OPINI

Blokir Foto & Video di Medsos: Demi Selamatkan Negeri?

Ilustrasi | FREEPIK.COM

MENTERI Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam) Wiranto, mengatakan, pembatasan media sosial yang dilakukan pemerintah saat ini bukan merupakan tindakan sewenang-wenang.

“Langkah ini diambil untuk menyelamatkan negeri dari penyebaran berita hoaks di medsos,” kata Wiranto dalam konferensi pers di kantor Kementerian Koordinator bidang Polhukam, seperti disiarkan melalui sejumlah stasiun televisi, Rabu, (22/5/2019) siang.

Hal itu disampaikan Wiranto menyikapi kerusuhan yang dilakukan sekelompok orang pada Selasa (21/5) malam hingga Rabu (22/5) dini hari.

Apakah betul demi menyelamatkan negeri atau hanya ingin membekukan aktivitas para buzzer dan simpatisan politik di media sosial berkaitan demonstrasi pada tanggal 22 Mei?

Bermula dari Demonstrasi

Sejak pekan lalu, pendukung pasangan Capres dan Cawapres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uni memang menyatakan akan turun ke jalan pada tanggal 22 Mei sebagai bentuk protes terhadap hasil Pilpres 2019.

Mulai Selasa kemarin, ratusan massa telah berunjuk rasa di depan Kantor Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Mereka menyampaikan orasi dengan damai terkait dengan hasil Pilpres 2019 yang terindikasi banyak kecurangan. Bahkan, mereka berbuka puasa hingga shalat tarawih di lokasi, meski secara aturan demonstrasi hanya sampai pukul 18.00, aparat pun memberikan kelonggaran hingga pukul 21.00.

Pada jumpa pers di Kantor Kementerian Polhukam yang disiarkan langsung sejumlah stasiun televisi, Rabu siang, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, demonstrasi tersebut berlangsung damai dan terkendali.

Namun, setelah massa tersebut bubar, ada massa lain yang datang kembali pada malam hari sekitar pukul 23.00 WIB. Tito mengatakan, massa tersebutlah yang menjadi pemicu kerusuhan dan bentrokan dengan aparat.

Sebelumnya, Kadiv Humas Mabes Polri Irjen M Iqbal menjelaskan, massa yang tiba Selasa malam itu merusak pagar kawat dan memprovokasi petugas.

“Sesuai dengan aturan, karena tak boleh ada massa aksi pada larut malam, petugas (TNI dan Polri) menghalau. Namun, massa itu di beberapa jalan (Sabang dan Wahid Hasyim) malah menyerang petugas dengan molotov dan lemparan batu. Massa tersebut sangat brutal,” kata dia.

Menurut Iqbal, aparat akhirnya baru bisa menghalau mereka untuk bubar hingga pukul 03.00. Dari insiden itu, Polda Metro Jaya telah mengamankan 58 orang diduga sebagai provokator dan disedang didalami.

Di sisi lain, saat bersamaan sekitar pukul 02.45, kata Iqbal, polisi mendapati ada massa sekitar 200 orang berkumpul di Jalan KS Tubun, Petamburan. “Kalau kami duga massa itu sudah disiapkan da di-setting. Kami lalu dibantu masyarakat dan pemuka FPI, alhamdulillah, ada komunikasi. Namun, massa itu bergerak ke Asrama Brimob Polri di Petamburan. Mereka lalu menyerang dengan batu, molotov, petasan, dan botol-botol,” kata dia.

Meski telah dihalau, kata dia, massa justru malah masuk ke lingkup asrama dan melakukan perusakan serta membakar beberapa kendaraan baik pribadi maupun dinas yang terparkir. Hingga pukul 05.00, massa itu masih dilokasi. Di situ, ada massa yang terluka. “Ada informasi yang meninggal dunia, tapi kami sedang cek. Ada waktunya kami sampaikan. Untuk mobil rusak 11 unit, mobil terbakar 14 unit,” ujar Iqbal dalam jumpa pers di kantor Kemenko Polhukam, Rabu pagi.

