Yang Tak Dijelaskan Muslim Pro setelah Terbongkar Monetisasi Lokasi Penggunanya
Cyberthreat.id - Aplikasi Muslim Pro mengunggah sebuah pernyataan di websitenya setelah aplikasi buatan Bitsmedia yang berbasis di Singapura itu ramai diberitakan menjual data lokasi penggunanya ke militer Amerika Serikat.
Dalam pernyataan tanggal 19 November 2020, Muslim Pro mengatakan "Data lokasi digunakan untuk menghitung ketepatan waktu salat, arah Kiblat, dan juga fitur lainnya."
Dalam pernyataan yang sama disebutkan, mereka berbgi data dengan para mitra untuk tujuan umum seperti periklanan, di mana itu adalah sumber pemasukan utama agar dapat memberikan layanan gratis kepada pengguna.
Muslim Pro mengarahkan penggunanya ke pengumuman membantah pemberitaan media
"Dalam kondisi apa pun kami tidak berbagi informasi pribadi sensistif pengguna, seperti halnya nama, nomor telepon, atau email. Data yang dibagi bersama para mitra adalah dana anonim, yang berarti data itu bukanlah data yang terkait dengan individu tertentu," tulis Muslim Pro.
Sebelumnya, pada 17 November 2020, Muslim Pro mengatakan pemberitaan yang menyebut aplikasi itu menjual data pribadi pengguna ke pihak militer Amerika Serikat,"tidak sepenuhnya benar."
Disebutkan,"dalam upaya mempersembahkan pelayanan yang baik terhadap para pengguna dan membantu bisnis mengembangkan produk serta jasa mereka, kami berbagi data anoni dengan partner teknologi terpilih yang dimajibkan untuk mematuhi hukum dan peraturan global seputar perlindungan privasi data."
Anehnya, meskipun mengaku melindungi data pengguna, namun Muslim Pro mengatakan memutuskan hubungan kerjasama dengan X-Mode, perusahaan yang diberitakan memasok data pengguna Muslim Pro ke militer Amerika Serikat. Logikanya, jika tak ada yang salah, kenapa harus memutuskan kerja sama?
Dalam pernyataan itu, Muslim Pro sama sekali tidak menyinggung bahwa perusahaan mendapat keuntungan finansial dari berbagi data lokasi penggunanya ke X-Mode.
Amatan Cyberthreat.id, di situs webnya X-Mode yang berbasis di Virginia, Amerika Serikat, mengatakan perusahaan itu berfokus pada data lokasi. Perusahaan menawarkan kepada pengembang aplikasi untuk bekerja sama. Caranya, bagi yang setuju bekerja sama, X-Mode akan memberikan semacam kode XDK untuk dibenamkan di aplikasi milik mitra. Dengan begitu, data lokasi pengguna diteruskan ke X-Mode.
Untuk itu, X-Mode menawarkan pemasukan yang lumayan. Makin banyak pengguna sebuah aplikasi, makin besar pula yang yang diterima oleh pemilik aplikasi. X-Mode membayar lebih besar untuk pengguna di Amerika Serikat.
Jika sebuah aplikasi memiliki 1 juta pengguna di Amerika Serikat, maka X-Mode akan membayar US30 ribu atau setara Rp425 juta. Sedangkan untuk 1 juta pengguna global, bayarannya sebesar US$3 ribu atau setara Rp42,5 juta.
Jika mengacu kepada klaim Muslim Pro yang menyebut aplikasinya telah diunduh sebanyak 95 juta kali, artinya Muslim Pro boleh jadi memiliki 95 juta pengguna global (dengan asumsi bisa saja ada yang menginstal lebih dari satu kali). Itu artinya, Muslim Pro mendapat keuntunga US$ 285 ribu atau setara Rp 4 miliar. Itu belum termasuk data penggunanya di Amerika Serikat yang nilainya dihargai 10 kali lipat dari pengguna global oleh X-Mode.Klaim bahwa yang dibagikan adalah data anonim, juga dipertanyakan. Sebagai contoh, sebuah laporan New York Times pada akhir 2019 berjudul "Twelve Million Phones, One Dataset, Zero Privacy" memaparkan bagaimana data lokasi yang semula anonim bisa dilacak hingga ke depan pintu rumah seseorang.
Temuan Motherboard menyebutkan, X-Mode sendiri sebelumnya mengumumkan di websitenya bahwa mereka bekerja sama dengan kotraktor pertahanan seperti Sierra Nevada Corporation dan Riset Sistem & Teknologi. Kedua perusahaan ini bekerja dengan angkatan bersenjata AS. Bagian itu sekarang telah dihapus dari website X-Mode. Y
Pada saat itu, X-Mode memberi tahu Motherboard dalam sebuah pernyataan bahwa "X-Mode melisensikan panel datanya ke sejumlah kecil perusahaan teknologi yang mungkin bekerja dengan layanan militer pemerintah, tetapi pekerjaan kami dengan kontraktor semacam itu bersifat internasional dan terutama berfokus pada tiga penggunaan kasus: kontra-terorisme, keamanan siber, dan prediksi hotspot COVID-19 di masa depan."
Lantas, mengapa itu tidak ada dalam penjelasan Muslim Pro?[]