Alat Pengenal Wajah Bakal Kian Populer pada 2025, Diadopsi untuk Autentikasi Alat Pembayaran

Ilustrasi | Foto: freepik.com

Cyberthreat.id – Kajian Juniper Research memprediksi beberapa tahun mendatang teknologi pengenal wajah (facial recognition) bakal dipakai untuk verifikasi alat pembayaran daring melalui ponsel pintar.

Lembaga riset asal Inggris tersebut menyebutkan fenomena tersebut didorong dengan kondisi masyarakat telah terbiasa menatap layar ponsel untuk membuka kunci, tanpa harus memasukkan kode rahasia.

Selain fitur wajah, kajian itu juga memperkirakan sejumlah biometrik lain, seperti sidik jari, mata, dan suara juga bakal digunakan untuk mengautentikasi pembayaran seluler. Pada 2025, teknologi biometrik akan diadopsi hingga 95 persen pada ponsel pintar.

Seperti dikutip dari ZDNet, diakses Selasa (13 April 2021), dasar kajian itu karena perangkat seluler saat ini semakin banyak digunakan untuk menggantikan kartu kredit.

Namun, seiring belanja online dari Instagram hingga Google Play Store juga toko-toko online lain berkembang pesat, pada saat yang sama, ancaman siber itu juga datang.

“Itulah mengapa biometrik menjadi penting untuk meningkatkan keamanan pembayaran seluler, dengan pengenalan wajah, khususnya,” tulis Juniper Research.

Namun, menurut kajian itu, tidak semua teknologi diciptakan sama antara alat pengenal wajah berbasis perangkat lunak dengan perangkat keras.

“Yang dibutuhkan untuk alat pengenal wajah berbasis perangkat lunak, yaitu kamera depan pada perangkat dan perangkat lunak yang menyertainya,” ujar Nick Maynard, analis utama Juniper Research.

Sementara, “Dalam sistem berbasis perangkat keras, justru ada lapisan perangkat keras tambahan yang menambah tingkat keamanan…sistem berbasis perangkat keras lebih aman.”

Nick kemudian mencontohkan teknologi pengenal wajah berbasis perangkat keras milik Face ID Apple. Alat ini dapat digunaka nuntuk mengesahkan pembelian di iTunes Store, App Store dan Apple Books, serta pembayaran dengan Apple Pay.

Sekadar diketahui, Face ID diaktifkan oleh sistem kamera yang disebut “TrueDepth” buatan Apple. Kamera ini menganalisis lebih dari 30.000 titik di wajah pengguna untuk membuat peta biometrik yang digabungkan dengan bidikan inframerah. Lalu, dibandingkan dengan data wajah yang sebelumnya didaftarkan oleh pengguna.

Teknologi tersebut cukup tepat untuk mengidentifikasi spoofing, misalnya membedakan antara orang asli dengan foto 2D atau bertopeng.

Apa yang dilakukan Apple tersebut juga merangsang perusahaan lain melakukan hal serupa.

Kajian tersebut juga menunjukkan bahwa hingga 2025 alat pengenal wajah berbasis perangkat keras bakal tumbuh pesat karena dinilai sangat aman.  

"Sistem berbasis perangkat keras jelas memiliki biaya tambahan per perangkat," kata Nick.

“Namun, alasan mengapa hal itu tumbuh dengan baik sebenarnya karena Apple telah mendorongnya ke depan. Mereka telah menjadikan teknologi sebagai bagian dari perangkat kelas atas mereka, dan menunjukkan bahwa teknologi pengenalan wajah berbasis perangkat keras dapat dilakukan dan sangat aman."

Terlepas dari popularitas sistem berbasis perangkat keras, Juniper Research juga menemukan bahwa banyak vendor pertama-tama akan memilih alat berbasis perangkat lunak, kemungkinan besar di ponsel Android.

"Pengenalan wajah berbasis perangkat lunak sangat mudah diterapkan," lanjut Nick, "tetapi kami mengharapkan pergeseran ke sistem berbasis perangkat keras karena perangkat lunak menjadi tidak valid oleh pendekatan penipu. Metode penipu selalu berkembang, dan perangkat keras perlu berevolusi dengannya."

Kajian Juniper Research, pada dasarnya, merekomendasikan agar vendor menerapkan alat otentikasi sekuat mungkin seiring upaya spoofing yang meningkat.

Itu tidak berarti bahwa bahkan teknologi biometrik tercanggih sekalipun datang tanpa cacat. "Pandemi (Covid-19) telah menunjukkan bahwa pengenalan wajah tidak bisa berfungsi ketika memakai masker," kata Nick. Bahkan, untuk pengguna berkacamata saat kondisi kaca mata beruap pun teknologi tak bisa mengenali.[]

Redaktur: Andi Nugroho