Jelang Pemilu, Lembaga Negara Diminta Berkoordinasi Intensif Berantas Hoaks
Jakarta, Cyberthreat.id – Ketua DPR RI Bambang ‘Bamsoet’ Soesatyo meminta lembaga negara terkait agar berkoordinasi intensif memberantas hoaks jelang pencoblosan Pemilu 2019 pada 17 April.
Hoaks, kata Bamsoet, berpotensi mengancam legitimasi pelaksanaan Pemilu dan dikhawatirkan bakal berdampak terhadap jutaan warga yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap/DPT.
Lembaga negara terkait diantaranya Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) beserta Kepolisian melalui Direktorat Reserse Kriminal Bidang Cyber Crime dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
“Agar lembaga-lembaga ini lebih aktif dalam melakukan kontrol terhadap situs/akun yang melakukan penyebaran hoaks, ujaran kebencian dan kampanye hitam serta menindak tegas dengan memblokir situs/akun tersebut,” kata Bamsoet dalam keterangan persnya, Kamis (21/3).
Bamsoet juga meminta sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat lebih maksimal terutama mengenai literasi digital untuk menangkal hoaks. Tak lupa ia meminta peserta Pemilu yakni partai politik dan tim sukses beserta partisan, dan organisasi-organisasi yang berafiliasi di bawahnya berkomitmen melaksanakan kampanye aman tertib, damai, berintegritas tanpa hoaks, politisasi SARA dan politik uang.
“Masyarakat agar lebih kritis dalam membaca dan menerima informasi, terutama dari internet dan medsos, seperti dengan lebih memperhatikan judul, alamat situs atau sumber berita,” ujarnya.
Pengamat politik Emrus Sihombing menilai hoaks sudah berpotensimengancam tatanan kehidupan bernegara dan berbangsa. Ia sepakat dengan pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto yang menyatakan penyebar hoaks bisa masuk kategori peneror masyarakat.
“Bila hoaks itu berpotensi mengganggu, mengancam dan menimbulkan kekacauan atau keselamatan warga negara, baik secara individu atau kolektif, saya sepakat,” ujar Emrus.
Sebaliknya jika hoaks hanya berdampak pada tingkat pengetahuan tentang sesuatu, Emrus mengatakan dirinya perlu melihat dari sisi analisis kuantitatif untuk melihat dampaknya. Kemudian dilakukan analisis kualitatif dengan pendekatan semiotika dan framing untuk mengungkap makna dari rangkaian hoaks.
“Apakah hoaks dapat dijerat dengan UU Anti Terorisme atau UU ITE? Menurut saya tergantung pada gradasi makna dan pengaruh dari pesan dan penyebaran sebuah atau serangkaian pesan hoaks itu sendiri,” ujarnya.
Emrus membagi hoaks menjadi dua kategori. Pertama, hoaks yang mengancam tatanan sosial yang bisa menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat. Misalnya, menyebarkan pesan hoaks bahwa di satu wilayah hunian padat penduduk akan terjadi gempa dasyat yang disertai Tsunami yang hebat; hoax yang mengatakan bahwa aliran listrik ke rumah-rumah penduduk akan mati secara serentak di seluruh wilayah negara dan sebagainya.
Kedua, hoaks yang tidak mempunyai dampak serius. Misalnya, hoaks yang mengatakan bahwa ditemukan ada jejak manusia pertama di suatu desa di Indonesia; hoax tentang ada mahluk monster di sungai Kali Ciliwung; hoaks bahwa ada hewan berkaki empat menyerupai wajah manusia, dan sebagainya.
“Hoaks-hoaks semacam ini cukup hanya diduga melanggar UU ITE. Berlebihan jika dikenakan UU Anti Terorisme.”