ACHI: Ada Dugaan Permainan di PP 71/2019

Asosiasi Cloud dan Hosting Indonesia (ACHI)

Cyberthreat.id - Ketua Asosiasi Cloud dan Hosting Indonesia (ACHI), Rendy Maulana, menilai Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) tidak menguntungkan Indonesia secara keseluruhan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

"Itu seharusnya PP 82/2012 kemarin tidak diperbarui (revisi) ke PP 71/2019. Banyak pelaku industri termasuk asosiasi yang mencurigai bahwa ini adalah permainan," kata Rendy kepada Cyberthreat.id, Jumat (1 November 2019).

Pasal 21 ayat (1) PP 71/2019 menyatakan data center boleh ditempatkan di luar negeri. Sebaliknya jika data center diwajibkan berada di Indonesia, maka routing Indonesia akan lebih pendek untuk data internet.

Akibatnya sangat positif. Indonesia akan semakin kaya dengan content dan terpenting adalah internet Indonesia semakin murah karena data center berada di Tanah Air.

Saat ini, kata dia, semua beban routing internet Indonesia berada di Jakarta dan Singapura. Kalau ada kewajiban meletakkan data center di Tanah Air, maka Indonesia bisa bikin Disaster Recovery Center (DRC) di Kalimantan, Sumatera dan semuanya saling terhubung.

"Skala ekonomi akan membuat internet kita murah kan," ujarnya.

Skala ekonomi internet Indonesia saat ini masih kecil. Rendy mengibaratkan kondisi Indonesia merangkak yang mirip dengan Amerika Serikat di akhir tahun 1990-an. Sementara Indonesia butuh banyak content agar infrastruktur lebih banyak dibangun.

"Banyak content akan bikin kecepatan internet kita meningkat, biaya internet makin murah. Kenapa itu bisa terjadi? Karena banyak orang menyimpan konten website di server Indonesia."

Sebagai gambaran, QWords dalam kampanye Aksi Bela Internet Indonesia menyatakan perkembangan internet Indonesia begitu cepat dalam lima tahun terakhir. Pertumbuhan konten internet luar biasa besar. Sumber content internet berasal dari website, e-commerce, blog, startup, bisnis digital yang terus bertumbuh.

Bahkan laporan SEA E-conomy 2019 menyatakan nilai ekonomi internet Indonesia sudah mencapai Rp 566 triliun (40 miliar USD).

"Di Indonesia masih banyak data center kosong. Isinya enggak ada apa-apa. Padahal proyek Palapa Ring itu ada satu data center di setiap ibukota propinsi, diluar data center swasta. Itu semua terjadi karena negara kita terlalu besar tapi enggak punya infrastruktur yang terpadu (tidak ada subduct utility, untuk fiber)."

Raksasa Untung, Indonesia Buntung

Rendy mengingatkan, berlakunya PP 71/2019 hanya akan menguntungkan raksasa seperti Google, Facebook, Amazon, Alibaba dan Microsoft. Semua bekerja mengumpulkan data yang disebut sebagai ladang minyak baru.

"Facebook, Google, Microsoft dan Amazon cs memanfaatkan data tersebut untuk kepentingan mereka termasuk iklan. Dan kalau menempatkan data di Indonesia, menurut mereka masih belum sampai skala ekonominya, tidak menguntungkan," ujarnya.

Orang Indonesia, kata dia, punya kecenderungan menyukai produk dari luar. Apalagi jika diimingi dengan biaya dan harga lebih murah.

"Kalau enggak masif menempatkan data di Indonesia, masih lama kita murahnya," tegasnya.

Sebagai perbandingan, skala ekonomi internet di luar negeri sudah tercapai, misalnya di negara-negara maju. Biaya internet murah, sedangkan di Indonesia 1 Gbps masih sekitar 150-300 juta sebulan untuk biaya internet, itu diluar biaya local loop.

"Di luar negeri 1 Gbps hanya sekitar 10-30 juta. Jadi biaya internetnya lebih murah di luar negeri, itu karena content-nya banyak sehingga nilai ekonomisnya terasa."