Ilmuwan Indonesia Siapkan Pendeteksi Covid-19 Berbasis AI

Ilustrasi gejala seseorang yang terinfeksi Covid-19 dan cara pencegahannya. | Foto: freepik.com

Jakarta, Cyberthreat.id – Sejumlah ilmuwan Indonesia tengah meriset dan berusaha menciptakan alat deteksi dan analisis wabah virus corona (Covid-19) berbasis teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).

Riset itu kolaborasi antarlembaga riset lintas disiplin ilmu, seperti Indonesia AI Society (IAIS), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Eijkman, Teknik Biomedika Institut Teknologi Bandung, dan sejumlah lembaga lainnya.

Pembagian kerja riset itu terbagi dalam dua tahap. Pertama, peneliti meriset secara medis di laboratorium basah yang dilakukan peneliti biologi, kimia, dan kedokteran. Kedua, para akademisi dan ilmuwan AI menggunakan laboratorium kering untuk mengolah data bagaimana mendeteksi dini infeksi Covid-19.

Ketua Indonesia AI Society (IAIS), Dr. Lukas, mengatakan, peneliti AI akan mengembangkan model dan prediksi yang diharapkan dapat membantu tenaga medis dan pemerintah. Ia menegaskan, hasil dari permodelan tersebut masih bersifat sementara dan belum bisa diandalkan karena keterbatasan data.

Teknologi AI sangat bergantung pada data untuk mencari pola yang bisa memisahkan antara orang normal dengan orang terinfeksi Covid-19. Sementara, data yang akurat hanya data dari hasil rontgen (X-ray) atau dengan CT-scan. Sayangnya, data ini masih sulit untuk diakses oleh para peneliti AI, khususnya untuk kasus di Indonesia. Ia menuturkan, telah berkoordinasi antarlembaga pemerintah dan rumah sakit untuk mendapatkan data riil kasus Covid-19 di Indonesia.

"Diharapkan dalam waktu dekat, mungkin dalam sebulan, diperoleh data lebih banyak, khususnya dari dalam negeri (kasus Covid-19 di Indonesia), sehingga analisisnya lebih akurat," ujar Lukas saat dihubungi Cyberthreat.id, Selasa (17 Maret 2020).

Dalam percobaan awal, peneliti menggunakan 63 gambar X-ray dari 24 pasien Covid-19 dari luar negeri. Dari data yang tersedia di internet tersebut dibuat model dengan pembelajaran mendalam (deep learning) dan diperoleh akurasi yang cukup tinggi.

Hanya, kata Lukas, dari model tersebut masih perlu validasi lebih lanjut oleh ahli medis sambil memastikan berapa banyak false positive (FP) dan false negative (FN). False positive adalah mereka yang tesnya positif, padahal tidak berpenyakit, sedangkan false negative adalah mereka yang tesnya negatif, padahal mereka berpenyakit.

"Penerapan teknologi AI memberi harapan dalam bidang kesehatan, namun masih memerlukan validasi dari ahli medis, dan diharapkan semakin bagus kualitasnya dengan tersedianya data yang semakin banyak," kata dia.

Lukas menuturkan, teknologi temuan itu nantinya belum bisa langsung diterapkan karena harus menunggu persetujuan dari pemerintah; apakah penggunaan teknologi tersebut bisa dipercaya terkait kualitas hasil analisisnya.

Secara medis, virus SARS-Cov-2 memiliki masa inkubasi sekitar 1-14 hari. Seseorang yang terkena virus tersebut, tidak langsung bisa dideteksi pada hari-hari awal dan masih bisa beraktivitas seperti biasa. “Barulah setelah masa inkubasi, penderita mulai menunjukkan gejala flu, [pengamatan] dari luar [ baru bisa] mencurigai orang tersebut sebagai suspect Covid-19,” tutur Lukas.[]

Redaktur: Andi Nugroho