Diteror Debt Collector Pinjol Ilegal? Ini Saran Ketua Satgas Waspada Investasi OJK

Ketua Satgas Waspada Investasi OJK Tongam Lumban Tobing. | Foto: Harian Nasional/Aulia Rachman

Cyberthreat.id - Satgas Waspada Investasi (SWI) mendorong agar masyarakat melaporkan jika menerima teror dari penagih hutang (debt collector) yang mengaku berasal dari pinjaman online (fintech) ilegal.

“Kami mengharapkan masyarakat yang merasa dirugikan karena tindakan debt kolektor agar segera melapor ke polisi,” kata Ketua SWI, Tongam L. Tobing, Rabu (3 Maret 2021).

Saat ditanyai apakah sudah ada yang pernah diproses hukum, Tongam menjawab “sudah banyak yang masuk proses hukum”.

Tongam pun memberi contoh kasus debt collector tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau ilegal yang pernah diungkap kepolisian.

“Contoh V-Loan dan Vega Data,” ujarnya.

Ditanya tentang kasus terbaru mengenai fintech ilegal yang berhasil ditindaklanjuti dengan proses hukum, Tongam yang memimpin Satgas yang di dalamnya termasuk unsur kepolisian, mengarahkan Cyberthreat.id menanyakan langsung kepada pihak kepolisian.

“Coba dicek di kepolisian data terbaru,” katanya.

Cyberthreat.id pernah menanyakan terkait penindaklanjutan laporan terkait fintech ilegal dan terkait ancaman dari debt collector pun banyak dilaporkan.

Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bereskrim Polri, Brigjen Polisi Helmy Santika, mengatakan kebanyakan laporan yang masuk dari masyarakat adalah laporan yang terkait dengan pengancaman, intimidasi, teror dikarenakan korban tidak mampu membayar pengembalian dana dengan bunga yang sangat tinggi.

"Salah satu contoh laporan yang ditindak lanjuti adalah yang pernah dilakukan oleh Polrestra Jakarta Utara, namun hal itu hanya sebatas pengancaman yang dilakukan oleh pihak ketiga dari perusahaan pemilik aplikasi peer to peer landing," ujarnya, Kamis (31 Desember 2020). (Lihat: Polri Akui Alami Kesulitan Menindak Penyelenggara Fintech Ilegal, Mengapa?).

Mengenai kasus yang pernah diungkap seperti kata Tongam. Kasus V-Loan, dikutip dari Bisnis.com, merupakan kasus yang diungkap Bareskrim Polri awal Januari 2019. Empat tersangka debt collector V-Loan ditangkap setelah melakukan tata cara penagihan yang tidak pantas.

“Mereka menyebar konten pornografi, mengancam, dan menakut-nakuti nasabah. Korban yang sudah melaporkan tiga orang,” kata Kasbdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Rickynaldo Chairul pada 8 Januari 2019, dikutip Jumat (5 Maret 2021).

Menurut Ricky, konten itu didapatkannya dari mengakses data pribadi korban, termasuk diantaranya daftar kontak korban hingga menghubungi orang yang tidak ada hubungannya dengan korban. Karenanya, keempatnya tersangka dijerat melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Sama halnya dengan V-Loan, penagih utang dari aplikasi fintech ilegal Vega Data ikut terjaring oleh polisi, tepatnya 24 Desember 2019. Dikutip dari Kontan, Kapolres Metro Jakarta Utara pada saat itu, Kombes Budhi Susianto mengatakan penagih utang melakukan peneroran kepada korban. Terlihat dari hasil rekamannya penagih itu menagih dengan perkataan bernada kasar.

Dalam kasus Vega Data, lima orang ditangkap dan dijerat dengan UU ITE serta KUHP, dan UU Perlindungan Konsumen.

Tampaknya kedua kasus yang diungkap Polri itu agak berbeda dengan yang dialami oleh pengguna Twitter @ordinarywmnn atau Mega. Dirinya bukanlah sebagai peminjam yang ditagih, melainkan kenalan dari si peminjam yang nomor kontaknya ikut disedot oleh aplikasi.

Penagih hutang menghubunginya lewat nomor WhatsApp, dan memintanya menyampaikan ke sang teman untuk membayar hutang.

Lantaran @ordinarywmnn merasa itu bukan urusannya, sempat terjadi perdebatan antara mereka. Si penagih hutang bahkan mengancam akan menyantet anaknya menggunakan foto yang diambil dari profil WhatsApp @ordiarywmnn. (Lihat: Debt Collector Pinjaman Online Ilegal Ancam Teman Peminjam Pakai Foto Anak).

Diketahui, fintech ilegal memang mengakses daftar kontak dari ponsel si peminjam. Hal itu pernah diutarakan oleh Badan Siber dan Sandi Negara.

Salah satu ciri fintech ilegal yakni akses ke seluruh data di ponsel. Saat melakukan penginstalan aplikasi, biasanya apps pinjol ilegal meminta akses izin ke seluruh ponsel, misalkan kontak, internet, SMS, galery, posisi, telepon, memori dll. Padahal yang diizinkan hanyalah akses ke kamera, mikrofon, dan lokasi. (Lihat: Jangan Sembrono Pinjam Uang di Layanan Fintech, Ini Saran BSSN).

Sekedar informasi, sejak 2018 hingga Februari 2021 SWI telah mendeteksi 3.107 fintech ilegal. Dari sekian ribu itu, masih ada 36 aplikasi yang ditawarkan melalui toko aplikasi Android, Google Play Store.

Tongam pun mengaku telah meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) memblokirnya. Namun, dari pernyataan Kominfo akhir tahun lalu bahwa memang tidak mudah menendang aplikasi dari Google Play Store karena perlu dikaji oleh Google terlebih dahulu pengajuannya. (Selengkapnya: Sulitnya Bokir Aplikasi Fintech Ilegal, Kominfo Sebut Google Harus Kaji Bukti yang Diajukan).

Tampaknya kesadaran masyarakat yang diharapkan dengan kondisi seperti ini. Hal ini pun juga diutarakan Tongam saat ditanya terkait rencana kedepan menangani fintech ilegal, pada wawancara Desember 2020 lalu.

“Edukasi ke masyarakat kami tingkatkan, kami juga mengharapkan peran serta masyarakat, cek dulu kalau ada penawaran atau cek legalitasnya. Dengan demikian lebih aman gitu. Itu saja kuncinya,” katanya saat itu. (Baca: Wawancara Ketua Satgas Waspad Investasi, Tongam L. Tobing: Kenapa Fintech Ilegal Sulit Diblokir? Saya Tidak Tahu Teknisnya). []

Editor: Yuswardi A. Suud