DATA COVID-19

Beda Jawaban BNPB dan Kemenkes Soal Tak Adanya Data Klaster Penularan Covid-19

Salah satu klaster penularan terbesar di Malaysia yang berasal dari tabligh akbar di Masjid Seri Petaling yang diumumkan ke masyarakat luas

Cyberthreat.id - Situs covid19.go.id yang merupakan situs informasi satu pintu untuk penanganan Covid-19 di Indonesia, hingga kini belum pernah memunculkan data klaster penularan virus corona di Indonesia. Padahal, klaster penularan adalah salah satu informasi penting bagi masyarakat untuk mewaspadai dan memeriksakan diri dari kemungkinan penularan jika pernah berada di waktu dan tempat yang sama dengan pasien positif Covid-19.

Dikelola oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di bawah koordinasi Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), situs covid19.go.id hanya menyajikan himbauan pemerintah dan naik turunnya angka pasien positif, sembuh, dirawat, dan meninggal. Itu pun beberapa kali sering tidak sinkron dengan data yang disajikan website pemerintah provinsi.

Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Bencana di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo pada 5 April 2020 lalu, mengungkapkan pihaknya kesulitan mendapatkan data dari Kementerian Kesehatan.

"Betul, masih banyak yang tertutup," kata Agus Wibowo dalam diskusi online yang diunggah akun Youtube Energy Academy Indonesia.

Pada Senin pekan lalu (13 April 2020), Presiden Joko Widodo meminta adanya data terpadu yang dapat diakses oleh masyarakat. Jokowi tak lupa meminta instansi yang terlibat untuk bekerja sama dalam menyampaikan data kepada masyarakat.

Terakhir, pada rapat Senin (20 April 2020) kemarin, Presiden Jokowi kembali meminta  para menteri dan institusi terkait untuk memberikan informasi yang terbuka terkait wabah corona kepada masyarakat.

"Komunikasi yang terbuka, sistem data informasi yang terbuka kepada semua pihak," kata Jokowi

Nyatanya, hingga kini data riwayat klaster penularan belum bisa diakses masyarakat secara terbuka.

Untuk mengetahui di mana letak masalahnya, Cyberthreat.id menghubungi pengelola Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kesehatan dan BNBP. Namun, jawabannya berbeda-beda pula.

Kepala Pusdatin Kementerian Kesehatan Didik Budiyanto mengatakan pihaknya telah mengirimkan data tersebut kepada BNPB yang mengelola situs covid19.go.id.

"Iya sudah ke BNPB. kita kirim by API ke sana. Dan dari sana memang dibuat klaster." kata Didik Budiyanto kepada Cyberthreat.id, Selasa (21 April 2020).

API yang dimaksud adalah Aplication Programming Interface. Sederhananya, pihak yang mendapatkan akses kode API dapat mengakses data di server tanpa merusaknya, namun dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan.

"Ya mungkin ada miripnya [jejak kasus penularan] , tetapi kami sih [Pusdatin] maksudnya kolek [kumpul] datanya saja dan kirim ke BNPB, klasternya disana," tambahnya.

Data yang dimaksud dapat menjadi klusteran itu adalah Penelusuran Epidemologi (PE). Didik mengatakan bahwa tidak hanya angka-angka saja (jumlah pasien positif, dirawat, sembuh dan meninggal) yang diberikan ke BNPB, melainkan cerita dibalik angkanya seperti jejak penularan pasien Covid-19 yang disebutnya sebagai data PE.  

"Sudah. Sejak lama, meski waktu awal-awal masih belum [kirim data PE]," ungkapnya.

Saat ditanya apakah data PE itu dikirim secara berkala mengingat data kasus covid-19 bertambah setiap harinya, ia berkata "Setiap hari kami kirim by API ke BNPB atau Gugas. Ditarik BNPB tiap 12 menit."

Itu sebabnya, Didik menyarankan pertanyaan itu harus ditanyakan kepada BNPB kembali karena Pusdatin hanya memberikan data yang mereka peroleh dari PHEOC (Public Health Emergency Operation Center).

"Itu kebijakan BNPB/Gugus Tugas. Kami enggak bisa ikut campur, karena kami hanya support data saja." kata Didik.

Namun, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Bencana BNPB Agus Wibowo yang ditanya terpisah mengatakan tidak menerima data seperti itu.

"Hanya data yang dikasih Kementerian Kesehatan (Kemkes) yang ditampilkan (di situs covid19.go.id)," kata Agus saat ditanyai pada 19 April 2020.

Sekedar informasi, Cyberthreat.id bolak-bolak menanyai kedua pihak ini sejak 19 April 2020 agar tidak terjadi kesalahan persepsi soal data jejak klaster penularan yang dimaksud.

