PERANG LAWAN CORONA
Jokowi Sebut Darurat Sipil, Jubir Presiden Ralat Cuitan
Cyberthreat.id - Presiden Joko Widodo menyampaikan pemerintah mengambil langkah baru menyikapi wabah virus corona dengan memberlakukan pembatasan sosial skala besar dan didampingi kebijakan darurat sipil.
Hal itu disampaikan Presiden Jokowi dalam rapat terbatas bersama Gugus Tugas Covid-19 yang disiarkan lewat akun Youtube Sekretariat Presiden, Senin (30 Maret 2020).
"Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, disiplin, dan lebih efektif lagi," kata Presiden seraya menambahkan,"Sehingga tadi juga sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," kata Jokowi.
Jokowi juga meminta jajarannya menyiapkan aturan pelaksanaan yang akan menjadi panduan bagi pemerintah daerah.
"Dalam menjalankan kebijakan pembatasan sosial berskala besar saya minta agar disiapkan aturan pelaksanaannya yang lebih jelas sebagai panduan-panduan untuk provinsi, kabupaten, kota, sehinga mereka bisa kerja. Dan, saya ingatkan kebijakan kekarantinaan kesehatan adalah keewnangan Pemerintah Pusat, bukan Pemerintah Daerah," kata Jokowi.
Jubir Presiden Ralat Cuitan
Di dunia maya, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman mengumumkan kebijakan itu di Twitter.
Dalam cuitannya, awalnya Fadjoel mengatakan,"Presiden @jokowi menetapkan tahapan baru perang melawan Covid-19 yaitu: PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA BESAR dengan DARURAT SIPIL. Tahapan sebelumnya: Pembatasan Sosial dengan Pendisiplinan Hukum."
Belakangan, Fadjroel menghapus cuitan itu dan menggantinya menjadi,"Presiden @jokowi menetapkan tahapan baru perang melawan Covid-19 yaitu: PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA BESAR dengan KEKARANTINAAN KESEHATAN. Hanya jika keadaan sangat memburuk dapat menuju Darurat Sipil ~ #Jubir #BungJubir @JubirPresidenRI."
Aturan Hukum
Istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar dan dan Kekarantinaan Kesehatan merujuk kepada Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang disahkan oleh Presiden Jokowi pada 7 Agustus 2018.
Di sana disebutkan, Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah,"pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu
wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi."
Pada pasal 36 disebutkan, pembatasan sosial berskala besar paling sedikit meliputi:
a. peliburan sekolah dan tempat kerja;
b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau
c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Sedangkan Kekarantinaan Kesehatan adalah,"upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat."
Ada pun Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah "kejadian kesehatan yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara."
Undang-undang ini juga menyebut tentang Karantina Wilayah yaitu "pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk
mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi."
Disebutkan, Karantina Wilayah "dilaksanakan kepada seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah apabila dari hasil konlirmasi laboratorium sudah terjadi penyebaran penyakit antar anggota masyarakat di wilayah tersebut."
Tatacara pelaksanaan Karantina Wilayah di Pintu Masuk diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Kewenangan Penyidik
Untuk menegakkan aturan ini, pasal 85 Undang-undang tersebut memberi kewenangan penyidikan kepada PPNS Kekarantinaan Kesehatan untuk:
a. menerima laporan tentang adanya tindak pidana di bidang Kekarantinaan Kesehatan;
b. mencari keterangan dan alat bukti;
c. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
d. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
e. memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap, atau menahan seseorang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang Kekarantinaan Kesehatan;
f. menahan, memeriksa, dan menyita dokumen;
g. menyuruh berhenti orang yang dicurigai atau tersangka dan memeriksa identitas dirinya;
h. memeriksa atau menyita surat, dokumen, atau benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana Kekarantinaan Kesehatan;
i. memanggil seseorang untuk diperiksa dan didengar keterangannya sebagai tersangka atau saksi;
j. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
k. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat surat, dokumen, atau benda lain yang ada hubungannya dengan tindak pidana di bidang Kekarantinaan Kesehatan;
l. mengambil foto dan sidik jari tersangka;
m. meminta keterangan dari masyarakat atau sumber yang berkompeten;
n. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan adanya tindak
o.pidana di bidang Kekarantinaan Kesehatan; dan/atau mengadakan tindakan lain menurut hukum.
Pasal 86 menyebutkan, alat bukti yang sah dalam pemeriksaan tindak pidana di bidang Kekarantinaan Kesehatan berupa:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana; dan
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, dan diterima atau disimpan secara elektronik atau yang serupa dengan itu.
Ketentuan Pidana
Undang-undang ini juga memuat ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 90 - 94 berupa:
Pasal 90
Nakhoda yang menurunkan atau menaikkan orang dan/atau Barang sebelum memperoleh persetujuan Karantina Kesehatan berdasarkan hasit pengawasan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) dengan maksud menyebarkan penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)
Pasal 91
Kapten Penerbang yang menurunkan atau menaikkan orang dan/atau Barang sebelum memperoleh Persetujuan Karantina Kesehatan berdasarkan hasil pengawasan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dengan maksud menyebarkan penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp15.0O0.0O0.000 (lima belas miliar rupiah)
Pasal 92
Pengemudi Kendaraan Darat yang menurunkan atau menaikkan orang dan/atau Barang sebelum dilakukan pengawasan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (21 dengan maksud menyebarkan penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 lima belas miliar rupiah).
Pasal 93
Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 94
1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, dan pasal 92 dilakukan oleh korporasi pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Korporasi dikenai pertanggungjawaban secara pidana (terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.
(3) Pidana dijatuhkan kepada korporasi jika tindak pidana:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh tindak personel pengendali korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan/atau
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.
(4) Dalam hal tindak pidana dilakukan atau diperintahkan oleh personel pengendali korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a atau pengurus korporasi, pidana pokok yang dijatuhkan adalah pidana penjara maksimum dan pidana denda maksimum yang masing-masing ditambah dengan pidana pemberatan 2/3 (dua pertiga).
(5) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda maksimum ditambah dengan pidana pemberatan 2/3 (dua pertiga).
Darurat Sipil
Ada pun terkait dengan Darurat Sipil dbiasanya diterapkan ketika negara dalam keadaan bahaya. Ketentuan tentang ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Perppu tersebut mencabut Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957. Perppu ini ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada 16 Desember 1959.
Pemerintah Pusat pernah menerapkan Darurat Sipil di Aceh pada sejak 18 Mei 2004 setelah sebelumnya menerapkan Status Darurat Militer selama setahun sejak 18 Mei 2003. Status ini diterapkan ketika Pemerintah Pusat berhadapan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebelum akhirnya meneken perjanjian damai di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005.
Saat status darurat sipil, dalam Pasal 3 ditegaskan bahwa penguasa keadaan darurat sipil adalah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat. Di level daerah, penguasaan keadaan darurat sipil dipegang oleh kepala daerah serendah-rendahnya adalah kepala daerah tingkat II (bupati/wali kota). Kepala daerah tersebut dibantu oleh komandan militer tertinggi dari daerah yang bersangkutan, kepala polisi dari daerah yang bersangkutan, dan seorang pengawas/kepala kejaksaan daerah yang bersangkutan.[]
Update: