Ini Alasan Teknologi Pengenal Wajah Perlu Ditolak

Polisi memasang pemberitahuan di ruang publik selama uji coba AFR di London, Inggris, pada 2017. Foto: The Guardian | Mark Kerrison | Alamy

San Fransisco, Cyberthreat.id – Teknologi pengenal wajah otomatis (automated facial recognition/AFR) merupakan salah satu ancaman terbesar pribadi seseorang. Seharusnya alat tersebut dilarang untuk dipakai di ruang publik, demikian pernyataan Liberty, kelompok advokasi isu HAM berbasis di Inggris.

Martha Spurrier, seorang pengacara hak asasi manusia, mengatakan, teknologi tersebut memiliki masalah mendasar meski penegak hukum antusias dengan peralatan itu sebagai alat untuk membantu mencari penjahat.

“Saya kira alat tersebut seharusnya tidak dipakai. Ini adalah salah satu, jika tak mau disebut, ancaman terbesar kebebasan seseorang, karena keintiman informasi yang diperlukan dan diserahkan kepada negara tanpa persetujuan Anda, bahkan tanpa sepengetahuan Anda,” ujar Martha seperti dikutip The Guardian, Senin (10/6/2019).


Berita Terkait:


Kepolisian di Inggris dan Wales telah mengadopsi teknologi AFR untuk memindai wajah di kerumunan orang yang diduga penjahat, seperti di pusat kota, festival musik, acara olahraga, dan tempat keramaian lain.

Saat ini di Amerika Serikat, Pemerintah Kota San Fransisco telah melarang penggunaan teknologi AFR oleh kepolisian dan para agennya. Pelarangan itu berbarengan dengan kecaman luas publik terhadap penggunaan teknologi serupa yang dipakai China untuk mengintai jutaan Muslim Uighur di wilayah barat Xinjiang.

The Guardian menyebutkan, ketika digunakan di ruang publik, teknologi AFR menggunaka kamera untuk merekam wajah di tengah keramaian. Foto-foto rekaman tersebut kemudian diproses untuk membuat peta biometrik wajah tiap orang berdasarkan: pengukuran jarak mata, hidung, wajah, dan rahangnya.

“Kita harus memperhatikan ketika San Fransisco memutuskan bahwa mereka tidak menginginkan teknologi itu,” ujar Martha juga Direktur Liberty.

Ia menyebut teknologi AFR melebihi apa yang sekarang sudah seperti kamera pengawas (CCTV). Teknologi itu, kata dia, justru membawa peran negara untuk menginvasi pribadi secara kuat. “Pada dasarnya alat itu adalah alat pengintaian massal,” ujar Martha yang bulan lalu melalui lembaganya bulan lalu juga memprotes penggunaan teknologi AFR yang dipakai kepolisian South Wales.

Dalam catatan Liberty, kepolisian Inggris yang menggunakan AFR di ruang publik sejak 2014, yaitu Kepolisian Metropolitan, Kepolisian South Wales, dan Kepolisian Leicester. Sejak penggunaan itu, unit-unit AFR telah merekam sekitar 2.900 tersangka, tetapi sekitar 2.755 tersangka ternyata positif palsu.

Laporan tersebut, tulis The Guardian, menunjukkan adanya masalah teknik dengan sistem AFR. Orang-orang yang masuk daftar pengawasan itu disebut aparat sebagai “domba”.

Yang menjadi masalah adalah AFR lebih bekerja dengan baik ketika mengidentifikasi pria berkulit putih ketimbang kelompok lain. Artinya, perempuan dan orang kulit hitam serta etnis minoritas cenderung ditandai dengan kesalahan.

Imbasnya, daftar orang yang dipantau pun memungkinkan terjadinya bias, sehingga orang-orang berkulit hitam atau populasi orang kulit selain putih menjadi lebih besar diawasi.

“Anda dapat melihat (efek penggunaan AFR, yaitu) adanya ketidakadilan,” kata dia. Terlebih, teknologi tersebut justru makin membuat prasangka yang sudah ada dan mengakar di masyarakat terhadap komunitas-komunitas tertentu kiat kuat dengan dikodifikasikan lewat teknologi.

Liberty mencatat, efek dari teknologi itu tampak dalam laoran Mei lalu yang dilakukan Panel Etika Kepolisian London. Teknologi AFR dikhawatirkan merusak hubungan sosial. Dari survei itu menunjukkan sekitar 38 persen responden berusia 16-24 tahun memilih akan menghindari acara-acara yang menggunakan teknologi AFR secara langsung yang dihadiri orang kulit hitam dan wajah Asia.

“Sedikit demi sedikit, di seluruh negera, dengan cara kecil, tapi sangat signifikan, orang-orang akan berhenti melakukan sesuatu. Dari seseorang yang mengatakan, saya tidak akan pergi ke unjuk rasa itu, saya tidak akan berdoa di masjid itu, atau bergaul dengan orang itu, atau berjalan di jalan itu,” ujar Martha. “Begitu kondisi tersebut terjadi, apa yang Anda dilihat adalah sebuah mekanisme kontrol sosial.”

Sementara itu, Wakil Kepala Polisi South Wales, Richard Lewis, mengatakan, bahwa institusinya menyadari akan masalah privasi tersebut. “Kami berupaya tetap proporsional, transparan, dan sah dalam penggunaan AFR selama periode uji coba,” kata dia.

Ia mengatakan, telah bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mengembangkan AFR tersebut. Selama penerapa itu, kata dia, kepolisian telah melakukan penangkapan besar dan membawa penjahat ke pengadilan.