Revisi UU Penyiaran Dibutuhkan untuk Literasi Digital
Jakarta, Cyberthreat.id - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mendorong agar pemerintah segera rampungkan Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang merupakan revisi dari UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2020 untuk kendalikan konten siaran.
Menurut Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio, RUU Penyiaran harus segera dirampungkan, terlebih saat ini semakin banyak bentuk penyiaran yang dilakukan. Mulai dari media sosial maupun media baru seperti YouTube, dan platform digital lainnya.
Ia juga menambahkan jika siaran-suaran digital tersebut harus segera diatur oleh undang-undang agar konten-konten yang ditayangkan tidak mengganggu kepentingan publik.
"Aturan yang ada saat ini belum bisa dijadikan pengawal dalam menjaga agar konten-konten tersebut tidak mengganggu kepentingan publik," ungkap Agung dalam diskusi bertema Bijak dan Cerdas Siaran Melalui Media Sosial di acara Husni and Friends, Kamis (9 Juli 2020).
Selain itu, Agung juga menyarankan agar RUU Penyiaran tersebut mengatur hal-hal yang makro saja. Ketentuan lebih detil dan teknis dapat dibuat dalam bentuk peraturan pemerintah. Ini dilakukan agar proses penyusunan RUU Penyiaran bisa lebih cepat disahkan.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yadi Hendriana.
Menurutnya, semakin cepat RUU Peniaran disahkan, akan semakin baik kerja jurnalistik televisi. Hal ini dikarenakan revolusi teknologi digital memang semakin cepat dan tentu berimbas terhadap industri pers, termasuk pertelevisian. Dimana, media-media tersebut sangat lekat dengan jurnalistik dan menyediakan ruang yang besar untuk penyiaran.
Namun, Yadi mengatakan publik tidak harus bersandar pada regulasi dan semata-mata pasif menunggu aturan dari pemerintah saja. Tetapi harus ada kesadaran dari pembuat konten dengan memeriksa kembali apa dampaknya bila sebuah informasi diposting ke media sosial dan platform penyiaran.
"Ini menjadi filter utama untuk memastikan apakah informasi tersebut layak disebarkan atau tidak. “Bila dampaknya negatif, lebih jangan disebarkan," ungkap Yadi.
Dalam kesempatan yang sama, praktisi kehumasan sekaligus dosen dari London School of Public Relations (LSPR) Rizka Septiana, mengatakan tidak banyak yang memahami bagaimana cara menggunakan media sosial dengan baik. Akibatnya, kata dia, berpotensi membawa dampak negatif yang besar karena media sosial dapat menjangkau audiens yang jauh lebih luas bila informasi keliru tersebar.
Untuk itu, ia menyarankan agar literasi digital dimulai dari keluarga agar melek digital dan memanfaatkan media sosial dengan bijak.
"Mulailah dari keluarga dan diri sendiri, tiap orang mengedukasi keluarganya. Langkah ini lebih produktif dan berguna dalam menyikapi kemajuan teknologi serta luasnya desakan untuk melakukan literasi digital," ungkap Rizka.[]
Editor: Yuswardi A. Suud