Ilham Bintang Kritisi Data Boleh Disimpan di Luar Negeri
Cyberthreat.id - Wartawan senior Ilham Bintang mengkritik aturan pemerintah yang membolehkan data warga Indonesia untuk ditransfer dan disimpan di luar negeri. Ilham sendiri menjadi korban pembobolan rekening bank setelah pelaku mendapatkan data dirinya dari Sistem Laporan Informasi Keuangan (SLIK) milik Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Data itu dijual oleh seorang pegawai bank ke kelompok pembobol rekening bank.
Menurut Ilham, hasil penelusurannya menyimpulkan sistem perlindungan dalam industri telekomunikasi digital dan industri perrbankan sangat lemah.
"Kasus saya dan ribuan kasus lainnya telah membuktikannya," kata Ilham seperti dikutip dari laman Facebook-nya pada Kamis (6 Februari 2020).
Lemahnya perlindungan itu, kata Ilham, membuat 171 juta pengguna internet dan puluhan juta nasabah perbankan di Indonesia rentan menjadi korban. Kondisi ini, kata Ilham, diperparah pula oleh lemahnya berbagai peraturan pemerintah. Menurutnya, Negara seperti tidak hadir.
"Anda bayangkan, 10 Oktober 2019 Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah No 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik ( PP PSTE). Isi pasal 21 ayat 1 PP itu membolehkan provider menyimpan database transaksi elektronik di luar Indonesia," tulis Ilham.
Padahal, tambah Ilham, pada 16 Agustus 2019 sewaktu pidato di Parlemen, Presiden Jokowi menegaskan database itu harus mendapat perlindungan extra ketat. Itu aset bangsa, semacam the new oil, yang menyangkut kedaulatan bangsa.
"Apa yang menyebabkan Presiden menandatangani PP 71/2019 yang menentang sendiri tekadnya melindungi seluruh rakyat Indonesia, Wallahualam," sebut Ilham.
Berita terkait:
- Mengapa Jokowi Bolehkan Data WNI Disimpan di Luar Negeri?
- Data Boleh Disimpan di Luar Negeri, Faktor Amerika?
- Kata Ilham Bintang Setelah Pembobol Rekeningnya Ditangkap
Empat hari setelah meneken PP Nomor 71 Tahun 2019, kata Ilham, Presiden Jokowi berpidato pada Peluncuran Palapa Ring. Isinya Presiden mengulang pidato 16 Agustus yang tekadnya yang kuat dan bulat untuk melindungi darabase seluruh masyarakat.
"Tetapi hukum yang mengikat adalah yang tertulis, seperti PP 71/2019. Itulah yang akan menjadi dasar berpijak selama belum ada penggantinya," tambah Ilham lagi.
Presiden Joko Widodo memang telah menandatangani Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi untuk dibahas di DPR RI. Namun, kata Ilham, proses pembahasan RUU di Parlemen butuh waktu lama sebelum disahkan menjadi UU.
Mengutip pandangan sejumlah pengamat, Ilham pesimis undang-undang itu sulit diwujudkan dalam periode kedua pemerintahan Jokowi. Sebab,"Di situ akan terjadi pertempuran hebat karena menyangkut uang besar, menyangkut provider yang pemiliknya pihak asing."
Ilham lantas mengungkapkan sejumlah kekuatirannya jika database warga Indonesia disimpan di luar negeri seperti tertuang dalam pasal 21 ayat 1 PP Nomor 71 Tahun 2019.
Dari database penduduk Indonesia, kata Ilham, akan mudah diproyeksikan pola dan kebiasaan hidup seseorang: apa kegiatan utama, siapa kawan- kawan dekatnya, apa hobi dan kegemarannya. Dengan cara itulah, kata Ilham, produsen asing akan mendiktekan untuk membeli produk mereka.
"Jelas-jelas akan melumpuhkan industri kita. Saya membayangkan pabrik-pabrik akan tutup, toko-toko konvensional bahkan mal - mal akan tutup karena nasyarakat telah dibentuk pikirannya berbelanja secara online. Dalam sistem itu kejahatan siber akan meningkat, semakin menyengsarakan masyarakat yang kemungkinan sebagian besar sudah di PHK di tempatnya bekerja," tulis Ilham.
Database itu, kata Ilham, juga bisa digunakan untuk kepentingan mempengaruhi pikiran menjelang pemilu karena dari data-data tersebut bisa diketahui bagaimana preferensi politik seseorang, seperti yang terjadi dalam kasus penjualan data Facebook ke Cambridge Analytica yang kemudian menggunakannya untuk mempengaruhi para pemberi suara dalam pemilu di AS.
"Itulah mengapa saya dan tentu menjadi harapan seluruh masyarakat bahwa keberhasilan Polri menggulung sindikat ini bisa sekaligus menjadi momentum perbaikan seluruh sektor dalam industri telekomunikasi dan perbankan. Berbenah diri termasuk masyarakat sendiri supaya kejadian ini tidak terulang lagi. Tanpa harus menunggu lahirnya UU Perlindungan Data Pribadi," kata Ilham.
Berita terkait:
- Pakai Data Pribadi Orang Lain Bisa Dipenjara Tujuh Tahun
- SAFEnet: RUU PDP Wajib Berpihak Pada Kepentingan Rakyat
- SAFEnet: Sejumlah Pasal Hilang dari RUU PDP
- Ketua DPR RI: UU PDP Harus Bermanfaat Bagi Warga Negara
Soal RUU Perlindungan Data Pribadi yang disinggung Ilham, dalam salinan yang diperoleh cyberthreat.id, sebenarnya tak ada larangan untuk mentransfer dan menyimpan data di luar negeri. Justru, jika disahkan menjadi UU, akan memperkuat aturan sebelumnya yakni PP Nomor 71 Tahun 2019.
Celah untuk mentransfer data di luar negeri itu diatur dalam pasal 49 RUU Perlindungan Data Pribadi. Disebutkan, Pengendali Data Pribadi (pihak yang menentukan tujuan dan melakukan kendali pemrosesan data pribadi) dapat mentransfer data pribadi warga negara Indonesia ke luar negeri dengan sejumlah syarat.
Pertama, negara tempat kedudukan Pengendali Data Pribadi atau organisasi internasional yang menerima transfer Data Pribadi memiliki tingkat perlindungan Data Pribadi yang setara atau lebih tinggi dari yang diatur dalam undang-Undang itu.
Kedua, terdapat perjanjian internasional antarnegara.
Ketiga, ada kontrak antar Pengendali Data Pribadi yang memiliki standar dan/atau jaminan pelindungan data pribadi sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang ini; dan/atau mendapat persetujuan Pemilik Data Pribadi.[]