DPR Belum Satu Suara Soal Lembaga Pengawas Data Pribadi

Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid

Cyberthreat.id -Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid menilai isu mengenai perlu tidaknya lembaga pengawas khusus untuk menangani perlindungan data pribadi warga Indonesia akan dibahas lebih lanjut lantaran belum adanya kata sepakat.

Isu ini mengemuka seturut pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi yang sedang digodok di DPR RI.

Berbicara di webinar bertajuk 'Urgensi Perlindungan Data Pribadi' pada Senin (10 Agustus 2020), Meutya mengatakan ada sejumlah usulan yang  mengemuka. Misalnya, ada yang menyarankan untuk membentuk badan khusus, ada pula masukan dari  Komisi Informasi Pusat (KIP) yang juga mengusulkan komisinya untuk dilibatkan sebagai lembaga pengawas.

“Banyak pertimbangan apakah kita perlu membuat badan baru karena Indonesia katanya terlalu banyak badan atau lembaga.  Tapi di satu sisi saya juga bisa memahami mereka yang mendorong pembentukan badan baru supaya bisa independen dari pemerintah dengan argumen bagaimana caranya itu berada di bawah kementerian, toh kementerian juga salah satu yang perlu diawasi terkait bagaimana mereka mengamankan data-data pribadi warga negara,” ujar Meutya.

Di kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Semuel Abrijani Pangerapan menilai lembaga pengawas yang dia sebut sebagai Data Protection Authority (DPA) yang diatur dalam UU PDP, entah akan berbentuk badan atau di bawah pemerintah, yang penting adalah independensi dan profesionalisme dalam menjalankan fungsinya.

“Benar di UU ini ada namanya Data Protection Authority (DPA). Apa fungsinya dia? Satu, memberikan direktif, sosialisasi, menangani kasus-kasus ini, dan mungkin juga sampai membuat atau mereview olahan daripada para platform bahwa itu seimbang,” ujarnya.

“Ini [lembaganya] akan diisi oleh orang—orang yang profesional dan punya pemahaman tentang bagaimana melindungi data pribadi,” tambahnya.

Ia pun memberikan contoh apa yang dilakukan lembaga itu. Misalnya, memeriksa izin aplikasi yang kadang kita sebagai user pun tidak teliti ketika sudah menginstal aplikasinya. DPA inilah, kata Semuel, yang akan melakukan review apakah aplikasi ini sudah transparan atau tidak dalam meminta persetujuan pengguna.

“Contoh kami sudah berinteraksi dengan fintech.  Awal-awal fintech ramai mereka minta akses ke daftar kontak di ponsel. Pertanyaannya: apa hubungannya kontak di ponsel kita dengan layanan fintech, apa hubungannya akses galery kita dengan layanan fintech. Makanya kami sudah larang tidak boleh mereka meminta akses itu. Kan tidak ada hubungannya," kata Sammy.

Akan tetapi, keputusan terkait lembaga ini akan dibahas lagi bersama DPR setelah masa reses berakhir pada 13 Agustus 2020.

Namun, dari pemerintah dan DPR sudah satu sikap. Hal ini diungkapkan oleh Semuel dan Meutya, berdasarkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) dari pemerintah dan DPR, menurut mereka tidak terlihat ada perbedaan yang tajam, artinya sikapnya DPR dan pemerintah tidak terlalu jauh berbeda.

Hanya saja, kata Semuel, perlu diselaraskan saja terkait lembaga pengawas dan juga terkait sanksi pada RUU PDP di mana dinilai akan memberatkan Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM). []

Editor: Yuswardi A. Suud