Perempuan Indonesia Kian Rentan di Dunia Maya, Ancaman Seksual hingga Penyebaran Data Pribadi
Cyberthreat.id – Kaum perempuan kian rentan di dunia maya. Mereka mendapatkan ancaman secara seksual hingga penyebaran data pribadi. Setidaknya ini yang dialami sejumlah perempuan yang melaporkan diri ke Lembaga Bantuahn Hukum APIK Jakarta.
Selama tiga tahun terakhir jumlah aduan kekerasan perempuan di internet—sering diistilahkan kekerasan berbasis gender online (KGBO)—bertambah banyak.
Pada 2019 LBH Apik menerima sebanyak 17 aduan. Jumlah ini bertambah drastis di tahun berikutnya sebanyak 307 aduan dan hingga awal Desember jumlah laporan yang diterima mencapai 489 aduan.
“KBGO telah menjadi perhatian semua pihak sejak beberapa tahun terakhir, tapi karena penggunaan internet semakin masif bahkan sampai ke pelosok daerah menyebabkan pelecehan seksual melalui ranah internet ini terus meningkat setiap tahunnya,” kata Koordinator Divisi Pelayanan Hukum LBH APIK Jakarta, Uli Pangaribuan, dalam diskusi virtual, Jumat (10 Desember 2021).
Dari berbagai laporan yang ditangani oleh LBH APIK, banyak korban sering menerima ancaman konten pribadinya disebarkan secara ilegal, pelecehan seksual lewat media sosial, pencemaran nama baik di dunia maya, serta penguntitan atau stalking melalui medsos.
Menurut Uli, kebanyakan pelaku ialah pasangan atau pacar korban, suami, mantan pacar dan mantan suami, teman, orang yang dikenal melalui media sosial dan orang-orang tanpa identitas (anonim).
“Paling banyak kekerasan ini dilakukan oleh orang terdekat ya, terutama pacar, korban KBGO sering kali diancam dan dipaksa untuk mengirimkan foto tertentu ke pelaku yang nantinya digunakan untuk mengancam korban,” terang Uli.
Dari ratusan kasus yang dterima LBH APIK, katanya, sampai saat ini baru ada dua kasus yang baerhasil diproses hukum hingga ke pengadilan. Hambatan yang dihadapi adalah masalah terkait substansi, struktur, dan kultur.
Untuk masalah kultur, kata Uli, terjadi karena belum adanya dasar hukum yang mampu melindungi korban—RUU Tindak Pidana Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Data Pribadi belum disahkan oleh DPR. Hal ini juga menyebabkan pemrosesan hukum berbagai kasus KBGO seringkali berpotensi untuk mengkriminalisasi korban, Uli menjelaskan.
Sementara itu, hambatan secara struktur terjadi karena masih banyak aparat penegak hukum yang belum memahami kasus KBGO. Belum lagi, masih banyak lembaga bantuan hukum yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman mendampingi kasus-kasus kekerasan yang terjadi di internet.
Terakhir, hambatan secara kultur terjadi karena masih banyak korban yang disalahkan oleh lingkungan dan belum fokus untuk menjaga keamanan digital.
“Perlu ada satu pemahaman bersama dan komitmen dari berbagai pihak untuk menciptakan ruang digital yang aman dan ramah bagi perempuan khususnya dari KBGO ini,” tutur Uli.[]
Redaktur: Andi Nugroho