Rencana Diskusi Online Berujung Teror dan Peretasan WhatsApp, Rektor UII Minta Presiden Jamin Kebebasan Akademik

Tangkapan layar perbincangan seputar tulisan Bagas Pujilaksono Widyakanigara di Facebook

Cyberthreat.id - Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Profesor Fathul Wahid meminta Presiden Republik Indonesia c.q. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk memastikan terselenggaranya kebebasa akademik demi menjamin Indonesia tetap dalam rel demokrasi yang menjunjungg tinggi kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat di muka umum.

Pernyataan itu tercantum dalam salah satu perrnyataan sikap sivitas akademika UII merespon adanya teror terhadap mahasiswa dan narasumber yang berencana menggelar diskusi online dengan tema "Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan."

Seperti diketahui, diskusi itu rencananya digelar secara online lewat aplikasi Zoom pada Jumat (29 Mei 2020) pukul 14.00 - 16.00 WIB. Penyelenggaranya adalah mahasiswa Constitutional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebagai pemateri, diundang Profesor Ni'matul Huda yang merupakan Guru Besar Hukum Tata Negara UII.

Namun, sehari sebelum acara digelar, terjadi kehebohan di sosial media. Salah satu penyebabnya adalah tulisan dari dosen Fakultas Teknik Sekolah Pascasarjana UGM bernama Bagas Pujilaksono Widyakanigara sebagaimana dikatakan oleh Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto.

Dalam tulisannya, Bagas antara lain menulis "inikah demokrasi, pada saat bangsanya sibuk bergotong-royong mengatasi pandemi Covid-19, kelompok sampah ini justru malah mewacanakan pemecatan Presiden. Ini jelas makar dan harus ditindak jelas."

Tulisan Bagas itu kemudian viral di Facebook dan WhatsApp. Di sejumlah  grup Facebook pendukung Presiden Joko Widodo, massa yang terprovokasi meminta acara itu dibubarkan. Ada pula yang meminta panitia penyelenggara ditembak mati.   (Lihat: Melihat Bagaimana Tulisan Dosen UGM di Sosial Media Berujung Ancaman Pembunuhan)

Setelah tulisan itu viral, menurut Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto, sejumlah orang yang terlibat mendapatkan teror sejak Kamis (28 Mei 2020).

"Tanggal 28 Mei 2020 malam, teror dan ancaman mulai berdatangan kepada nama-nama yang tercantum di dalam poster kegiatan: pembicara, moderator, serta narahubung," kata Sigit dalam keterangan tertulis Sabtu (30 Mei 2020).

"Berbagai terror dan ancaman dialami oleh pembicara, moderator, narahubung, serta kemudian kepada ketua komunitas 'Constitutional Law Society' (CLS) mulai dari pengiriman pemesanan ojek online ke kediaman, teks ancaman pembunuhan, telepon, hingga adanya beberapa orang yang mendatangi kediaman mereka," lanjut Sigit.

Teror, kata Sigit, terus berlanjut hingga Jumat kemarin. Selain yang terlibat dalam mempersiapkan diskusi, keluarga mereka juga menjadi sasaran. Menurut Sigit, ada dua orang tua mahasiswa yang menyiapkan acara itu mendapat pesan teks berisi ancaman pembunuhan. Pengirim pesan mengatasnamakan salah satu organisasi masyarakat.

"Saya akan bunuh keluarga bapak semuanya kalo gabisa bilangin anaknya". Lalu pesan lainnya juga bernada ancaman yang hampir mirip yaitu "Tolong serahin diri aja. Saya akan bunuh satu keluarga *****," demikian antara lain bunyi pesan itu.

"Selain mendapat teror, nomor telepon serta akun media-sosial perorangan dan kelompok 'Constitutional Law Society' (CLS) diretas pada tanggal 29 Mei 2020. Peretas juga menyalahgunakan akun media-sosial yang diretas untuk menyatakan pembatalan kegiatan diskusi, sekaligus mengeluarkan (kick out) semua peserta diskusi yang telah masuk ke dalam grup diskusi. Selain itu, akun instagram 'Constitutional Law Society' (CLS) sudah tidak dapat diakses lagi," tambah Sigit.

