2021, Serangan Siber di Indonesia Mencapai Lebih dari 1,6 Miliar

Direktur Strategi Keamanan Siber dan Sandi BSSN, Sulistyo sedaring bertajuk “Current Cybersecurity Trend and Future Challenges”, Senin (7 Februari 2022), yang digelar virtual. | Foto: Tangkapan layar dari YouTube Cloud Computing Indonesia

Cyberthreat.id – Sepanjang 2021, serangan siber yang tercatat di Indonesia mencapai 1.653.521.893 serangan siber, menurut laporan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Dari serangan siber tersebut, terdapat tiga serangan yang tertinggi yaitu infeksi malware sebanyak 62 persen, aktivitas trojan 10 persen, dan upaya pengumpulan informasi target 9 persen.

Selain itu masih terjadi peretasan situs web, di mana tercatat selama tahun lalu terdapat 5.574 kasus peretasan yang terjadi.

“Serangan ransomware menjadi salah satu tren yang menjadi ancaman siber yang mulai marak di Indonesia,” tutur Direktur Strategi Keamanan Siber dan Sandi BSSN, Sulistyo dalam sedaring bertajuk “Current Cybersecurity Trend and Future Challenges”, Senin (7 Februari 2022).

Ransomware ialah serangan peretas yang menyandera data, sistem, maupun jaringan komputer korban. Penyerang biasanya meminta sejumlah uang sebagai tebusan dalam bentuk uang kripto jika pemilik data ingin data atau sistemnya kembali.

Data yang disander tersebut dikunci atau dienkripsi dan hanya peretaslah yang memiliki alat pembukanya. Kondisi inilah yang bisa berdampak pada layanan elektronik korbanu. Peretas ransomware juga biasa mengancam korban: jika tidak membayar, maka data tersebut akan dibocorkan di internet.

Untuk mengatasi berbagai ancaman siber tersebut, BSSN sebagai salah satu lembaga yang bertugas dalam hal keamanan siber telah menerbitkan strategi keamanan siber nasional.

Salah satu fokus strategi keamanan siber nasional ini membangun kemandirian kriptografi nasional yang kuat, andal, dan terkini.

Sulis menyebutkan, ada dua hal yang melatarbelakangi kemandirian kriptografi nasional. Pertama, kepentingan pertahanan keamanan negara. Hal ini dikarenakan sifatnya yang tertutup dan digunakan untuk melindungi rahasia negara, sudah banyak negara yang melarang ekspor teknologi kriptografi serta membuat standar khusus yang berkaitan dengan algoritma kriptografi.

Kedua, adanya kepentingan non pertahanan keamanan negara. Teknologi kriptografi, kata dia, memiliki valuasi fungsional tinggi karena kedudukan sangat vital dalam melindungi keamanan dari sistem, jaringan, data, ataupun aspek lainnya dalam setiap penyelenggaraan sistem elektronik.

Tidak hanya itu, ada beberapa urgensi terkait dengan kebijakan kemandirian kriptografi nasional. seperti, melindungi hak privasi masyarakat, memfasilitasi keamanan sistem informasi dan komunikasi, mendorong kesejahteraan ekonomi dengan mempromosikan perdagangan elektronik yang aman, menjaga keamanan publik, serta membantu penegakan hukum.[]

Redaktur: Andi Nugroho