Rusia Invasi Ukraina, Uni Eropa Aktifkan Pasukan Pertahanan Siber
Cyberthreat.id – Akhirnya, perang itu terjadi antara Rusia dan Ukraina setelah ketegangan selama berbulan-bulan di perbatasan negara.
Serangan Rusia terjadi pada Kamis (24 Februari 2022) pagi waktu setempat setelah Presiden Vladimir Putin mengumumkan demiliterisasi dan denazifikasi.
Menurut kantor berita Rusia, TASS, Putin mengeluarkan operasi militer khusus di Ukraina karena “permintaan dari otoritas Republik Donetsk dan Lugansk ”demi memukul mundur agresi militer Ukraina,” demikian dalam pidatonya Kamis.
Ia meminta militer Ukraina segera meletakkan senjata dan memperingatkan akan ada upaya intervensi asing.
Tak lama setelah pidato itu, datang laporan adanya ledakan di sejumlah kota di Ukraina, seperti Kiev dan Kharkov.
Putin menjelaskan bahwa, tujuannya melakukan operasi militer untuk “melindungi orang-orang yang selama delapan tahun mengalami penghinaan dan genosida oleh rezim di Kiev.
“Untuk itu, kami akan mengupayakan demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina dan juga mendesak untuk mengadili mereka yang telah melakukan banyak kejahatan berdarah terhadap warga sipil yang damai, termasuk warga Rusia,” ujarnya.
“Siapa pun yang mencoba menghalangi kami apalagi menimbulkan ancaman bagi negara kami dan rakyat kami, mereka harus tahu bahwa respons Rusia tak ada penundaan dan membawa konsekuensi yang belum pernah Anda temui dalam sejarah Anda… saya hari saya akan didengar,” ia mengatakan.
Ketegangan kedua negara sudah terjadi bertahun-tahun, dengan kasus semenjanjung Krimea yang dicaplok Rusia, menyita perhatian dunia pada 2014.
Sejak November 2021, Rusia-Ukraina saling memperkuat di perbatasan dengan satuan militernya. Kabar bahwa Rusia bakal menginvasi pada Januari lalu dibantah oleh Moskow. Namun, belakangan Rusia mulai sewot dengan rencana Ukraina bergabung ke NATO. AS membela Ukraina dengan mengatakan bahwa Ukraina memiliki kebebasan untuk menentukan arah kebijakan luar negerinya.
Serangan siber
Sejak ketegangan beberapa bulan terakhir, situsweb pemerintah dan perbankan Ukraina mulai menjadi sasaran serangan siber.
Pejabat Ukraina mengarahkan telunjuknya ke Moskow sebagai biang keladi. Namun, Rusia membantah tudingan tak berdasar itu.
Pada Rabu kemarin, sejumlah situsweb pemerintah dan bank kembali mendapatkan serangan berupa banjir trafik palsu yang membuat situsweb turun atau lebih dikenal serangan Distributed Denial of Service (DDoS). (Baca: Hacker Rusia Gamaredon Targetkan 'Pemerintah Barat' di Ukraina)
Sejak eskalasi serangan siber ke Ukraina meningkat, Inggris dan AS pun mengeluarkan dukungan. Kedua negara ini sama-sama menyalahkan Rusia. (Baca: Gedung Putih: Dinas Intelijen GRU Rusia di Balik Serangan yang Lumpuhkan Bank Ukraina)
Sejumlah perusahaan keamanan siber juga menemukan peranti lunak jahat (malware) perusak yang memiliki kemampuan menghapus data menginfeksi ratusan komputer di Ukraina, bahkan hingga Latvia dan Lithuania. (Baca: Ratusan Komputer di Ukraina Terinfeksi Malware)
Tim Respons Cepat Siber (CRRT) yang dibentuk oleh sejumlah negara Uni Eropa menyatakan dukungan terhadap Ukraina. (Baca: Enam Negara Uni Eropa Kirim Ahli Keamanan Siber ke Ukraina)
Program CRRT ini dipimpin oleh Lithuania dengan anggota seperti Kroasia, Estonia, Belanda, Polandia, dan Rumania. Masing-masing negara mengirimkan perwakilan pakar keamanan siber untuk bekerja dalam program tersebut.
Sesuai misinya, CRRT akan memberikan kemampuan pertahanan siber kepada organisasi dan mitra UE. Tim dilengkapi dengan perangkat siber yang dapat disebarkan dan dikembangkan secara umum untuk mendeteksi, mengenali, dan mengurangi ancaman siber,” demikian tertulis dalam situsweb CRRT.
Selasa kemarin, pejabat pertahanan di Kedutaan Besar Lithuania di Washington, AS mengatakan kepada Defense News, media AS yang fokus di dunia militer, bahwa para pejabat masih melihat skenario pertahanan Ukraina.
“Kami bekerja di dunia siber dengan Ukraina secara bilateral dan terus berhubungan dan memiliki perwakilan Ukraina di Pusat Pertahanan Dunia Maya Regional kami di Lithuania,” katanya.
Tim CRRT akan terdiri atas 8-12 pakar keamanan siber dari semua negara anggota. Tim terdiri dari berbagai keahlian dunia maya, seperti respons insiden, forensik, penilaian kerentanan, untuk dapat bereaksi terhadap berbagai skenario, tulis BBC.
Di akun Twitter-nya, Kementerian Pertahanan Lithuania mengatakan, “Menanggapi permintaan Ukraina, [kami] mengaktifkan tim respos cepat siber yang dipimpin Lithuania yang akan membantu institusi Ukraina untuk mengatasi ancaman siber yang berkembang. #StandWithUkraine,” tulis Kementerian.
Moskow berkali-kali membantah bahwa pemerintah bertanggung jawab dalam segala serangan siber yang ditargetkan ke organisasi Ukraina. Bahkan, pada 2015 dan 2016 ketika beberapa kota di Ukraina mengalami pemadaman listrik karena ulah peretas, Rusia membantah secara tegas.
Namun, AS, Inggris, dan Uni Eropa sepakat menyalahkan Rusia atas malware NotPetya yang ditemukan dalam serangan itu.
Moskow menyebut klaim serangan itu sebagai “Russophobia.”[] (Baca: Rusia Tolak Tuduhan AS atas Serangan Siber yang Lumpuhkan Perbankan Ukraina)