Indonesia Perlu Sistem Ketahanan Informasi
Jakarta, Cyberthreat.id - Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho mengatakan era digital membuat Indonesia butuh sistem ketahanan informasi. Ketahanan informasi, kata dia, fokus ke arah ketahanan masyarakat supaya tidak terpapar hoaks atau mislead.
"Karena jumlah hoaks terus meningkat serta berpotensi menimbulkan konflik, kerusakan dan dampak negatif lainnya," kata Septiaji dalam diskusi bertajuk 'Melawan Hoaks' di Jakarta, Senin (8/4/2019).
Baca : Hacker Bisa Memanipulasi Diagnosis Kanker
Aspek ketahanan informasi menurut Septiaji bisa dimasukkan ke dalam tataran regulasi. Menurut dia, ketahanan informasi memiliki spektrum kecil di ruang siber namun ia berharap ada regulasi yang mampu memunculkan karakter Indonesia dalam menjernihkan arus informasi.
"Kita butuh regulasi yang memberi dampak ke bawah dalam waktu cepat. Artinya, jangan hanya mengandalkan pemerintah saja atau dengan kata lain program pemerintah itu biasanya berdampak lama ke bawah," ujarnya.
DPR kini tengah membahas Rancangan Undang-undang Keamanan dan Ketahanan Siber. Septiaji menilai undang-undang yang mengatur ruang siber sangat diperlukan dan urgent. Terpenting menurut dia adalah bagaimana implementasi regulasi karena Indonesia negara besar.
"Saya melihat RUU (Keamanan dan Ketahanan) Siber itu spektrumnya sangat luas, tapi di dalamnya tentu harus ada aspek ketahanan informasi."
Ketua Presidium Barisan Advokat Indonesia (BADI) Andi Syafrani menilai ketahanan informasi sebagai aspek baru. Selama ini, kata dia, informasi dianggap sebagai wilayah tanpa batasan serta cenderung sulit dibatasi secara konstitusi.
"Tapi informasi seperti apa yang menyebar harus dibahas dalam RUU Siber ini karena kita bicara ruang siber secara luas," kata Andi.
Lantas bagaimana menentukan batasan-batasan informasi tersebut. Andi mengatakan regulator bisa berpatokan kepada Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Di situ dijelaskan informasi seperti apa yang publik dan informasi mana yang non-publik.
"Ini kan harus clear dulu," ujarnya.
Regulasi ruang siber, kata Andi, merupakan upaya sinkronisasi dunia maya terhadap dunia nyata. Awalnya banyak negara di dunia beranggapan ada internet freedom namun perkembangan arus informasi memunculkan banyak tantangan.
"Akhirnya kan sekarang disadari bahwa internet dan siber itu perlu diatur."
Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo mengingatkan bahaya hoaks saat Indonesia menghadapi bonus demografi dalam beberapa tahun ke depan. Jika Indonesia tidak memiliki sistem ketahanan informasi dia khawatir bonus demograsi malah menjadi negatif bagi sebagian orang.
"Sekarang ini ada 43 ribu media siber. Sekitar dua ribu terverifikasi sementara sisanya bisa saja menebar hoaks atau melakukan penipuan," ujar Yosep.