Zoombombing di Sidang Putusan Blokir Internet Papua: Lagi-lagi kok Masih Terjadi?

Ilustrasi | Foto: freepik.com

Jakarta, Cyberthreat.id – Sidang putusan terkait dengan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat yang digelar pada Rabu (3 Juni 2020) di Jakarta, disusupi insiden “Zoombombing”.

Sidang Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tersebut digelar melalui telekonferensi video via aplikasi Zoom, Rabu (3 Juni 2020) pagi.

Sidang digelar atas gugatan yang dilayangkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan SAFEnet atas pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus 2019. Kuasa hukum dari penggugat, antara lain LBH Pers, YLBHI, Kontras, ICJR, dan ELSAM

Insiden Zoombombing terjadi tak lama setelah sidang dibuka. Para pembuat onar itu mengirimkan pesan tak senonoh di ruang “Chat”. Mereka juga membuat suara-suara berisik.

Meski terjadi kegaduhan tersebut, sidang tetap berjalan. Majelis hakim PTUN Jakarta pun memutuskan Presiden Joko Widodo dan Kementerian Komunikasi dan Informatika bersalah dalam pemblokiran internet tersebut.

"Menyatakan tindakan pemerintah yang dilakukan tergugat 1 dan 2 adalah perbuatan melanggar hukum," kata Hakim Ketua Nelvy Christin saat membacakan putusan.

Zoombombing adalah istilah yang merujuk pada peserta Zoom Meeting yang membuat gaduh atau onar. Dalam beberapa kasus, pelaku mengambil alih layar monitor dan membagikan video mesum seperti yang pernah terjadi di diskusi online Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas).

Tak sekadar video mesum, pelaku juga biasa mengumbar kata-kata caci-maki atau umpatan di ruang “Chat” atau mengirimkan gambar-gambar tak senonoh.


Tampak di gambar seseorang bernama Eric Dubay mengirimkan pesan porno saat sidang berlangsung. Tampak pula bahwa tak semua audio peserta dimatikan oleh host. | Foto: tangkapan layar Isnur


Apa yang terjadi?

Kepada Cyberthreat.id, Rabu malam, Ketua Bidang Advokasi YLBHI M. Isnur yang mengikuti sidang tersebut secara virtual, mengatakan, insiden Zoombombing terjadi tepatnya saat majelis hakim membacakan bagian pertimbangan

"Ada suara-suara berisik, ada teriak-teriak," kata Isnur.

Dalam tangkapan layar yang dibagikan kepada Cyberthreat.id, para pelaku Zoombombing menggunakan nama-nama seperti Jerry Winkles, Lucy Samuelson, Ching Lee, George C. dan Eric Dubay.

Perlu dicatat, siapa saja yang menjadi peserta Zoom Meeting bisa mengganti namanya, sehingga yang muncul di layar Zoom belum tentu nama asli orang yang bersangkutan.

Selain suara gaduh, Isnur juga mengamai ada suara-suara layaknya “orang berdakwah” sengaja diputar.


Sumber: Suara.com


Parahnya lagi, di ruang “Chat” atau komentar, si pembuat onar mengirimkan tulisan yang dirangkai menjadi gambar alat kelamin laki-laki. Pelaku lain juga mengirimkan foto-foto pornografi.

Isnur mengirimkan sejumlah tangkapan layar foto-foto tersebut kepada Cyberthreat.id.

Terpisah, Deputi Direktur Riset ELSAM Wahyudi Djafar juga ikut dalam sidang itu, menyayangkan masih terjadi insiden Zoombombing.

Dengan kejadian itu, kata dia, haruslah menjadi catatan seluruh pihak “untuk menerapkan keamanan yang kuat demi mencegah masuknya pelaku Zoombombing”.

"Masih ada hal yang mesti diperbaiki dalam konteks keamanan siber dari proses persidangan secara online. Ini catatan untuk semuanya saja," ujar Wahyudi.

Apalagi, menurut Wahyudi, penggunaan Zoom maupun aplikasi telekonferensi video lain semakin masif digunakan di saat pandemi virus corona (Covid-19). Keamanan dalam menggunakan Zoom maupun aplikasi lainnya sangat penting untuk diperhatikan.


Berita Terkait:


Host PTUN Jakarta lalai?

Sejak disorot tak menjamin keamanan dan privasi pengguna, pengembang Zoom merekrut sejumlah pakar keamanan siber dan kriptografi untuk memperbaiki celah-celah yang bisa dimanfaatkan peretas.

Insiden yang paling sering menimpa Zoom Meeting adalah pembuat onar. Dalam celah ini, sebetulnya Zoom versi terbaru telah lebih baik dari sebelumnya.

Zoom telah memberikan kemampuan host (moderator) untuk mengatur siapa saja yang berhak berbicara, menampilkan video, bahkan berkirim pesan di ruang “Chat”.

Bahkan, Zoom juga telah memberikan fitur yang memudahkan host melaporkan ke pihak Zoom jika terjadi pembuat onar.

Jika melihat kejadian di sidang PTUN Jakarta tersebut, host kemungkinan lupa mematikan ruang “Chat” dan membisukan audio.

Ketika terjadi gangguan, sebenarnya host juga bisa langsung mengeluarkan para perusuh tersebut.

Host memang bisa mengunci peserta sidang dengan mengaktifkan “Lock Meeting” sehingga peserta sidang dapat dibatasi. Namun, fitur ini akan menjadi aneh jika diaktifkan sebab sidang tersebut memang bersifat terbuka.

Namun, yang paling tepat sebetulnya, host telah mempelajari bentuk-bentuk ancaman yang mungkin terjadi selama sidang.

Di menu layar Zoom ada fitur “Security”. Di situ, host bisa mengaktifkan “Chat”, “Share Screen”, atau “Rename Themeselves”.

Jika memang peserta Zoom Meeting tak memiliki kepentingan untuk berbagi layar atau berkirim pesan atau diberikan akses untuk bicara, host lebih baik mematikannya.

Host atau pengadilan seharusnya memberikan panduan bagi peserta sidang sebelum acara dimulai. Terlebih bagi mereka yang memang terlibat dalam persidangan, seperti penggugat, tergugat, majelis hakim, moderator, dan pihak lain yang mungkin dilibatkan.

Tampaknya, PTUN Jakarta tak mempersiapkan diri dengan matang soal keamanan ini.[]

Redaktur: Andi Nugroho