Orangtua Perlu Pahami Ini Agar Anak Terhindar Cyberbullying
Jakarta, Cyberthreat.id – Media sosial menjadi tempat yang subur maraknya praktik penindasan di dunia maya (cyberbullying). Korban yang seringkali mengalaminya adalah kalangan anak-anak dan remaja.
Data Unicef, badan kemanusiaan PBB fokus pada anak-anak, menunjukkan sekitar 70 persen remaja di dunia pernah menjadi korban penindasan di dunia maya. Anak perempuan yang berisiko lebih tinggi daripada anak laki-laki.
"Penindasan siber dapat menyebabkan kerugian besar karena dapat dengan cepat menjangkau khalayak luas, dan dapat tetap dapat diakses online tanpa batas, hampir 'mengikuti' para korbannya online seumur hidup," demikian pernyataan Unicef.
"Para korban penindasan dunia maya lebih cenderung menggunakan obat-obatan terlarang dan alkohol, bolos sekolah, menerima nilai buruk dan mengalami harga diri rendah dan masalah kesehatan. Dalam situasi ekstrem, itu bahkan menyebabkan bunuh diri."
Pakar teknologi informasi, Onno W Purbo, mengatakan, cyberbullying bisa terjadi tak hanya di medsos, tapi bisa melalui pesan pendek (SMS), layanan pesan instan, forum daring dan gim daring. Pendek kata, cyberbullying bisa terjadi di layanan yang setiap orang bisa melihat, berpartisipasi, dan berbagi konten.
Menurut Onno, praktik cyberbullying mencakup pengiriman, unggahan, atau berbagi konten negatif, berbahaya, palsu, atau jahat kepada orang lain.
“Termasuk, berbagi informasi pribadi atau pribadi tentang orang lain yang merasa dipermalukan,” tulis Onno dalam materi Cyberbullying yang dikutip dari Onno Learning Center, Sabtu (8/6/2019.
Menurut Onno, ada tiga hal yang dikhawatirkan terkait praktik cyberbullying, yaitu
- Persisten
Menurut Onno, perangkat digital menawarkan kemampuan untuk segera berkomunikasi terus-menerus (persisten) 24 jam sehari sehingga bisa sulit bagi anak-anak yang mengalami cyberbullying untuk bisa sedikit lega.
- Permanen
Onno mengatakan, sebagian besar informasi yang dikomunikasikan secara elektronik bersifat permanen dan publik jika tidak dilaporkan dan dihapus. “Reputasi online yang negatif, termasuk bagi mereka yang menggertak, dapat mempengaruhi penerimaan perguruan tinggi, pekerjaan, dan kehidupan lainnya,” tulis Onno.
- Sulit Diketahui
Karena guru dan orangtua mungkin tidak mendengar atau melihat apa yang terjadi, cyberbullying lebih sulit untuk diketahui.
Orangtua lebih proaktif
Menurut Onno, orangtua harus lebih proaktif dan tanggap dengan aktivitas anak di dunia maya sebab seorang anak mungkin terlibat dalam cyberbullying.
“Seorang anak bisa diintimidasi, mem-bully anak lain, atau menjadi saksi bullying,” tutur Onno. “Semakin banyak platform digital yang digunakan anak-anak, semakin besar peluang potensi cyberbullying.”
Jika melihat tanda-tanda bahwa seorang anak mungkin terlibat dalam cyberbullying, kata Onno, orangtua harus mengambil pendekatan, yaitu beri dukungan kepada korban intimidasi dan tunjukkan kepada anak-anak bahwa cyberbullying adalah sesuatu yang serius.
Karena cyberbullying terjadi secara online, meresponsnya memerlukan pendekatan yang berbeda. “Orangtua dapat menciptakan kepercayaan antara dirinya dan anak-anak dengan memulai diskusi terbuka dan jujur. Dialog ini adalah kesempatan untuk mengkomunikasikan nilai dan harapan tentang perilaku digital keluarga, termasuk melihat atau berbagi konten dan aplikasi yang dapat dan tidak dapat digunakan,” tutur Onno.
Selain itu, Onno mengatakan, sering menanyakan kepada anak-anak tentang pengalaman digital mereka untuk mengatasi potensi risiko cyberbullying dan bahaya dunia maya.
“Dengarkan kekhawatiran mereka dan berikan masukan kepada mereka. Hal ini dilakukan untuk mengurangi risiko cyberbullying atau bahaya dari perilaku jahat di dunia digital,” kata Onno.
Berikut ini yang bisa dilakukan orangtua jika ada anak-anak yang terlibat cyberbullying:
- Perhatikan
Kenali apakah telah terjadi perubahan mood atau perilaku dan cari tahu apa penyebabnya. Cobalah untuk menentukan apakah perubahan ini terjadi di sekitar penggunaan perangkat digital anak?
- Bicarakan
Ajukan pertanyaan untuk mempelajari apa yang terjadi, bagaimana hal itu dimulai, dan siapa yang terlibat.
- Dokumentasikan
Simpan catatan tentang apa yang terjadi dan di mana. Lakukan screenshot dari posting atau konten berbahaya jika memungkinkan. Sebagian besar undang-undang dan kebijakan mencatat bahwa intimidasi adalah perilaku berulang. Jadi, catatan akan membantu mendokumentasikannya.
- Laporkan
Sebagian besar platform media sosial dan sekolah memiliki kebijakan dan proses pelaporan yang jelas. Jika teman sekelasnya melakukan cyberbullying, laporkan ke sekolah.
Anda juga dapat menghubungi platform media sosial atau aplikasi untuk melaporkan konten yang menyinggung dan menghapusnya. Jika anak telah menerima ancaman fisik, atau jika terjadi tindak kriminal atau tindak kejahatan, laporkan ke polisi.
- Beri Dukungan
Peran kelompok, mentor, dan orang dewasa tepercaya kadang-kadang dapat campur tangan secara terbuka untuk secara positif mempengaruhi situasi anak. Intervensi publik dapat mencakup posting komentar positif tentang orang yang ditargetkan dengan bullying untuk mencoba mengalihkan pembicaraan ke arah yang positif.
Jika memungkinkan, usahakan untuk menentukan apakah lebih banyak dukungan profesional dibutuhkan bagi mereka yang terlibat, seperti berbicara dengan bimbingan konseling atau profesional kesehatan mental.
Redaktur: Andi Nugroho