebabnya, di pernah ditangkap dua kali dan dipenjara karena menjual narkoba di masa lalu. Dia dibebaskan pada 2016. Dengan rekam jejak itu, dia khawatir dirinya tidak bisa dibebaskan. Ini lantaran sistem evaluasi skor untuk menentukan dia bisa bebas sebelum persidangan, juga ditentukan menggunakan perhitungan oleh mesin alogaritma. Ini semacam penentuan skor kredit berbasis algoritma oleh sebuah lembaga keuangan sebelum memutuskan apakah seseorang layak diberi pinjaman atau tidak.  

Saat berurusan dengan kasus narkoba, Parks pernah gagal dibebaskan lantaran skor "membahayakan publik" miliknya cukup tinggi. Untungnya, seorang pengacara yang disewa oleh ibu dan tunangannya berhasil mengeluarkannya dari penjara sehingga dia bisa menjalani program pemantauan praperadilan.

Nah, ketika ditangkap lagi dalam kasus yang tidak dilakukannya, Parks merasa hidupnya akan hancur. Sebab, jika ditangkap karena kejahatan yang ketiga kalinya, dia terancam mendekam lebih lama di penjara. Setidaknya, dia terancam dihukum 10 tahun penjara jika tidak bisa membuktikan dirinya tidak bersalah.

Untungnya, Park bisa mendapatkan bukti dari Western Union, bahwa saat kejadian yang dituduhkan kepadanya, dia sedang mengirim uang ke apotek di Haledon, New Jersey. Beberapa bulan kemudian kasusnya ditutup.

Kepala Departemen Kepolisian Woodbridge menolak mengomentari kasus itu. Kantor kejaksaan Middlesex County juga menolak berkomentar.

Parks sendiri merasa kasus salah tangkap yang dialaminya adalah kejadian yang menakutkan dan bisa menimpa siapa saja ke depannya.

"Saya dikurung tanpa alasan. Saya telah melihat hal itu terjadi pada orang lain. Saya pernah melihatnya di berita. Saya tidak pernah berpikir itu akn terjadi pada saya. Itu adalah cobaan yang sangat menakutkan," katanya.[]

Berita terkait: