Iran Mampu Menggulirkan Operasi Hoaks dan Disinformasi ke AS

Ilustrasi

Cyberthreat.id - Sejumlah pejabat tinggi AS sedang bersiap untuk menghadapi serangan siber Iran sebagai tanggapan atas pembunuhan salah satu komandan pasukan khusus Garda Revolusi, Jenderal Qassim Soleiman, yang tewas di Baghdad, Jumat (3 Desember 2019).

Selain serangan siber terhadap infrastruktur kritis dan sektor sipil milik AS, pasukan siber Iran diprediksi juga memiliki kemampuan menggulirkan gelombang hoaks dan disinformasi di media sosial.

Masyarakat AS mungkin mengasosiasikan kampanye hoaks dan disinformasi dengan Rusia, sementara serangan cyber konvensional Iran bertujuan menyerang dan mematikan rumah sakit atau membahayakan jaringan listrik hingga transportasi.

"Kampanye disinformasi memiliki potensi untuk menabur perselisihan dan mempengaruhi pemilih Amerika," tulis CNN, Sabtu (4 Januari 2019).

Dalam beberapa tahun terakhir, dua raksasa media sosial Facebook (termasuk WhatsApp dan Instagram) serta Twitter telah menemukan orang dan organisasi yang diyakini terkait dengan pemerintah Iran, yang mengoperasikan ribuan akun media sosial rahasia.

Operasi kelompok tersebut digulirkan di dua platform besar dengan menyamar sebagai pengguna biasa dan organisasi independen, termasuk portal berita. Jumlahnya amat banyak dan masif.

"Iran siap menggunakan penggunaan operasi informasi online untuk mendukung tujuan geopolitiknya selama beberapa tahun terakhir, dan telah menyempurnakan berbagai taktik dan metode canggih yang terus diasah dan dimanfaatkan hari ini," kata manajer senior perusahaan keamanan siber FireEye, Lee Foster, Jumat (3 Desember 2019).

Foster bersama timnya telah mempelajari dengan seksama kampanye disinformasi Iran. Diantara taktik disinformasi yang mereka lihat digunakan oleh Iran adalah "penciptaan jaringan akun media sosial tidak autentik yang menyamar sebagai individu nyata yang cenderung politis, termasuk mereka yang bermarkas di AS".

"Akun-akun itu sering menyebar komentar kritis terhadap rival politik Iran," ujarnya.

Pemilu AS

Menjelang pemilihan presiden AS tahun 2016, Rusia melancarkan kampanye disinformasi yang menargetkan pemilih AS. Mereka menyamar sebagai aktivis Amerika dari berbagai spektrum politik. Akun-akun itu berusaha menebarkan perselisihan diantara masyarakat AS dan jarang menyebut-nyebut Rusia.

Tahun ini AS juga akan menggelar Pemilu yang berlangsung pada Selasa 3 November 2020.

Graham Brookie, direktur Laboratorium Penelitian Forensik Digital Dewan Atlantik, mengatakan kampanye online Iran mungkin agak berbeda. Hampir semua konten yang disebarluaskan oleh upaya pengaruh digital Iran berhubungan langsung dengan pandangan dunia atau tujuan kebijakan luar negeri spesifiknya.

"Iran berusaha untuk menyajikan dan membujuk ke pihak lain, sebagai lawan untuk terlibat dan menyusup untuk menyebabkan kekacauan di semua sisi," kata Brookie.

Brookie maupun Foster sepakat bahwa akun-akun yang dijalankan dari Iran telah berupaya memperburuk perpecahan di AS dengan cara yang masih sejalan dengan kepentingan Iran.

Oktober 2018, Facebook menghapus jaringan akun yang dijalankan dari Iran yang menargetkan orang-orang di AS dan Inggris. Ketila itu Facebook tidak dapat menentukan apakah akun itu terkait dengan pemerintah Iran.

Beberapa halaman Facebook diberi nama "Wake up America", "No Racism, No War," dan "Thirst for Truth" hingga meme yang diposting oleh pages itu termasuk tentang Donald Trump yang disebut sebagai "The worst, most hated president in American history!".