Presiden Divonis Melanggar Hukum Soal Blokir Internet Papua, DPR: Pelajaran Penting

Aksi protes terhadap pemblokiran internet di Papua | Dok. Kompas

Cyberthreat.id - Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menilai keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang memvonis Presiden Joko Widodo melanggar hukum dalam kasus pemblokiran internet di Papua adalah pelajaran penting bagi pemerintah.

"Saya menyambut baik putusan ini. Kita semua, khususnya pemerintah, harus bisa lebih arif mengambil ini sebagai pelajaran penting dalam demokrasi." kata Sukamta dalam keterangan tertulisnya yang diterima Cyberthreat.id, Rabu (3 Juni 2020).

Menurut Sukamta, akses internet adalah bagian dari hak asasi manusia. Namun, jika berbicara konten, barulah negara dapat membatasinya. Dengan begitu, yang bisa diblokir adalah konten tertentu, bukan dengan memutuskan akses internet.

“Karena ini adalah hak asasi manusia, sesuai amanat Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pengaturannya harus dengan undang-undang (UU). Untuk itulah UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hadir,” paparnya.

“Berdasar putusan PTUN yang dilakukan pemerintah di Papua waktu itu adalah melakukan pemutusan akses internet, bukan pemutusan akses terhadap konten internet tertentu.  Ini tentu menyalahi amanat UU ITE Pasal 40,” sambung politisi PKS itu.

Lebih lanjut, Sukamta mengatakan bahwa apa yang diputuskan oleh PTUN ini menjadi pelajaran penting bagi pemerintah agar jangan suka melanggar aturan. 

"Jika pemerintahnya saja suka melanggar aturan, bagaimana dengan rakyatnya," kata  wakil rakyat dari Daerah Istimewa Yogyakarta ini.

Seperti diberitakan sebelumnya, majelis hakim PTUN Jakarta memutuskan Presiden Joko Widodo dan Kementerian Komunikasi dan Informatika bersalah dalam kasus pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus 2019.

"Menyatakan tindakan pemerintah yang dilakukan tergugat 1 dan 2 adalah perbuatan melanggar hukum," kata Hakim Ketua Nelvy Christin saat membacakan putusan melalui konferensi video, Rabu (3 Juni 2020).

Keputusan itu menyusul gugatan yang dilayangkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan SAFEnet dengan kuasa hukum dari LBH Pers, YLBHI, Kontras, ICJR, dan Elsam.

Majelis hakim dalam keputusannya menyebutkan internet adalah netral, bisa digunakan untuk yang positif dan membangun peradaban. Jika ada konten yang melanggar hukum, maka yang dibatasi adalah konten tersebut.

Menurut majelis hakim, keputusan pemerintah memblokir internet di Papua dan Papua Barat juga menyalahi prosedur karena tidak didahului pengumuman keadaan bahaya.

Secara substansi, menurut majelis hakim, pemadaman internet juga menyalahi ketentuan Diskresi, dan bertentangan dengan UU dan asas umum pemerintahan yang baik.

"Menkominfo dan Presiden tidak membuktikan bahwa Indonesia dalam keadaan bahaya," sebut majelis hakim.

Hakim juga memerintahkan pemerintah untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut.

"Menghukum para tergugat menghentikan dan tidak mengulangi seluruh perbuatan dan/atau tindakan pelambatan dan/atau pemutusan akses internet di seluruh wilayah Indonesia," tuturnya.

Pihak tergugat dihukum membayar biaya perkara sebesar Rp457 ribu.

Pemerintah melakukan pemblokiran akses internet di Papua pada 21 Agustus 2019 menyusul pecahnya aksi unjuk rasa di beberapa wilayah seperti Fakfak, Sorong, Manokwari dan Jayapura.

Awalnya pemerintah melakukan pelambatan akses di beberapa daerah pada 19 Agustus 2019.

Akibat pemblokiran internet itu, warga Papua sempat membakar kantor Telkom Indonesia di Jayapusra. Selama dua pekan, warga di puluhan kabupaten dan kota Papua dan Papua Barat tidak bisa menggunakan internet dalam aktivitas ekonomi dan kesehariannya.

Pada 6 September 2019, pemerintah akhirnya mulai membuka akses internet d beberapa wilayah tertentu di Papua dan Papua Barat.

Menteri Kominfo yang saat itu dijabat oleh Rudiantara mengklaim pemblokiran internet dilakukan atas nama keamanan nasional dan situasi darurat.

Presiden Jokowi sendiri mendukung kebijakan itu dengan alasan dilakukan untuk kepentingan bersama.

Pemblokiran baru dibuka seluruhnya pada 11 September 2019 pukul 16.00 WIB.[] 

Editor: Yuswardi A. Suud