BSSN: Waspada Separatisme dan Radikalisme di Ruang Siber
Cyberthreat.id - Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Letjen (Purn) Hinsa Siburian kembali mengingatkan bahaya ancaman siber di dunia Maya terkait separatisme dan radikalisme. Menurut dia, ancaman siber berupa gelombang disinformasi disebar secara masif pada berbagai saluran komunikasi melalui ruang siber (cyberspace).
"Serangan siber menyasar pada dua sasaran, yaitu sasaran fisik dan sasaran non-fisik," kata Hinsa di Yogyakarta, Kamis (24 Oktober 2019).
Sasaran fisik, kata dia, menargetkan perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) dari sistem siber yang bertujuan mencuri, mengubah, merusak ataupun melumpuhkan fungsi pada suatu sistem elektronik.
Sedangkan serangan siber dengan sasaran nonfisik merupakan serangan dalam bentuk informasi yang menargetkan psikologis individu, kelompok atau masyarakat untuk
mengubah opini atau motivasi bahkan ideologi sesuai dengan yang diharapkan pihak penyerang.
"Serangan non-fisik memiliki dampak yang sangat berbahaya, karena yang diserang adalah pikiran. Ia tidak menyebabkan kerusakan fisik, namun menyerang pusat kekuatan dan paradigma berpikir."
Hinsa mencontohkan gelombang disinformasi dan hoaks yang menyebabkan kerusuhan di Wamena beberapa waktu lalu. Kerusuhan, kata dia, tak hanya menyebabkan kerusakan bangunan dan fasilitas umum namun korban jiwa dan mengakibatkan puluhan ribu orang mengungsi.
Untuk menghadapi serangan siber non-fisik yang menyerang hingga ideologi suatu bangsa dan negara, bangsa Indonesia harus bisa membentengi diri dengan tetap berpegang teguh pada pusat kekuatan yang dimiliki.
"Bangsa Indonesia memiliki center of
gravity atau pusat kekuatan, yaitu Pancasila, terutama sila ketiga Persatuan Indonesia," tegas Hinsa.
Separatisme dan Radikalisme
Hinsa juga menyatakan peran kebudayaan dan karakter bangsa dalam upaya menjaga persatuan bangsa. BSSN, kata dia, tak menutup kemungkinan akan melakukan kerjasama dan peningkatan budaya, terutama budaya kesadaran keamanan informasi bersama Pemprov lain di Tanah Air.
"Kasus Wamena benar-benar mengusik persatuan dan kesatuan kita. Ini juga kami temukan di beberapa wilayah lain," ujarnya.
Bagi Hinsa, mengamalkan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai Pancasila dan UUD 45 menjadi langkah pencegahan utama, selain penguatan nilai-nilai agama, adat budaya, dan kearifan lokal.
Ia menganggap langkah itu lebih efektif dibandingkan dengan pembatasan akses internet. Pembatasan informasi, tegas dia, hanya akan efektif jika diterapkan di wilayah yang mengalami kekacauan.
"Memang (pembatasan internet) kurang efektif, terlebih saat ini pemerintah sedang berupaya meningkatkan kecepatan dan jaringan internet. Tetapi pembatasan bukan merupakan domain BSSN."