Asuransi Siber Penting sebagai Pelengkap Cybersecurity
Jakarta, Cyberthreat.id – Asuransi siber sejauh ini belum begitu diminati di Indonesia. Padahal, di era digital yang selalu terkoneksi internet, perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan teknologi penyimpanan data di cloud sangat rawan hilang atau diserang peretas (hacker).
Dengan memiliki asuransi siber, Cisco – perusahaan teknologi komunikasi juga fokus pada keamanan siber (cybersecurity), dalam situs webnya, mengatakan, mampu mengurangi risiko kerugian yang disebabkan oleh ancaman siber. Karena kebanyakan perusahaan tidak menyadari ancaman siber seperti serangan malware, ransomware, dan serangan DDoS. “Kemungkinan besar banyak perusahaan yang tidak memiliki persiapan untuk menangani berbagai kerugian yang diderita oleh perusahaan,” tulis Cisco.
Menurut Cisco, sebagian besar asuransi siber ada yang mencakup kerusakan fisik pada perangkat keras juga terhadap pendapatan bisnis. Paket asuransi bisa disesuaikan dengan bisnis yang dimiliki.
Bisakah mengganti keamanan siber (cybersecurity) dengan asuransi siber?
Cisco menjelaskan hal tidak sama. Asuransi risiko siber lebih fokus pada untuk mengurangi risiko kerugian. Asuransi bersifat melengkapi teknologi cybersecurity menyangkut manajemen pengamanan siber secara keseluruhan. “Asuransi siber menganalisis seluruh kekuatan cybersecurity, bahkan sebelum perusahaan mengeluarkan kebijakan apa pun ,” tulis Cisco.
Di Indonesia, saat ini ada enam perusahaan asuransi yang mulai mengenalkan produk asuransi siber sejak 2015, antara lain AIG, Chubb, Allianz, Zurich, Tokio Marine, dan TOZ. Tujuan utama dari asuransi siber ini memberi proteksi atau jaminan untuk menutupi kerugian yang diderita perusahaan jika terjadi serangan siber, termasuk jika terjadi tuntutan dari pihak ketiga yang juga merasa dirugikan dari aktivitas peretasan.
Layanan perlindungan dari enam perusahaan itu itu tidaklah berbeda jauh, yakni berupa tanggung jawab data pribadi terkait dengan informasi pribadi nasabah maupun karyawannya, tanggung gugat data perusahaan jika terjadi pelanggaran akan data perusahaan, perlanggaran data oleh outsource, serta perlindungan data atas risiko atas pelanggaran dan pencurian data.
Di Amerika Serikat, sebetulnya asuransi siber telah dikenal sejak 2005 dan diperkirakan pada 2020 total premi asuransi siber sebesar US$ 7,5 miliar.
Bagaimana dengan Indonesia? Sampai saat ini di Indonesia peminat asuransi siber bisa dikatakan masih sangat sedikit.
“Produk asuransi siber saat ini masih sedikit. Mungkin Karena banyak yang belum paham. Kalau saja pelaku bisnis tersebut paham bahwa risiko siber berdampak keuangan sangat besar bagi kelangsungan usahanya, mereka akan membeli produk asuransi tersebut,” kata Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Dody Dalimunthe kepada Cyberthreat.id, Jumat (10/5/2019).
“Setahu saya instansi pemerintah kita belum ada yang memakasi asuransi ini. Kalau di negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat, telah banyak perusahaan atau instansi (pemerintahan) yang pakai,” Dody menambahkan.
Redaktur: Andi Nugroho