Dikritik Soal Lokalisasi Data Center, Ini Jawaban Kominfo

Plt. Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Anthonius Malau (ketiga dari kanan) di acara seminar bertajuk "Early Warning System In Cyberspace" di Jakarta, Rabu (30 Oktober 2019). | Foto: Cyberthreat.id/Oktarina Paramitha Sandy

Jakarta, Cyberthreat.id – Poin utama yang dikritik soal Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) adalah lokalisasi data.

Regulasi yang merevisi PP Nomor 82 2012 tersebut menyebutkan, bahwa pusat data (data center) boleh disimpan di dalam negeri atau luar negeri untuk lingkup penyelenggara sistem elektroni (PSE) Privat.

Masyarakat Telematika Indonesia menilai regulasi baru tersebut cenderung tidak pro pada pelaku bisnis penyedia pusat data lokal dan memberikan peluang leluasa bagi pelaku global.

Namun, Kementerian Komunikasi dan Informatika menyatakan, tak masalah di mana pun penempatan pusat data.

Plt Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Anthonius Malau, menuturkan, dalam regulasi tersebut telah mengatur secara definitif data apa saja yang wajib disimpan di Indonesia dan data apa saja yang boleh disimpan di luar negeri.


Berita Terkait:

“Jadi, semua data yang berkaitan dengan transaksi elektronik lingkup publik, itu wajib di Indonesia, itu perbedaannya. Sementara, transaksi lingkup privat itu bisa [disimpan] di Indonesia, bisa di luar negeri,” kata Anthonius saat ditemui Cyberthreat.id  di Jakarta, Rabu (29 Oktober 2019).

Tak hanya itu, kata dia, semua perusahaan digital yang beroperasi di Indonesia harus mendaftarkan diri ke pemerintah. Ini fungsinya, kata dia, untuk mengetahui data–data apa saja yang dihimpun dari pengguna dan bagaimana penyimpanannya.

Hal ini dimaksudkan “supaya pemerintah mengetahui data apa saja yang dihimpun oleh perusahaan digital tersebut,” ujar dia.

Anton mengatakan fisik pusat data seharusnya tidak menjadi masalah. Yang menjadi isu utamanya adalah perlindungan datanya.

“Seperti yang kita ketahui, isu utama dari data itu sendiri keamanan. Mana mungkin kita mau menyimpan data di tempat yg tidak aman, maka keamanan itu menjadi hal yang penting,” kata dia.

Ia juga menilai PP tersebut juga sama sekali tidak berbenturan dengan kedaulatan data. Yang harus digarisbawahi adalah jika masyarakat tidak memiliki akses terhadap data tersebut, itu baru bisa dikatakan tidak berdaulat.

“Jadi, data bisa disimpan di mana saja, tapi tetap sesuai dengan pembagian data yang sudah dicantumkan, dan kita bisa akses data tersebut kapan saja,” kata dia.

Ia mengatakan, tak masalah dengan sejumlah kalangan yang menolak PP 71 dan sudah sewajarnya masyarakat waswas terkait dengan hal tersebut.

Yang harus dipastikan adalah “peraturan ini ada untuk kebaikan semua pihak, tentu bukan tanpa alasan diterbitkannya PP ini,” tutur Anthonius.

Redaktur: Andi Nugroho