Kominfo Soal Rekaman Grab: Harus Ada Mekanisme Persetujuan

Foto: Cyberthreat.id/Eman Sulaeman

Cyberthreat.id - Kementerian Komunikasi dan Informatika mengatakan fitur "rekaman audio keselamatan" yang digunakan transportasi berbasis online Grab, harus menambah mekanisme persetujuan di aplikasi pengguna.

Hal itu disampaikan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas Kemenkominfo Fernandus Setu menjawab Cyberthreat.id, Selasa (28 Januari 2020).

Menurut Fernandus, Grab tidak cukup hanya memberitahukan kepada penggunanya bahwa percakapan selama perjalanan direkam lewat aplikasi driver. Namun, penumpang juga harus dimintai persetujuannya.

"Fitur rekaman audio keselamatan ini harus memiliki dua mekanisme pemberitahuan. Jadi pemberitahuan itu selain yang awal sekali pemberitahuannya [bisa oleh Grab atau pengemudi], kemudian harus dipastikan di aplikasi mesti ada persetujuan dahulu, kalau dia (penumpang) tidak menghendaki ya sudah," kata Ferdinandus.

"Jadi dalam aplikasi itu harus ada mekanisme persetujuan, seperti menyatakan 'oke, yes, approve, i agree,' untuk pemberitahuan bahwa selama perjalanan tadi aktivitas apa yang direkam," kata tambah Ferdinandus.

Seperti diketahui, Grab kini memiliki fitur baru yang merekam percakapan aktivitas penumpang dan mitra pengemudi, khususnya pada layanan GrabCar. Fitur tersebut bernama “rekaman audio keselamatan”. Grab menyatakan, sedang melakukan uji coba, tapi sejauh ini belum dijelaskan, wilayah mana saja yang menerapkan uji coba tersebut.

Sejauh ini Grab Indonesia belum memberikan tanggapan terkait fitur tersebut. Pertanyaan Cyberthreat.id kepada Public Relation Manager Grab Indonesia, Andre Sebastian pada Jumat (24 Januari) dan Senin (27 Januari) tak direspons sama sekali.


Berita terkait:


Di situs web perusahaan, Grab mengatakan file rekaman audio tersebut akan secara otomatis dikirim ke server Grab segera setelah perjalanan berakhir. Rekaman akan disimpan “secara aman” selama tujuh hari dengan “kontrol akses ketat” .

Menurut Grab, rekaman audio akan berjalan otomatis begitu penumpang melakukan perjalanan. Penumpang akan langsung menerima notifikasi GrabChat setelah mendapatkan mitra pengemudi yang memiliki fitur rekaman audio.

“Dengan demikian, Anda bisa segera mengetahui bahwa perjalanan Anda sedang direkam,” tutur Grab.

“Tujuan utama kami merilis fitur ini ialah untuk memastikan platform kami aman bagi semua pengguna. Rekaman audio akan digunakan sebagai alat bukti jika sewaktu-waktu terdapat keluhan, sengketa, atau perselisihan antara penumpang dan mitra pengemudi Grab,” tutur Grab.

Masalahnya, menurut Fernandus, Grab seharusnya melakukan itu atas persetujuan penumpang. Sebab, kata dia, persetujuan orang yang direkam berhubungan erat dengan inti dari Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang sedang digodok pemerintah. Artinya, fitur-fitur seperti itu harus berdasarkan UU PDP untuk melindungi data pribadi pengguna.

"Rekaman suara ini juga harus jelas tujuannya untuk apa karena mengandung percakapan suara pribadi yang mana itu adalah data pribadi," kata Fernandus.

Sebelumnya, kritik atas rekaman suara yang dilakukan GrabCar juga datang dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

Menurut organisasi yang fokus dalam isu hak asasi manusia itu, fitur tersebut seharusnya tidak boleh diterapkan karena perekaman, termasuk juga pemantauan visual hanya boleh dilakukan oleh penegak hukum.

"Perekaman atau pemantauan visual yang dilakukan oleh entitas privat dengan alasan pencegahan kejahatan itu tidak dimungkinkan sebenarnya. Tindakan pemantauan visual itu umumnya dilakukan oleh penegak hukum atau institusi keamanan seperti kepolisian," kata Deputi Direktur Riset ELSAM Wahyudi Djafar saat dihubungi Cyberthreat.id, Jakarta, Senin (27 Januari 2020).

Pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja K juga berpendapat senada bahwa rekaman tersebut bisa menjadi ancaman baru bagi publik dan berdampak luas. “Perangkatnya siapa yang kasih sertifikasi bahwa itu aman?” tutur Ardi.

Ardi menyarankan agar fitur rekaman tersebut sebaiknya jangan dipasang atau diterapkan dulu sebelum mendapatkan persetujuan dari regulator atau pemerintah.

“Karena hal itu berpotensi pelanggaran privasi penumpang dan potensi pelanggaran pidananya terkait dengan pemerasan dan penyadapan,” ujar Ardi.[]

Editor: Yuswardi A. Suud