PP 71/2019 Dinilai Tak Pro Industri Data Center Lokal

Direktur Eksekutif Mastel Arki Rifazka. | Foto: Mastel.id

Jakarta, Cyberthreat.id – Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), wadah dari seluruh pegiat bisnis industri digital di Indonesia, bersuara keras dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE).

PP tersebut merupakan hasil revisi dari PP Nomor 82 Tahun 2012 yang dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan digital zaman sekarang.

Mastel menilai justru PP 71 tidak mengakomodasi aspirasi para pelaku industri digital di Indonesia. Dalam PP lama disebutkan, bahwa penyelenggara sistem elektronik (PSE) yang beroperasi di Indonesia wajib untuk menyimpan pusat data (data center) di dalam negeri.

Ini berbeda dengan PP 71 yang justru menganulir kebijakan lama. Pemerintah memperbolehkan PSE Privat—penyimpan data privat—menyimpan basis datanya di dalam atau di luar negeri, terkecuali bagi jasa keuangan.

“Sayangnya definisi soal PSE Publik dan PSE Privat itu tidak konsisten,” kata Direktur Eksekutif Mastel Arki Rifazka kepada Cyberthreat.id, Kamis (31 Oktober 2019).

Ia mencontohkan, pasar daring blanja.com. Sebagai pelaku bisnis perdagangan elektronik (e-commerce), blanja.com masuk sektor publik karena saham perusahaan dimiliki oleh BUMN. Di sisi lain, pasar daring seperti Bukalapak, Tokopedia, Shopee, dan lain-lain masuk ke dalam ranah privat. Padahal lini bisnisnya sama-sama pasar daring (marketplace).

Maka dari itu, ia mengatakan, PP 71 tersebut sangat merugikan industri digital Indonesia, terlebih saat ini sudah banyak pelaku industri yang membangun pusat data (data center).

Berikut wawancara jurnalis Cyberthreat.id Oktarina Paramitha Sandy dengan Direktur Eksekutif Mastel, Arki Rifazka:

Sebetulnya PP 71 lebih menyoroti soal apa?

Berdasarkan peraturan baru, data center ranah publik wajib disimpan di dalam negeri, sedangkan lingkup privat dapat menempatkan datanya di dalam atau di luar wilayah Indonesia dengan menjamin efektivitas, pengawasan, dan penegakan hukum. Jadi, sistemnya [terbagi dua] yaitu lingkup publik dan privat.

Sebagian kalangan menilai PP 71 artinya Indonesia tidak berdaulat atas data sendiri, komentar Anda?

Iya bertentangan dengan kedaulatan data. Alasannya,  Kementerian Komunikasi dan Informatika menyederhanakan kedaulatan data dengan perlindungan data kaitannya dengan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP)

Dari situ ada wacana yang mengatakan jika PP 82 harus direvisi agar investasi dari luar masuk ke Indonesia. Padahal, banyak [pelaku bisnis]data center lokal membangun data center dengan acuan kepastian regulasi PP 82, di mana data center harus di Indoensia.

Nah, kominfo bikin istilah baru yang namanya lingkup publik dan privat, padahal di undang-undang umumnya disebut pelayanan publik. Yang perlu diatur pemerintah seharusnya membuat masyarakat menggunakan layanan data center yang ada di dalam negeri.

Walaupun saat ini borderless (tanpa batas) dan sudah sangat digital, saat ini kedaulatan itu juga ada berada di dalam ranah siber. Dan, tidak boleh dilupakan karena masalah penjajahan digital saat ini melalui aplikasi.

Apa yang membuat Mastel menolak revisi PP 82?

Sebenarnya, yang kami bahas di penolakan sebelumnya itu masih berupa draf. Kami dapat resmi dari Kementerian Kominfo draf yang mereka serahkan ke Setneg [Sekretariat Negara]. Kemdiana, kami baca lagi, kami cermati pasal-pasalnya. Jadi, keluarlah rilis yang sebelumnya. Dan, pada saat PP Nomor 71 keluar memang isinya sama dengan yang kita bahas sebelumnya.

Poin utamanya, melalui PP itu, kami melihat pemerintah mencoba untuk membuat kebijakan—yang teorinya itu mereka kembangkan sendiri.

Misal dalam hal pendefinisian ada PSE. Ada yang disebut PSE lingkup publik dan PSE lingkup privat. Sementara publik dan privatnya bukan dilihat dari objek yang di-delivery. Bukan dilihat dari siapa penggunanya. Jadi, lingkup publik dan privat itu dilihat dari asal-muasal PSE itu di buat berdasarkan apa.

PSE yang berasal dari pemerintah sifatnya e-gov [e-government] masuknya ke lingkup publik. Yang dibuat BUMN itu juga masuk ke ranah publik, sedangkan lingkup privat dilihat dari PSE tersebut [yang] tidak ada afiliasi dan misi dari negara. Misalnya, e-commerce dan platform media sosial.

Sayangnya definisi soal publik dan privat itu tidak konsisten, contohnya blanja.com yg merupakan e-commerce, menjadi sektor publik dikarenakan sahamnya dimiliki oleh BUMN. Sementara, e-commerce lain seperti Bukalapak, Shopee, dan lain-lain masuk ke dalam ranah privat. Padahal, lini bisnisnya sama-sama marketplace.


Berita Terkait:


Polisi bilang data center di luar Indonesia mempersulit tugas penyidik, benarkah begitu?

Kalau platform global maunya data diberikan setelah putusan sistem pengadilan, sedangkan di Indonesia data bisa diminta sejak dimulainya penyelidikan. Kalau polisi bilang susah ya bener susah, apalagi pendekatan hukum kita dan mereka berbeda.

Saat ini polisi mulai sadar pentingnya data center di Indonesia karena kalau data center di luar akan sedikit kesulitan karena harus memperoleh beberapa tahapan dan pendekatan hukum.

Harusnya Kementerian Kominfo melihat Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan yang berhasil mengimplementasikan PP 82 terkait dengan data center; menjadi banyak aturan turunan dan mereka berhasil saja kok. Kenapa kominfo kesulitan menerjemahkan itu?

Bagaimana dampak PP 71 bagi bisnis digital di Indonesia?

Tadinya dengan adanya PP 82 banyak orang membuka bisnis data center dan banyak perusahaan data center global yang mengajak kerja sama penyedia layanan data center Indonesia. Itu diyakini dapat meningkatkan pendapatan ekonomi digital Indonesia.

Ini artinya kan penyedia cloud dalam negeri akan bersaing langsung dengan penyedia luar negeri. Ibarat market, satu loyang kue, dulu semuanya wajib di cloud lokal, sekarang kue dalam satu loyang yang sama mulai diiris untuk direbut penyedia cloud global. Pemerintah kan tidak dapat apa-apa dari penyedia cloud global yang jasanya digunakan oleh PSE dalam negeri.

Redaktur: Andi Nugroho