Menurut Rektor UII Profesor Fathul Wahid teror dan intimidasi itu  adalah bentuk upaya "pembunuhan" demokrasi. Sebab, kata dia, dalam dunia akademik, kebebasan berpendapat berupa kebebasan akademik merupakan jantung dari sebuah perguruan tinggi.

"Kebebasan akademik sebagai ruh sekaligus penciri dari perguruan tinggi yang akan mendorong bagi terwujudnya demokratisasi suatu bangsa," kata Fathul Wahid dalam keterangn tertulis tertanggal 30 Mei 2020.

Lembaga PBB Unesco, kata Fathul, mendefinisikan kebebasan akademik sebagai hak yang berupa "kebebasan dalam mengajar dan berdiskusi, kebebasan dalam meneliti dan menyebarluaskan serta menerbitkan hasil riset."

Rencana menggelar diskusi online itu, kata Fathul, adalah murni aktivitas ilmiah yang jauh dari tuduhan makar sebagaimana disampaikan oleh oknum melalui media massa (daring)
atau media sosial.

"Tema pemberhentian presiden dari jabatannya merupakan isu konstitusional yang diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945, yang lazim disampaikan kepada mahasiswa dalam mata kuliah Hukum Konstitusi," ujarnya.

Fathur menambahkan, tindakan intimidasi terhadap panitia penyelenggara dan narasumber sungguh tidak dapat dibenarkan baik secara hukum maupun akal sehat.

"Bagaimana mungkin diskusi belum dilaksanakan, materi belum pula dipaparkan, tetapi penghakiman bahwa kegiatan diskusi akan berujung makar sudah disampaikan," tambahnya.

Sivitas akademika Universitas Islam Indonesia, kata Fathur,  menilai tindakan itu bukan hanya tidak proporsional melainkan juga mengancam kebebasan berpendapat yang dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945.
 
Fathur menambahkan,"Tindakan-tindakan berupa intimidasi, pembubaran hingga pemaksaan untuk membatalkan diskusi adalah tindakan yang tidak bisa diberi toleransi oleh hukum demi tegaknya HAM dan kebebasan akademik. Oleh karena itu, harus ada tindakan yang tegas dari penegak hukum terhadap oknum pelaku tindakan intimidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan."
 
Terkait hal itu, sivitas akademika UII menyampaikan pernyataan sikap sebagai berikut:

1. Mengutuk keras tindakan intimidasi yang dilakukan oleh oknum tertentu terhadap panitia
penyelenggara dan narasumber dalam diskusi yang diselenggarakan oleh kelompok studi mahasiswa “Constitutional Law Society” FH UGM;

2. Meminta aparat penegak hukum untuk memproses, menyelidiki dan melakukan tindakan hukum terhadap oknum pelaku tindakan intimidasi terhadap panitia penyelenggara dan narasumber diskusi dengan tegas dan adil;

3. Meminta aparat penegak hukum untuk memberikan perlindungan terhadap panitia penyelenggara dan narasumber, serta keluarga mereka, dari tindakan intimidasi lanjutan dalam segala bentuknya, termasuk ancaman pembunuhan;

4. Meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk mengawal penuntasan kasus ini agar terjamin tegaknya HAM dalam rangka melindungi segenap dan seluruh tumpah darah Indonesia;

5. Meminta Presiden Republik Indonesia c.q. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk
memastikan terselenggaranya kebebasan akademik demi menjamin Indonesia tetap dalam rel demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat di muka umum; dan

6. Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap menggunakan hak/kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat di muka umum, sepanjang sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan, demi menjaga proses demokratisasi tetap
berjalan pada relnya.

Demikian pernyataan sikap ini disampaikan untuk menjadi maklumat bagi Presiden Republik
Indonesia, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Kepolisian Republik Indonesia, Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, dan seluruh rakyat Indonesia.

Penyataan sikap ini adalah bukti bahwa sivitas akademika Universitas Islam Indonesia tak
lelah mencintai Indonesia untuk tetap menjadi bangsa dan negara yang bermartabat dan
demokratis.

Semoga Allah Swt.,Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa membimbing bangsa Indonesia agar tetap konsisten menapaki jalan demokrasi yang saat ini kian tertatih.

Yogyakarta, 7 Syawal 1441/30 Mei 2020
Atas nama sivitas akademika Universitas Islam Indonesia

Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D
Rektor