Negara Perlu Turun Tangan Bangun Kurikulum Cybersecurity

Ilustrasi

Cyberthreat.id - Chairman CISSReC dan pakar cybersecurity, Pratama Persadha, menilai pemerintah sudah seharusnya memikirkan peran negara dalam memasukkan kurikulum keamanan siber (cybersecurity) ke dalam sistem pendidikan nasional.

Dunia global telah memasuki era digital dan zaman data, dimana kehidupan antara dunia nyata dan ruang cyber sudah menyatu. Artinya, apa yang terjadi di ruang siber akan mempengaruhi dunia nyata, begitu pun sebaliknya.

"Perhatikan saja, apakah ada usaha untuk memasukkan kurikulum berkehidupan siber di jenjang pendidikan kita. Belum ada," kata Pratama kepada Cyberthreat.id, Senin (17 Februari 2020).

Indonesia, kata dia, berada dalam kondisi dimana ruang siber (cyberspace) sudah sangat rawan dan terancam. Pada saat bersamaan negara kurang memperhatikan aturan cybersecurity yang sudah menyangkut hajat hidup orang banyak.

Pembobolan akun, nomor rekening, data transaksi, dan pelanggaran lainnya sudah semakin marak. Jangankan orang sipil biasa, akun-akun milik CEO raksasa, akun perusahaan/organisasi, akun tokoh nasional, hingga akun milik klub olahraga raksasa dunia bisa dibobol.

Masyarakat, ujar Pratama, sudah seharusnya mendapatkan edukasi mendalam tentang berkehidupan siber yang aman, sehat, dan produktif. Termasuk sektor layanan publik seperti aparatur sipil negara (ASN), pegawai swasta, bahkan ibu rumah tangga pun perlu dipikirkan karena lebih dari 86 persen pengguna internet di Indonesia mendapatkan akses lewat smartphone.

"Dari sisi keamanan jelas, email kita adalah pintu masuk ke seluruh platform yang ada di internet, baik media sosial, marketplace dan platform lainnya."

Sebagian kecil masyarakat memang paham bagaimana mengamankan email dan akun media sosial. Misalnya, mengaktifkan dua langkah otentikasi dengan SMS, token maupun email tambahan. Tetapi, jauh lebih banyak yang tidak paham bahwa email dan nomor seluler adalah dua kunci paling penting saat manusia terjun ke dunia cyber.

"Karena itu wajib diamankan. Apalagi kemarin ada kasus Ilham Bintang yang nomornya diduplikasi dan berakibat uang di rekeningnya dikuras. Nomor juga menjadi pintu masuk mengubah dan mengambil alih email," kata Pratama.

Pintu masuk yang digunakan untuk membobol akun lalu melakukan peretasan juga beragam. Mulai dari phising via email, teks SMS, teks WhatsApp, pesan inbox di berbagai platform media sosial, marketplace dan lainnya.

"Masalah utamanya adalah tidak semua orang mengetahui ancaman phising."

Ancaman yang tak kalah besar salah satunya adalah WiFi sniffing. Tak semua orang mengetahui bahaya memakai WiFi gratisan yang konsekuensinya bisa sangat berbahaya. Bisa saja akun dan password diambil oleh para hacker yang menguasai akses WiFi gratisan.

"Artinya, kita kembali pada solusi edukasi. Tanpa edukasi sejak dini, maka kejadian peretasan itu bisa terus terjadi bahkan menjadi hal yang biasa. Padahal hal tersebut bisa direduksi minimal dengan edukasi luas kepada publik," ujarnya.