Elsam: Buka Jejak Lokasi Pasien Covid-19, Tapi Jaga Privasi
Cyberthreat.id - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menyarankankan pemerintah Indonesia mengikuti langkah Singapura dalam membuka data rekam jejak lokasi yang pernah dikunjungi pasien yang positif terpapar virus corona.
Direktur Riset Elsam, Wahyudi Djafar mengatakan, meskipun membuka jejak lokasi pasien, namun pemerintah Singapura tidak membuka identitas pribadi mereka. Yang dipublikasikan hanya berupa nomor pasien. Pemetaan ini dibuat oleh Upcode Academy bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan Singapura.
Meskipun menampilkan secara lengkap rekam jejak aktivitas dan lokasi yang dikunjungi oleh pasien positif dan suspect Covid-19, Singapura hanya menampilkan informasi lokasi, tanpa membuka identitas pribadi pasien. Ini dilakukan guna memastikan tidak adanya identifikasi dan profiling terhadap pasien, tetapi hak publik atas kesehatan publik juga tetap dipenuhi.
Sebagai contoh, pasien nomor 310 disebut sebagai seorang lelaki berusia 58 tahun. Ketika diklik nomor kasusnya, muncul laman yang memperlihatkan jejak penularan dan hubungannya dengan kasus lain. Lalu, masih ada link ke situs Kementerian Kesehatan Singapura yang menampilkan rincian jejak lokasinya. Di sana, kasus 310 disebut terkait dengan kasus 183 dan 252 yang disebut sebagai klaster penularan di Masjid Al Muttaqin (5140 Ang Mo Kio Avenue 6).
"Singapura sama sekali tidak membuka identitas pribadi dari pasien positif COVID-19, apalagi yang masih dalam status suspect (dugaaan). Melainkan cukup dengan memberikan nomor bagi pasien, berdasarkan pada nomor urut kasusnya," kata Wahyudi saat dihubungi cyberthreat.id baru-baru ini.
Pembukaan data jejak lokasi yang dikunjungi pasien dinilai penting untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Hanya saja, Wahyudi mengingatkan, setiap praktik pengumpulan data pribadi seseorang, termasuk tracking data lokasi, harus dilakukan sesuai dengan prinsip dan hukum pelindungan data pribadi.
Hal ini karena adanya potensi pelanggaran sangat mungkin terjadi dengan implikasi adanya diskriminasi dan ekslusivitas (pengucilan) terhadap pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk meningkatkan situasi ketakutan berlebih bagi publik.
"Sebagai contoh, dua kasus pertama positif COVID-19 di Indonesia yang data pribadinya disebarkan luasnya, justru mengalami diskriminasi dan intimidasi, yang kemudian berdampak pada keadaan mental kedua pasien tersebut," ujarnya.
Penggunaan identitas pasien dengan alasan kesehatan publik, kata Wahyudi, menjadi pengecualian melalui beberapa persyaratan. Seperti, harus ada persetujuan yang jelas dari subjek data, dan ditujukan untuk kepentingan vital (vital interest) dari subjek data.
Berkaitan dengan penggunaan identitas pasien terkait upaya mitigasi Covid-19, Wahyudi menyarankan semua kegiatan yang memanfaatkan data pribadi pasien harus menerapkan prinsip-prinsip perlindungan data pribadi dan kode etik tenaga medis.
Pemerintah, kata Wahyudi, perlu berhati-hati melindungi data pasien dan menjamin akuntabilitasnya.
Berdasarkan 32 undang-undang yang mengatur perlindungan data pribadi, enam diantaranya berkaitan dengan sektor kesehatan, termasuk akses data kesehatan yakni: UU Praktik Kedokteran, UU Kesehatan, UU Rumah Sakit, UU Kesehatan Jiwa, UU Tenaga Kesehatan, dan UU Narkotika.
Sedangkan Pasal 57 ayat (2) UU Kesehatan menyebutkan, pengecualian dalam perlindungan data tersebut dapat dilakukan salah satunya demi kepentingan masyarakat. Namun tentunya harus memenuhi prinsip nesesitas dan proporsionalitas.
"Artinya penggunaan identitas pasien dilakukan secara ketat dan terbatas."
Wahyudi juga menambahkan, kerahasiaan rekam medik pasien diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 269/MenKes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis, yang mewajibkan seluruh penyelenggara layanan kesehatan untuk menjaga kerahasiaan rekam medis pasien.
Dalam Pasal 10 (2) peraturan tersebut dikatakan, bahwa membuka riwayat kesehatan memungkinkan terjadi untuk kepentingan kesehatan, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum, permintaan pasien sendiri, dan untuk kepentingan penelitian atau pendidikan sepanjang tidak menyebut identitas pasien.
Langkah membuka jejak lokasi pasien positif Covid-19 sejauh ini baru dilakukan Pemprov DKI Jakarta walau datanya masih terbatas pada sebagian kecil kasus. Hingga 26 Maret 2020, baru 28 rekam jejak yang dibuka (dari total 495 kasus), tanpa keterangan waktu kunjungan.
Selain itu tak ada nama pasien yang dimunculkan. Alamat rumahnya juga tidak detail, hanya sampai kelurahan.
"Keterangan: Tidak semua kasus ditampilkan dalam peta. Ini untuk memudahkan visualisasi. Kasus yang dipilih adalah representatif dan detail terkait pribadi/personal tidak ditampilkan untuk publik," bunyi disclaimer pada 'Peta Kronologis dan Perkembangan Kasus Covid-19' yang dimunculkan di situs corona.jakarta.go.id. []
Editor: Yuswardi A. Suud