Facebook, Google cs Disetop, Indonesia Enggak Ada Gantinya

KLiKS Fest 2019 yang dimotori BSSN salah satu tujuannya adalah memberikan pemahaman kepada generasi muda pentingnya kemandirian dan kedaulatan di ruang siber

Cyberthreat.id - Pakar siber dan IT, Gildas Deograt, menyebut ketergantungan Indonesia terhadap produk digital asing sangat tinggi. Ia mencontohkan, jika saat ini raksasa digital seperti Facebook dan Google ditutup operasinya di Indonesia, itu bisa bikin negara rusuh bahkan eksistensinya terancam.

"Karena operasional negara ini ditentukan oleh Facebook, Google cs yang digunakan semua orang. Dari presiden sampai ke bawah itu menggunakannya. Bayangkan kalau tiba-tiba berhenti," kata Gildas di sela KLiKS Fest 2019 yang digelar BSSN di Jakarta, Sabtu (9 November 2019).

Dengan ketergantungan tersebut, Gildas mengatakan para raksasa digital yang beroperasi di Indonesia bebas memanen kekayaan data di Indonesia. Mereka, kata dia, bisa melakukan apa saja termasuk membaca kecenderungan perilaku lewat data analytics.

Kemudian predictive analytics sampai targetting maupun retargetting konsumen yang tidak dimiliki negara. Platform-platform itu juga menjadi saluran penyebaran hoaks dan disinformasi yang selama ini menjadi ancaman besar dalam dinamika berbangsa dan bernegara.

Gildas kemudian menjadikan China dan Rusia sebagai contoh.

"Kita itu tidak seperti China yang punya Great Firewall. China itu mandiri. Di sana, kalau layanan asing diblokir, diputus dari luar, mereka masih bisa hidup karena konten lokal mereka 90 persen, dan itu bikin China sangat kuat."

"Rusia juga begitu. Waktu Rusia invasi ke Ukraina, mereka mendapat sanksi finansial dari Pemerintah AS soal larangan beroperasi. Jadi, Visa dan Mastercard itu enggak bisa beroperasi, tapi Rusia kemudian punya layanan lokal yang kini telah menguasai pasar. Visa dan Mastercard di sana enggak terlalu kuat lagi," ujarnya.

Juru bicara Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Anton Setiyawan mengatakan pesan kedaulatan dan kemandirian telah menjadi komitmen BSSN sejak bertransformasi dari Lemsaneg menjadi BSSN pada 2017.

"Bagaimana supaya kita bisa mendorong agar aplikasi milik anak bangsa itu digunakan oleh masyarakat kita. Jadi, kalau ada apa-apa nanti kita bisa kuasai dan kontrol penuh," kata Anton.

Platform asing, seperti WhatsApp misalnya, memang berada di luar kontrol pemerintah dan negara. Suatu saat, kata dia, layanan WhatsApp bisa ditutup oleh pemerintah negara lain karena berbagai alasan seperti melalui sanksi.

"Ketergantungan kita sangat tinggi dan data-data kita juga mereka punya," ujar dia.

Anton menegaskan bahwa peran negara termasuk bertanggung jawab menjaga keamanan dan kenyamanan rakyatnya. Kalau misalnya terjadi Fraud negara harus berdaulat menyelesaikan sendiri.

"BSSN selalu mengimbau agar kita mau menggunakan aplikasi anak bangsa sehingga kedaulatan, kemandirian itu harus muncul. Terkadang kedaulatan dan kemandirian itu muncul setelah dalam keadaan terpaksa. Kalau saya ingin saja ada keterpaksaan sehingga kita bisa mandiri itu."