Pengadilan Tinggi Putuskan Media Australia Bertanggung Jawab Atas Komentar di Laman Facebooknya
Cyberthreat.id - Pengadilan Tinggi di Australia memutuskan pada hari Selasa (7 September 2021) bahwa sejumlah media massa di negara itu harus bertanggung jawab atas komentar yang disampaikan pembaca di halaman Facebook perusahaan mereka.
Keputusan itu sekaligus menolak upaya banding sejumlah media massa terhadap putusan sebelumnya yang mendukung pencemaran nama baik oleh Dylan Voller, seorang pemuda yang telah menjadi subyek pemberitaan saat dia menjadi tahanan.
"Ini adalah keputusan yang masuk akal yang sesuai dengan hukum lama tentang masalah publikasi," kata pengacara Voller, Pengacara Pidana dan Perdata O'Brien, dalam sebuah pernyataan setelah putusan seperti dilaporkan Reuters.
Voller mengatakan bahwa setelah cerita tentang dirinya diposting di halaman Facebook perusahaan berita, sejumlah pengguna Facebook membuat komentar memfitnah.
Tak terima dengan komentar pembaca yang menyudutkan dirinya, Voller menilai perusahaan media bertanggung jawab sebagai penerbit, meskipun komentar itu muncul di platform Facebook. Itu sebabnya, Voller kemudian mengajukan gugatan terhadap penerbit, termasuk Fairfax Media, penerbit surat kabar Sydney Morning Herald, yang dimiliki oleh Nine Network, dan lainnya.
Setelah pengadilan memenangkan Voller, media mengajukan banding berdasarkan argumen bahwa mereka mengelola halaman Facebook tempat pihak ketiga menerbitkan materi mereka sendiri.
Tapi Pengadilan Tinggi menolak banding dan memerintahkan perusahaan media yang digugat untuk membayar biayanya.
"Tindakan (perusahaan media) dalam memfasilitasi, mendorong dan dengan demikian membantu posting komentar oleh pengguna Facebook pihak ketiga menjadikan mereka (perusahaan media) sebagai penerbit komentar tersebut," kata majelis hakim.
Saat kasus itu terjadi, Facebook tidak mengizinkan moderator halaman untuk mematikan komentar. Setelah kasus itu mencuat, barulah Facebook menghadirkan opsi untuk mematikan komentar. (Lihat: Setelah Kasus Australia, Facebook Kini Memungkinkan Pengguna Mengatur Siapa yang Bisa Berkomentar ).
Kasus ini sekarang akan kembali ke Mahkamah Agung New South Wales untuk menentukan apakah ada komentar yang mencemarkan nama baik Voller.
Seorang juru bicara Nine mengatakan "kecewa dengan hasilnya, karena akan memiliki konsekuensi untuk apa yang dapat kami posting di media sosial di masa depan".
Michael Miller, ketua eksekutif News Corp Australia mengatakan kepada Sydney Morning Herald bahwa keputusan pengadilan itu penting bagi siapa saja yang mengelola halaman media sosial publik.
"Mereka harus bertanggung jawab atas komentar yang diposting oleh orang lain di halaman itu bahkan ketika mereka tidak mengetahui komentar tersebut," katanya.
Respon Sidney Morning Herald
Amatan Cyberthreat.id, surat kabar Sidney Morning Herald merespon putusan itu dalam editorialnya hari ini.
"Sepanjang 190 tahun sejarahnya, Herald harus membela di pengadilan artikel yang kami terbitkan di surat kabar kami dan di situs web kami, tetapi keputusan Pengadilan Tinggi pada hari Selasa telah menjelaskan bahwa kami juga dapat bertanggung jawab atas hal-hal yang tidak kami perankan secara tertulis," tulis Herald.
Menurut surat kabar itu, putusan tersebut "menempatkan beban baru yang signifikan pada media berita dalam perannya menginformasikan publik, mendorong diskusi yang adil dan melawan informasi yang salah yang semakin intens. The Herald sekarang dapat dituntut untuk ratusan, dan kadang-kadang ribuan, komentar oleh pembaca di bawah masing-masing dari 50 artikel yang diterbitkan di halaman Facebook-nya setiap hari."
Karena itu, Herald menyarankan pemerintahnya melihat formula yang digunakan di yurisdiksi lain, seperti Amerika Serikat, yang sama sekali tidak memperlakukan penyedia atau pengguna layanan komputer interaktif sebagai penerbit.
"Hukum harus diubah di sepanjang garis ini untuk melindungi organisasi yang menggunakan media sosial secara bertanggung jawab dan mengambil langkah-langkah yang wajar untuk menghapus posting yang memfitnah. Jika tidak, debat publik akan menderita," tulis Sydney Morning Herald.[]