Para Menkeu Uni Eropa Sepakat Belum Izinkan Libra

Ilustrasi | Foto: freepik.com

Brussels, Cyberthreat.id – Mata uang kritpo, Libra—yang akan diluncurkan oleh Facebook pada pertengahan 2020—tidak diizinkan di Uni Eropa sampai risiko yang dapat ditimbulkannya jelas bisa tertangani.

Kebijakan itu hasil kesepakatan bersama para menteri keuangan Uni Eropa yang melakukan pertemuan pada Kamis (5 Desember 2019), seperti diberitakan Reuters.

"Tidak ada regulasi stablecoin global yang harus mulai diberlakukan di Uni Eropa sampai tantangan dan risiko hukum, peraturan dan pengawasan telah diidentifikasi dan ditangani secara memadai," kata para menteri dalam sebuah pernyataan bersama.

Stablecoin adalah mata uang digital, seperti Libra, yang biasanya didukung oleh uang tradisional dan sekuritas lainnya, sedangkan koin crypto seperti bitcoin, selama ini tidak didukun goleh uang tradisional. Namun, kedua-duanya termasuk dalam kategori cryptocurrency.

Sejak Juni lalu, Libra mengalami tekanan cukup kuat dari sejumlah negara di dunia. Asosiasi Libra yang beranggotakan para penyokong proyek mata uuang kripto satu per satu mulai rontok.


Berita Terkait:


Para menteri juga memuji kerja Bank Sentral Eropa (ECB) pada mata uang kripto publik, yang dapat mewakili alternatif inisiatif swasta.

Dalam sebuah dokumen yang dipresentasikan kepada para menteri keuangan, ECB mengatakan mata uang kripto publik bisa diperlukan jika pembayaran di Eropa tetap terlalu mahal.

Kemungkinan adopsi akan dipercepat dengan tanda-tanda penggunaan uang tunai yang lebih rendah, kata ECB, tapi dampak dari inisiatif semacam itu pada sistem keuangan bisa sangat besar, dan karena itu perlu dinilai dengan hati-hati.

Kemungkinan adopsi akan dipercepat dengan tanda-tanda penggunaan uang tunai yang lebih rendah, kata ECB, tapi dampak dari inisiatif semacam itu pada sistem keuangan bisa sangat besar, dan karena itu perlu dinilai dengan hati-hati.

Yang ditakutkan dari Libra

Kehadiran Libra memunculkan kekhawatiran para regulator keuangan. Setidaknya hampir semua negara memiliki kesamaan kekhawatiran, salah satunya pencucian uang dan untuk tindak kejahatan terorisme.

Pemerintah Amerika Serikat, misalnya, mewajibkan perusahaan mata uang kripto yang bergerak di bisnis layanan uang, seperti halnya aset pertukaran dan penyedia layanan dompet untuk membagikan informasi tentang pelanggannya.


Berita Terkait:


Sebagai bagian dari peraturan anti-pencucian uang, regulasi yang dikenal dengan “travel rule” itu juga mengharuskan (1) pertukaran mata uang kripto untuk memverifikasi identitas pelanggan, (2) mengidentifikasi pihak asli dan penerima transfer sebesar US$ 3.000 atau lebih tinggi, (3) dan mengirimkan informasi itu kepada rekanan jika ada.

Aturan “travel rule” pertama kali dikeluarkan oleh Financial Crimes Enforcement Network (FinCEN) pada 1996 sebagai bagian dari standar anti-pencucian uang yang berlaku untuk semua lembaga keuangan AS.

FinCEN memperluas cakupan aturan pada Maret 2013 untuk diterapkan pada pertukaran mata uang kripto dan pada Mei 2019 dikeluarkan pedoman untuk mata uang kripto.

Tindakan pemerintah tersebut dilakukan menyusul pedoman yang dirilis pada Juni lalu oleh Satuan Tugas Aksi Keuangan (FATF) yang dipimpin oleh Departemen Keuangan AS.

FATF adalah organisasi global antarpemerintah yang ditujukan untuk memerangi pencucian uang dan pendanaan terorisme. FATF juga mengarahkan pertukaran crypto dan regulator di seluruh dunia untuk mematuhi “travel rule” dan memberi waktu sekitar setahun untuk melakukannya sejak Juni kemarin.

Pedoman FinCEN pada Mei lalu tentang “travel rule” sempat menciptakan kebingungan dalam industri kripto. Sebab, sebagian pelaku meyakini bahwa aturan tersebut tidak berlaku untuk mereka.

Dalam wawancara sebelumnya dengan Reuters, Dave Jevans, CEO CipherTrace, mengatakan orang-orang di industri kripto terkejut dengan langkah FinCEN tersebut karena mata uang digital tidak pernah diklasifikasikan sebagai uang dan aturan perjalanan (travel rule) tidak berlaku  untuk pelaku industri kripto.