FBI Akui Sebatas Uji Coba Spyware Pegasus
Cyberthreat.id – Biro Investigasi Federal (FBI), badan penegak hukum AS, mengakui bahwa kantornya memiliki dan menguji perangkat lunak peretasan yang dibuat oleh NSO Group.
NSO Group ialah perusahaan asal Israel yang terkenal kontroversial lantaran memproduksi spyware bernama Pegasus.
Pegasus dijual kepada sejumlah negara dan terungkap alat tersebut disalahgunakan untuk meretas iPhone.
FBI mengatakan meski memiliki alat tersebut, badan tidak menggunakannya untuk penyelidikan apa pun.
“FBI memperoleh lisensi terbatas untuk pengujian dan evaluasi produk saja, tidak ada penggunaan operasional untuk mendukung penyelidikan apa pun,” kata juru bicara FBI dalam sebuah pernyataan, Rabu (2 Februari 2022) dikutip dari Reuters.
Berita Terkait:
- Polisi Israel Akui Pakai Spyware Tanpa Izin Pengadilan
- Finlandia Umumkan Diplomatnya Ditarget Pegasus
Pernyataan tersebut sekaligus membenarkan laporan yang lebih dulu diungkap oleh The New York Times dan koran Inggris, Guardian.
FBI mengatakan bahwa lisensinya tersebut kini sudah tidak lagi aktif.
NSO sebelumnya mengatakan bahwa alatnya tersebut hanya untuk membantu memerangi teroris, pedofil, dan kriminal kelas kakap. Namun, tahun lalu, Pegasus terungkap menargetkan iPhone dan telah digugat oleh Apple karena dinilai telah melanggar persyaratan dan perjanjian layanan penggunanya.
Baca:
- Kepala Eksekutif NSO Israel Mundur di Tengah Skandal Pegasus
- Bloomberg: Spyware Pegasus Bakal Dimatikan, NSO Group Siap Dilego
- NSO Group Hentikan Kontrak Pegasus dengan UEA
Amnesty International, salah satu organisasi yang aktif menyuarakan penyalahgunaan Pegasus.
Sejauh ini belum ada tanggapan dari NSO Group.
Pada Januari lalu, Pusat Kontraintelijen dan Keamanan Nasional AS juga mengatakan di akun Twitter-nya bahwa perangkat lunak yang dijual oleh perusahaan pengintaian “digunakan dengan cara menimbulkan risiko kontraintelijen dan keamanan yang serius bagi personel dan sistem AS.
Akhir 2021, Departemen Perdagangan AS juga menambahkan NSO ke daftar hitam perusahaan karena dianggap bermasalah dalam hak asasi manusia.[]