Myanmar dan Jejak Buruk Pemadaman Internet

Bendera Myanmar | Foto: Freepik.om

Cyberthreat.id – Sebagian wilayah di Myanmar mengalami gangguan internet di tengah kemelut politik pada Senin (1 Februari 2021) dini hari.

Beberapa jam setelah isu “penahanan” terhadap sejumlah tokoh politik, salah satunya, Aung San Suu Kyi, Minggu (31 Januari) malam, konektivitas internet di ibu kota Myanmar, Naypyidaw, memburuk; anjlok hingga 50 persen pada Senin pagi.

“Data teknis menunjukkan pemadaman mempengaruhi beberapa operator jaringan, termasuk Myanma Post and Telecommunications (MPT) milik negara dan operator internasional Telenor,” tulis NetBlocks, lembaga non-pemerintah yang fokus pada keamanan siber dan tata kelola internet berbasis di London.

Temuan awal NetBlocks menunjukkan gangguan “tampaknya diarahkan secara terpusat yang menargetkan layanan seluler dan beberapa layanan saluran tetap”.

Kekuatan politik

Gangguan internet di Myanmar bukan sesuatu yang baru. Insiden tersebut hampir selalu berkaitan dengan isu politik—oleh karenanya, gangguan di sini lebih tepatnya disebut dengan “pemadaman internet secara paksa”.

Dua tahun lalu, pemadaman paksa dilakukan oleh pemerintah Myanmar di negara bagian Rakhine dan tetangganya, negara bagian Chin. Pemadaman internet itu tercatat sejak 21 Juni 2019 hingga 2020.

Freedom House dalam laporan bertajuk “Freedom Net 2020 di Myanmar”, mengatakan, pemadaman internet tersebut salah satu terlama di dunia.

Baca:


Laporan Human Rights Watch menyebutkan, internet padam terjadi di tujuh kota di negara bagian Rakhine dan satu kota di Chin. Masyarakat yang berada di wilayah terdampak itu hanya memiliki akses ke jaringan 2G—hanya bisa ber-SMS dan panggilan telepon.

Sempat antara 31 Agustus hingga 1 September, Myanmar memulihkan jaringan interent, tapi kebijakan itu dicabut pada Februari 2020.

Pencabutan pemulihan akses internet ini dilakukan beberapa jam setelah Tentara Arakan (AA) mengumumkan akan merilis bukti kuburan Muslim yang tewas di negara bagian Rakhine akibat kekejaman militer Myanmar pada Agustus 2017 selama “Operasi Pembersihan”.

Rakhine merupakan rumah bagi etnis Rohingya, kelompok minoritas Muslim yang menghadapi penumpasan brutal oleh militer Myanmar pada 2017, kata Amnesty International.

Pemadaman internet yang berlanjut hingga September 2020 itu berdampak pada sekitar 1,4 juta orang.

Pada 2 Mei 2020 di kota Maungdaw pemadaman internet sempat dicabut, tapi pada 23 Juni 2020, militer mengatakan tidak berencana mencabunya. Hanya, Kementerian Transportasi dan Komunikasi Myanmar (MoTC) memutuskan pembatasan internet diperpanjang hingga 1 Agustus.

Pemerintah memutus internet seluler di Rakhine dan Chin diklaim demi “menjaga stabilitas dan hukum dan ketertiban”. Pemadaman internet diberlakukan pemerintah merespons konflik antara pasukan pemerintah dan Tentara Arakan (AA).

Kementerian Luar Negeri Myanmar mengklaim dalam sebuah pernyataan kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 30 Juni 2020, dan di tempat lain pada 8 Juli 2020 bahwa pemadaman diperlukan, sebagian untuk “mencegah AA mengeksploitasi teknologi internet seluler untuk meledakkan IED [bahan peledak improvisasi perangkat] dan ranjau darat.”

Namun, Human Rights Watch menilai ranjau itu dapat diledakkan dari jarak jauh dengan berbagai cara sederhana sehingga tidak ada hubungannya dengan membutuhkan internet.

Human Rights Watchs pun mendorong agar pemerintah melakukan pencabutan pembatasan internet di Rakhine dan Chin pada 27 Juli 2020 dan mengatakan bahwa pembatasan itu menempatkan warga sipil pada risiko.

“Pembatasan pemerintah di internet telah menghambat koordinasi bantuan, pengumpulan informasi yang akurat, dan pemantauan pelanggaran,” kata Human Right Watch.

Kyaw Hsan Hlaing,  salah satu dari dari 1,4 juta orang terkena pemadaman internet berkepanjangan itu bercerita kepada TIME bahwa selama pemadaman internet berlangsung informasi yang didapatkan dari mulut ke mulut, bukan melalui  genggaman ponselnya.

"Dengan internet, orang dapat menyebarkan pesan grup atau posting di media sosial untuk memperingatkan orang lain tentang bahaya. Tetapi tindakan yang berpotensi menyelamatkan hidup ini saat ini tidak tersedia untuk keluarga dan teman-teman saya di rumah,” kata Kyaw dalam laporan TIME tertanggal 16 November 2020.

Bahkan, Kyaw tidak bisa mendapatkan informasi mengenai pandemi Covid-19 yang seharusnya bisa dia dapatkan dengan mengakses situs web Kementerian Kesehatan dan situs berita internasional.

Pemadaman internet itu juga menjadi penghalang bagi dirinya waktu itu untuk mentransfer uang, aktivitas pendidikan, dan ekonomi lokal. 

Freedom House mengatakan pemadaman internet oleh MoTC diberlakukan menurut Pasal 77 Undang-Undang Telekomunikasi Myanmar. MoTC memerintahkan kepada operator telekomunikasi dan penyedia layanan internet untuk memblokir situs web media berita independen dan etnis, yakni antara 19 Maret hingga 11 Mei 2020.

MoTC juga meminta memblokir 2.172 situs web, 92 di antaranya diduga terkait “berita palsu”. Situs media independen dan etnis yang terkena imbas, di antaranya Development Media Group, Narinjara News, Karen News, dan Voice of Myanmar.

Pada Agustus 2020, pemerintah memblokir sebuah situs web dan tiga alamat IP terkait Justice for Myanmar, kelompok aktivis yang sebelumnya pernah mengungkap kasus korupsi di kalangan militer.

Dari penelusuran Freedom House antara 2016-2020, Myanmar tidak tercatat pernah melakukan pemblokiran terhadap media sosial, tapi lebih banyak memblokir situs web media berita dan konten di media sosial, khususnya Facebook—jejaring sosial terpopuler di Myanmar.

Facebook pernah mengakui adanya permintaan penghapusan konten dari pemerintah, tetapi tidak menyebutkan berapa banyak yang diterima. Pada Agustus 2019, misalnya, Facebook menghapus akun dan halaman terkait Tentara Arakan karena dianggap sebagai organisasi berbahaya.

Pada 2018, pemerintah Myanmar bahkan membentuk Tim Pemantau Media Sosial (SMMT) yang diperkirakan menargetkan aktivis pro-Rohingya, organisasi masyarakat sipil internasional dan media asing. SMMT ini untuk mencari orang-orang yang mengunggah ujaran kebencian dan pencemaran nama baik.[]

Disarikan dari: Freedom House | HRW (1, 2) | Redaktur: Andi Nugroho