Ditanyai kembali tentang pernyataan Didik soal sudah memberikan data klusteran itu, BNPB mengaku jejak kasus atau klaster penularan itu tidak ada di Gugus Tugas.

"Oh, itu enggak ada di kami." ujar Agus pada Senin (20 April 2020).

Cyberthreat.id juga mencoba menanyakan lagi soal pernyataan Kapusdatin Kemenkes soal data PE itu, dan Agus tetap menjawab bahwa ia tidak punya data tersebut.

"Mungkin data PE itu dikirim ke orang lain di BNPB," ujarnya.

Ditanya lagi  siapa orang lain yang dimaksud, Agus menjawab,"Saya kurang tahu."

Agus tidak lagi merespon ketika Cyberthreat.id memintanya menghubungkan dengan orang yang bertugas mengakses data yang dikirim Kemenkes lewat API.

Sementara Kapusdatin Kemenkes Didik Budiyanto saat ditanya tentang apakah data yang dikirim ke BNPB termasuk rincian kasus impor atau transmisi lokal, mengatakan data seperti itu belum ada, sehingga menurutnya wajar jika BNPB juga belum punya datanya.

"Prinsipnya Pusdatin [Kemkes] ini tidak memproduksi data, Pusdatin sebagai Wali Data. Oleh karena itu data transmisi dan imported case, masuk ke PHEOC dulu kemudian baru ditarik ke Pusdatin dan kita kirim ke BNPB [Gugus Tugas]." ujar Didik.

"Yang dialirkan ke Pusdatin seperti itu belum ada [data transmisi dan imported case]." tambahnya.

Sebelumnya, praktisi data analyst data analyst yang saat ini bekerja sebagai Engagement Architect di Tibco Software Inc., Ruly Achdiat, menyarankan pemerintah menampilkan data-data secara lengkap, transparan dan terintegrasi dalam situs website yang dikelola pemerintah pusat dan daerah, tanpa harus membuka identitas pribadi pasien.  

Data yang dibutuhkan masyarakat, kata Rudi, mulai dari klaster penularan berdasarkan riwayat kontak pasien, sampai dengan demografi pasien terkonfirmasi tanpa menyebutkan nama atau alamat lengkap (cukup kelurahan misalnya), data demografi seperti gender, kelompok usia, dan comorbidity (penyakit penyerta; sebuah istilah dalam dunia kedokteran yang menggambarkan kondisi bahwa ada penyakit lain yang dialami selain dari penyakit utama).

Pantauan cyberthreat.id, sejauh ini, data yang dibuka ke masyarakat masih berbeda-beda. Ada provinsi yang membuka data hingga level kelurahan atau desa, namun tak sedikit pula yang membuka data hanya sampai nama kabupaten tempat pasien positif berdomisili.

Sedangkan riwayat klaster penularan, sejauh ini belum ada dokumentasi yang dapat diakses publik kapan saja kecuali beberapa kasus besar yang berasal dari media massa. Tidak ada di situs web resmi pemerintah covid19.go.id, tidak ada juga di situs provinsi yang menjadi rujukan masyarakat. Situs corona.jakarta.go.id memang pernah membuka jejak penularan, namun terhenti pada 26 kasus. Sedangkan hingga 20 April 2020,  sudah 3.112 orang warga Jakarta yang terjangkit Covid-19.

Untuk data klaster penularan, Ruly mencontohkan  yang dilakukan oleh pemerintah Hongkong lewat situs web (https://www.coronavirus.gov.hk/eng). Di sana, semua informasi tentang penderita covid bisa dilacak kecuali namanya. Data tersebut berdasarkan dengan usia, jenis kelamin, alamat, riwayat perjalanan sampai pesawat apa kode penerbangan dan tempat duduknya.

"Setahu saya sebagian pemerintah daerah punya data seperti dimaksud. Ini jangan ditutupi, namun dibuka biar terlacak dengan maksud agar jangan sampai tertular atau menulari orang lain," kata Ruly saat dihubungi Cyberthreat.id, Senin (20 April 2020) .

Catatan cyberthreat.id, negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura melaporkan dengan rinci klaster penularan Covid-19. (Baca: Sebaran Corona, Ini yang Orang Indonesia dan Malaysia Tahu).

Menanggapi instruksi presiden Jokowi agar jajarannya transparan membuka data, Rudi mengatakan hal itu patut diapresiasi dan ditindaklanjuti oleh instansi terkait. Sayangnya, sejauh ini belum ada perubahan berarti di situs web covid19.go.id.

"Jika ada kendala, maka semua kendala tersebut mesti disampaikan kepada masyarakat, karena tentu tidak serta merta bisa dilakukan. Berikan timeline serta target kerja, demi transparansi agar semua pihak bisa mengukur kapan ketersediaan data dimaksud," kata Ruly.[]

Berita terkait: