Video Asusila Mirip Artis Nagita Slavina, Komnas Perempuan: Banyak Perempuan Korban Morphing
Cyberthreat.id – Jagat media sosial Indonesia selama sepekan terakhir dihebohkan oleh sebuah video asusila selama 61 detik yang mirip dengan wajah Nagita Slavina, istri aktor Raffi Ahmad.
Hasil penelaahan oleh Polri menyebutkan, bahwa “video tersebut hasil rekayasa”. “Video itu fake alias palsu, hasil editing,” kata Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, AKBP Wisnu Wardhana, Sabtu (15 Januari 2022) kepada detik.com.
Namun, Wisnu tidak menjelaskan detail tentang letak kepalsuan tersebut. Polri mengatakan, saat ini fokus memburu penyebar video tersebut. Nagita sebelumnya juga pernah diterpa isu tak sedap terkait adegan asusila.
Anggota Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan, kasus yang dialami oleh Nagita tersebut sudah termasuk kategori Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Jenis tindakan tersebut disebut morphing.
Siti menjelaskan, morphing ialah tindakan kekerasan seksual yang mengedit sebuah foto atau video tertentu dengan wajah korban. Pelaku kemudian mengunggah foto atau video tersebut ke media sosial atau situsweb porno.
“Kebanyakan korban morphing ini perempuan dan biasanya mereka orang terkenal. Sudah banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan ini,” kata Siti kepada Cyberthreat.id, Selasa (18 Januari 2022).
Menurut dia, morphing bertujuan untuk merusak reputasi korban. Bahkan, ada pelaku yang memeras korban dengan meminta sejumlah bayaran. Jika permintaan tidak dituruti, pelaku mengancam akan menyebarluaskan foto atau video tersebut—dalam kasus pemerasan ini sudah tergolong praktik sextortion. (Baca:
Komnas Perempuan telah beberapa kali mengamati kasus morphing. Kebanyakan kasus ini dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan korban. Misal, rekan bisnis, mantan pacar, kenalan dari media sosia, dan orang yang mungkin tidak menyukai korban.
“Kekerasan seksual morphing ini dapat memberikan dampak psikologis terhadap perempuan, berupa depresi, kecemasan, dan pada titik tertentu korban menyatakan pikiran untuk bunuh diri,” ujar Siti.
Korban juga cenderung menarik diri dari kehidupan publik, termasuk keluarga dan teman-teman karena merasa dipermalukan dengan adanya video tersebut.
Ia berharap kalangan perempuan harus tetap waspada dengan kejahatan morphing. Apalagi dengan kemajuan teknologi saat ini, tidak sulit bagi siapa saja untuk membuat video palsu.
Di satu sisi, Siti juga meminta korban morphing harus punya keberanian untuk melapor. Diharapkan kepolisian bisa menelusuri kebenaran video atau foto morphing tersebut. Sementara, Komnas Perempuan bisa memberikan pendampingan dan pemulihan psikologis bagi korban.
“Kalau mereka tidak berani mengadu, yang ada mereka (pelaku) akan terus mengancam korban, dan korban akan terus merasa ketakutan,” ujar Siti.
Tak hanya morphing, Siti menyebutkan ada beberapa bentuk kekerasan seksual online yang banyak dilaporkan perempuan, antara lain sextortion, cyber harassment, revenge porn, malicious distribution, impersonation, cyber grooming, illegal content, serta cyber recruitment.
Hak penghapusan jejak digital
Untuk mengantisipasi masalah serupa tidak terjadi lagi, Komnas Perempuan mengusulkan supaya berbagai bentuk KBGO, khususnya tindak pidana rekayasa pornografi ini dapat diatur dalam rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Di dalamnya juga harus dimasukkan hak penghapusan jejak digital. Ini bertujuan untuk menghapus peristiwa masa lalu, berupa informasi, video atau foto tentang tindak pidana kekerasan seksual tentang korban di Internet agar tidak dapat ditemukan oleh mesin pencari.
“Hak penghapusan jejak digital ini menjadi sangat penting, karena tidak sedikit perempuan yang menjadi korban dan ini berdampak pada kehidupannya,” terang siti.
Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan, sepanjang 2018- 2020, Unit Pengaduan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan menerima 1.321 kasus KBGO.
Peningkatan pengaduan kasus tiap tahun dapat dilihat sebagai pola baru yang menjadikan perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan dengan cara, melalui atau diperburuk dengan bantuan teknologi informasi komunikasi.[]
Redaktur: Andi Nugroho