Pukulan Baru AS ke Huawei: Batasi Pasokan Chip!
Washington, Cyberthreat.id – Pemerintah Amerika Serikat dikabarkan berencana mengubah regulasi untuk menghambat bisnis Huawei Technologies Ltd, perusahaan telekomunikasi China.
Regulasi yang bakal dibahas itu bertujuan untuk memblokir pengiriman chip kepada Huawei. Selama ini, Huawei mendapat pasokan chip dari perusahaan-perusahaan, seperti Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC Taiwan), salah satu pembuat chip terbesar di dunia, demikian sumber anonim Reuters, seperti dikutip dari The New York Times, Selasa (18 Februari 2020).
"Apa yang mereka coba lakukan adalah memastikan bahwa tidak ada chip yang masuk ke Huawei yang dapat mereka kontrol," kata sumber itu.
Pembatasan perdagangan dengan Huawei, menurut sumber itu, akan dibahas pekan ini. Jika langkah itu benar-benar terjadi, bisa menjadi pukulan telak Huawei dan TSMC, salah satu produsen chip terbesar untuk unit HiSilicon Huawei juga rival berat Apple Inc dan Qualcomm Inc.
Selama setahun lebih, AS terus mengampanyekan penolakan terhadap Huawei. Perusahaan China ini dianggap membahayakan keamanan nasional AS karena jaringan 5G yang dikembangkannya memiliki “pintu belakang” yang bisa diakses oleh intelijen China. Huawei telah berulang kali membantah klaim tersebut.
Berita Terkait:
- Dubes China Tuding Australia Diskriminasi Huawei
- Tender 5G Siap Dibuka, Malaysia Tak Persoalkan Huawei
- Huawei Tawarkan Kontrak 5G Tanpa ‘Backdoor’ dengan India
- BSSN Minta Huawei Beri Laporan Detail Soal Backdoor
Regulasi apa yang akan diubah AS?
Untuk menargetkan penjualan chip global ke Huawei, otoritas AS akan mengubah Aturan Produk Langsung Asing (Foreign Direct Product Rule), yaitu memasukkan beberapa barang buatan luar negeri berdasarkan teknologi atau perangkat lunak AS pada regulasi AS.
Kemungkinan perubahan pada aturan itu dilakukan pada November mendatang, tulis Reuters.
Di bawah rancangan regulasi itu, pemerintah AS akan memaksa perusahaan asing yang menggunakan peralatan pembuat chip AS untuk mencari lisensi AS sebelum memasok ke Huawei.
Departemen Perdagangan AS menolak mengomentari rancangan regulasi tersebut. Namun, seorang juru bicara Depdag AS mengatakan, “Perlunya kehati-hatian dalam mempertimbangkan aplikasi lisensi. AS terus memiliki keprihatinan besar tentang Huawei," tutur dia.
Huawei tidak menanggapi permintaan komentar soal isu tersebut. Sementara itu, seorang juru bicara untuk TSMC Taiwan mengatakan perusahaan tidak menjawab pertanyaan "hipotetis" seperti itu.
Sekadar diketahui, sebagian besar produsen chip bergantung pada peralatan yang diproduksi oleh perusahaan AS seperti KLA, Lam Research dan Applied Materials, menurut sebuah laporan tahun lalu dari Everbright Securities China.
"Tidak ada jalur produksi di China yang hanya menggunakan peralatan buatan China, jadi sangat sulit untuk membuat chipset tanpa peralatan AS," catat Everbright.
Kalah gugatan hukum
Terpisah, di pengadilan Texas, Huawei kalah dalam gugatan hukumnya yang meminta hakim meninjau ulang aturan larangan pembatasan Huawei di AS.
Huawei menggugat aturan yang dikeluarkan tahun lalu yang melarang perusahaan bekerja sama dengan badan-badan pemerintahan federal dan kontraktor AS.
Dalam keputusan hakim setebal 57 halaman itu, Hakim Distrik AS Amos Mazzant memutuskan untuk mendukung AS. Juga, menyimpulkan bahwa Kongres AS bertindak dalam kekuasaannya dengan memasukkan pembatasan bisnis dalam Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional (National Defense Authorization Act/NDAA). Aturan ini termasuk melarang perusahaan China lain, ZTE Corp.
Huawei kecewa dengan keputusan itu. “Kami memahami pentingnya keamanan nasional. Namun, pendekatan yang diambil pemerintah AS melalui NDAA 2019 ... merusak hak-hak konstitusional Huawei. Kami akan terus mempertimbangkan opsi hukum lebih lanjut,” ujar Huawei seperti diberitakan Reuters.
Huawei mengajukan gugatan hukum itu pada Maret 2019 dan menilai bahwa undang-undang yang membatasi bisnis itu tidak konstitusional. Perusahaan tepatnya menggugat isi “Section 889” dalam NDAA, yaitu melarang badan-badan federal dan kontraktor melakukan pengadaan barang dan layanan denga Huawei.
Argumen Huawei menggugat adalah NDAA terlalu banyak membatasi penjualan dan melanggar proses hukum.
Sementara hakim tidak menyetujui kedua hal tersebut dan mengatakan, bahwa NDAA "disesuaikan dengan beban yang dikenakan". Hakim juga tidak yakin bahwa undang-undang tersebut merusak kontrak bisnis Huawei yang ada dan kontrak yang akan datang.[]