Iqbal mengatakan, dari massa brutal tersebut polisi telah menangkap belasan orang yang sebagian besar dari luar Jakarta, seperti Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Dari massa yang ditangkap, polisi menemukan amplop berisi uang yang masih disimpan dan kini masih diselidiki lebih lanjut oleh Polda Metro Jaya. “Jadi, saua sampaikan, bahwa peristiwa dini hari tadi bukan massa spontan, tapi peristiwa itu by design,” kata Iqbal.

Menyikapi kerusuhan itu, Menteri Wiranto bersama Panglima TNI, Kapolri, Mendagri, Menkominfo, dan jajaran pemerintah lain pun menggelar jumpa pers.

Dalam kesempatan itu, di awal-awal Wiranto menanggapi terkait kondisi pra dan pasca kerusuhan. Bahwa, kata dia, pemerintah sebetulnya telah mengetahui dalang dari aksi tersebut. “Nah, untuk sementara, untuk menghindari provokasi dan berita bohong akan dilakukan pembatasan di medsos,” kata Wiranto.

Jika melihat pernyataan Menteri Wiranto, seolah-olah pembatasan medsos terjadi karena kerusuhan tersebut, bukan? Seharusnya pemerintah dengan jujur terbuka, mengapa pemerintah melakukan pemblokiran?

Jangan sampai ada analisis konspiratif yang muncul dari publik seperti ini: pemerintah memang menunggu momentum demonstrasi tersebut berujung chaos atau setidaknya terjadi kericuhan sedikit agar ada alasan kuat pemblokiran medsos. Masyarakat sekarang sudah pintar dan medsos adalah saluran dari suara masyarakat yang memang tak bisa tersuarakan melalui media mainstream.

Bagaimana jika dalam aksi kemarin, tidak ada “massa lain” yang berbuat onar: apakah pembatasan itu tetap dilakukan?

Apakah hoaks atau nyaris hoaks tak bisa dibikin oleh media mainstream? Karena dengan pembatasan itu, Menteri Kominfo Rudiantara ingin agar masyarakat kembali dulu ke media mainstream.

"Kita sangat mengapresiasi media mainstream. Biasanya mainnya di media online, kita kembali ke media mainstream," jelas dia. Menurut dia, pekerja media dan media mainstream memainkan peran untuk memberikan informasi yang jelas dan menenangkan masyarakat. (klik di sini)

Wartawan senior juga fotografer Kompas Arbain Rambey menulis menarik dalam rubrik Klinik Fotografi yang diampunya tiap Selasa. Edisi Selasa kemarin, ia menulis judul besar begini: “Foto Hoaks Belum Tentu Palsu, Foto Palsu Belum Tentu Hoaks”.

Kompas pernah dianggap menyebarkan foto tidak benar dan seakan hoaks jika tidak ada klarifikasi lebih jauh. Yaitu, ketika Fotografer Lasti Kurnia memotret pesawat di Bandara Ahmad Yani, Semarang. Dari segi foto tidak ada masalah, dan sangat indah, tapi yang menjadi masalah seakan-akan pantulan senja di permukaan landasan, ada genangan air. Padahal, bandara tidak boleh ada genangan air. Nyatanya, itu bukan genangan air, lapisan air yang tipis, hanya sekitar satu milimeter.

Kasus lain, Arbain mencontohkan kasus koran Le Figaro edisi 19 November 2008  yang terbit di Prancis. Koran itu memuat foto Menteri Kehakiman Perancis Rachida Dati sebagai headline. Namun, fotografer François Bouchon berkeberatan dengan penghilangan cincin di jari Rachida Dati. Karena cincin tersebut konon berharga sekitar Rp 300 juta, sementara pemiliknya adalah Menteri Kehakiman. Penghilangan cincin itu memang bukan hal yang ”diizinkan” di ranah jurnalistik. Apakah foto itu hoaks?

