Mengapa UU Keamanan dan Ketahanan Siber Mendesak?

istimewa

Jakarta, Cyberthreat.id – Indonesia masuk dalam 10 besar negara dengan pengguna internet tertinggi. World Atlas menempatkan Indonesia di posisi sembilan di bawah Jerman.

Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2017 mencatat jumlah pengguna internet mencapai 143,26 juta jiwa atau 54,68 persen dari total penduduk sekitar 262 juta jiwa.

Apa keuntungan dengan meningkatnya jumlah pengguna? Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi Informatika Samuel A Pangerapan mengatakan, data pengguna tersebut bagi pemerintah bermanfaat demi mengejar target pemerataan jaringan internet. Dengan begitu, kata dia, pemerintah akan mempercepat pembangunan broadband(jaringan internet berkecepatan tinggi dengan pita lebar).

Akan tetapi, meningkatnya pengguna internet juga ibarat pedang bermata dua, bisa berdampak positif sekaligus bisa menjadi ancaman. Ini bisa kita lihat dan temui sehari-hari di media sosial dengan berseliweran hoaks dan ujaran kebencian.

Kepolisian Republik Indonesia mencatat sejak pertengahan 2017 hingga Desember 2018 tercatat sekitar 3.884 konten hoaks dan ujaran kebencian disebar di medsos.

Penyebaran konten hoaks dan ujaran kebencian oleh 643 akun asli, 702 semi anonim, dan 2.533 anonim. Jumlah akun anonim meningkat 100 persen di 2018 dibandingkan 2017 yang hanya 733. Dari jumlah itu, 10 persen di antaranya disidik, sisanya diblokir dan monitoring.

“Salah satu faktor pendukung penyebaran hoaks karena meningkatnya jumlah gawai yang dimiliki masyarakat Indonesia,” ujar Kepala Satgas Nusantara Polri Irjen Gatot Eddy Pramono, Januari lalu, sebelum dilantik menjadi Kapolda Metro Jaya.

Ancaman Siber
Sebagai pengguna internet tertinggi, Indonesia sangat rentan dengan ancaman siber (cyber threat). Sayangnya, saat ini Indonesia belum memiliki Undang-Undang Siber. Komisi 1 DPR yang menggodok RUU Keamanan Siber belum juga merampungkannya. Padahal, undang-undang tersebut mendesak demi jaminan keamanan lalu lintas siber nasional.

Seberapa penting undang-undang tersebut? Direktur Deteksi AncamanBadan Siber dan Sandi Negara (BSSNSulistyo mengatakan, perundang-undangan keamanan siber berkaitan erat dengan kedaulatan siber nasional. Hal itu tak jauh beda dengan kedaulatan darat, laut, dan udara yang diakui secara internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Persoalannya, kata dia, batas-batas ruang siber hanya berupa nomorinternet protocol (IP). Maka dari itu, “Perlu adanya rancangan undang-undang mengenai keamanan siber, baru dari situ diturunkan dalam peraturan-peraturan yang kemudian secara paralel mengimplementasikan teknologi apa yg dibutuhkan,” ujar Sulistyo.

Kepala BSSN Djoko Setidadi berharap RUU Keamanan Siber berharap DPR segera mengesahkan RUU tersebut. Saat ini, RUU telah masuk program legislasi nasional (prolegnas). “Kami berharap di tahun ini disahkan, kita tunggu waktu saja,” kata dia.

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR Sukamta mengatakan, penataan regulasi dan manajemen keamanan siber berguna untuk menjamin perkembangan internet otf things (IoT) di Indonesia.

Menurut dia, keamanan siber (cyber security) Indonesia masih lemah sesuai data Global Cybersecurity Index (GCI) 2017. Posisi Indonesia di peringkat 69 dengan nilai 0,424.

Perlu diketahui, ancaman siber (gangguan infiltrasi melalui penggunaan komputer dan internet) bisa dikelompokkan beberapa jenis. Pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja K menyebutkan ada empat kelompok ancaman siber, yaitu:

1. Spionase Siber (Cyber Espionage)
“Tindakan yang mencuri data rahasia dalam format digital atau melalui jaringan internet atau komputer,” tulis dia dalam materi Cyber Security &Pentingnya Dunia Usaha Memahaminya: Sebuah Pengantar.

2. Perang Siber (Cyber Warfare)
Aksi yang melibatkan sebuah negara atau organisasi internasional untuk menyerang atau mencoba merusak negara lain melalui jaringan internet atau komputer.

3. Kriminal Siber (Cyber Crime)
Aksi kriminal atau kejahatan di dunia maya yang berkaitan dengan jaringan internet atau komputer. Atau, populer dengan aksi peretasan (hacking). Misal, penipuan daring, pencurian identitas personal, pembobolan kartu kredit, dll.

4. Terorisme Siber (Cyber Terrorism)
Aksi sistematis yang dilakukan sekelompok orang atau organisasi untuk menyerang negara atau organisasi swasta melalui jaringan internet. Aksi terorisme ini bisa terpicu soal politik, ideologi, atau sosial.