“Foto hoaks bisa terjadi karena tidak sengaja akibat kekurangpahaman. Namun, sebaliknya, tidak semua foto rekayasa akan menghasilkan hoaks. Efek sebuah foto selalu terjadi akibat peruntukannya,” tulis Arbain.

Kita ambil lagi contoh pada demonstrasi 1998 yang juga dilakukan fotografer Kompas, Julian Sihombing. Foto Julian menunjukkan mahasiswa terkapar di antara polisi, tanpa ada yang menolong. Foto ini dimuat dan menimbulkan persepsi buruk aparat. Namun, foto serupa yang dipotret oleh fotografer Bea Wiharta dan dimuat majalah Gatra menunjukkan lain. Mahasiswa tadi ditolong oleh aparat sambil dipapah. Manakah yang menjadi foto hoaks?

Rapat Pemblokiran

Apalagi, sejak pekan lalu, sebetulnya pemerintah telah membahas rencana “pemblokiran sebagian” terhadap medsos. Saya mendapatkan informasi ini dari Plt Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo, Ferdinandus Setu.

Disebut “pemblokiran sebagian” karena hanya foto/gambar dan video saja yang diblokir, sedangkan teks masih bisa diakses. Yang diblokir adalah Facebook, Twitter, Instagram, dan WhatsApp.

Saya melihatnya “pemblokiran sebagian” sengaja dirancang untuk menyikapi demonstrasi besar-besaran pada tanggal 22 Mei, bukan serta-merta karena kejadian kerusuhan pada Selasa malam hingga Rabu dini hari.

Dugaan saya sejalan dengan pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, dalam siaran persnya, Rabu sore, bahwa pembatasan itu dilakukan untuk membatasi penyebaran hoaks yang berkaitan unjuk rasa damai tentang pengumuman hasil Pemilu Serentak 2019. (Klik di sini siaran pers lengkapnya)

Menurut Rudiantara, hoaks menyebar karena melalui jejaring sosial layanan olah pesan, WhatsApp. Maka, di sinilah sumber hoaks harus ditutup. "Viralnya itu yang dibatasi," tutur dia.

Pembatasan itu, menurut dia, sesuai dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. "Jadi, UU ITE itu intinya ada dua. Satu, meningkatkan literasi, kemampuan, kapasitas dan kapabilitas masyarakat akan digital. Dan, kedua, manajemen konten yang salah satunya dilakukan pembatasan konten ini," kata dia.

Dalam hubungan telepon, Ferdinandus Setu (Nando) memberitahu, bahwa sebetulnya pembatasan medsos itu telah dibahas dalam rapat bersama di Kantor Kementerian Koordinator Polhukam. “Sekitar lima hari lalu,” ujar dia saat berbincang dengan Cyberthreat.id, Rabu sore.

“Hasil rapat itu (lalu) memutuskan pemerintah untuk melakukan pembatasan,” dia menambahkan

Apakah ide pembatasan usul dari Kementerian Kominfo?

Nando mengatakan, ide tersebut memang dari Kementerian Kominfo. “Kami baca dari literatur yang ada, memang, untuk mengamankan jalur komunikasi perlu dilakukan pembatasan informasi,” kata dia.

“(Itu dilakukan) agar tidak terjadi simpang siur informasi terutama berita hoaks,” ia menambahkan.

Berapa lama pemblokiran sebagian dilakukan? Nando mengatakan, di internal pemerintah tidak ada keputusan berapa lama pembatasan dilakukan.

“Maksimal sih 2-3 hari, tapi sambil melihat kondisi Jakarta. Ini sifatnya situasional. Jadi, benar-benar melihat keadaan apakah sudah aman dan terkendali benar atau belum,” ujar dia.

Jadi, apakah semata-mata pemblokiran karena kerusuhan? Dan, demi selamatkan negeri? Toh, sejak Pilkada DKI 2012 hingga sebelum diblokir tadi siang, jutaan hoaks politik dan lainnya telah merajalela masuk ke ranah privat pengguna medsos. Mengapa tak sejak dulu blokir itu dilakukan jika memang demi menyelamatkan negeri?