Bos Huawei Izinkan Barat Ubah Perangkat Lunak 5G Miliknya

Bos Huawei Ren Zhengfei | Foto: Bloomberg

Cyberthreat.id – Ren Zhengfei, pendiri sekaligus kepala eksekutif Huawei Technologies, mengatakan akan tetap menjual teknologi 5G-nya kepada negara-negara Barat.

Huawei, kata dia, bersedia memberikan para pembeli akses terus-menerus ke paten 5G Huawei yang ada, termasuk lisensi, kode, teknis cetak biru, dan segala informasi produksi dengan biaya satu kali.

Itu dikatakan Zhengfei saat diwawancarai The Economist pada 10 September lalu seperti dikutip dari South China Morning Post yang diakses Jumat (13 September).

Pembeli akan diizinkan untuk mengubah kode sumber perangkat lunak (software). Itu artinya baik Huawei maupun pemerintah China tidak akan memiliki kontrol terhadap infrastruktur telekomunikasi.

Hal itu memungkinkan segala kekurangan atau apa yang dianggap sebagai backdoor (pintu belakang) bisa diatasi tanpa keterlibatan Huawei.

Backdoor adalah kode khusus di perangkat lunak yang dibuat untuk bisa dieksploitasi pihak eksternal tanpa diketahui pemakai. Ancamannya adalah pihak luar tersebut bisa mengakses data dan informasi lewat “pintu belakang” tadi.

"[Huawei] terbuka untuk berbagi teknis dan teknologi 5G kami dengan perusahaan AS sehingga mereka dapat membangun industri 5G mereka sendiri," kata Ren.

"Ini akan menciptakan situasi yang seimbang antara China, AS, dan Eropa," ia menambahkan.

Menurut Zhengfei, apa yang dilakukan Huawei tersebut semata untuk kelangsungan hidup perusahaan. "Distribusi yang kondusif adalah kelangsungan hidup Huawei," kata Ren.


Berita Terkait:


Di Eropa, Nokia dan Ericsson adalah alternatif utama untuk Huawei menjalin kerja sama mengembangkan 5G. Di Korea Selatan ada Samsung dan ZTE di China.

Sementara perusahaan Amerika, seperti Cisco, Dell EMC, dan Hewlett Packard Enterprise kini telah mengembangkan teknologi 5G sendiri, tapi AS tidak memiliki spesialis peralatan infrastruktur sendiri.

Huawei telah mengembangkan teknik yang disebut "kode kutub" (polar codes), yang katanya akan memberi daya tahan baterai 5G pada perangkat lebih lama daripada alternatif yang disukai oleh banyak perusahaan Barat yang disebut "cek kepadatan rendah" (low density parity check).

Jika kode kutub diadopsi secara luas, Huawei akan mendapatkan lebih banyak biaya paten dari pembuat perangkat yang mendukungnya.

Seperti diketahui, Huawei selama setahun terakhir menjadi pusat perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Huawei menjadi salah satu perusahaan yang paling banyak disoroti dan dijegal bisnisnya. AS menuding peralatan buatan Huawei berbahaya bagi keamanan nasional AS.

Presiden AS Donald Trump beberapa kali menganjurkan para negara sekutunya untuk menolak produk 5G dan peranti Huawei lainnya. Tudingan bahwa peralatannya dipakai untuk aksi spionase tersebut dianggap Huawei terlalu berlebihan dan perusahaan selalu membantah ada kaitannya dengan intelijen China.


Berita Terkait:


Dalam wawancara itu, Ren mengatakan, bahwa Google telah melobi pemerintahan Trump untuk memungkinkan perusahaan bisa kembali memasok Huawei. Departemen Perdagangan AS telah menerima lebih dari 130 permintaan dari perusahaan AS pemegang lisensi yang akan menjual produknya ke Huawei, menurut laporan Reuters bulan lalu. Namun, hingga kini pemerintahan Trump belum memberikan lisensi itu.

Di antara para penolak Huawei, Australia adalah menjadi yang pertama di dunia yang melarang Huawei memasok peralatan untuk jaringan 5G-nya awal tahun ini. Alasannya adalah risiko keamanan nasional. Kini Eropa juga sebagian mulai ada tanda-tanda menolak, salah satunya Inggris.

Huawei dianggap salah memahami

Analis kebijakan ekonomi politik, Hosuk Lee-Makiyama, kepada BBC, mengatakan, usulan Huawei tersebut kemungkinan ditolak oleh Barat. Namun, ia menilai bahwa apa yang dilakukan Huawei adalah "langkah cerdas" untuk membuka jalan bisnisnya ke Barat. Setidaknya, itu upaya untuk meraih hati kepercayaan negara-negara kepercayaan Barat.

"Huawei salah memahami masalah yang mendasarinya," kata analis dari Pusat Eropa untuk Ekonomi Politik Internasional (European Centre for International Political Economy) tersebut.

"Masalahnya bukanlah kepercayaan dari Huawei sebagai vendor, tetapi kewajiban hukum yang dibebankan oleh pemerintah China kepada perusahaan,” ia menambahkan.

Hosuk Lee-Makiyama  mengatakan, Undang-Undang Intelijen Nasional China mewajibkan perusahaan dan warga negara China untuk menyerahkan data atau alat komunikasi yang mungkin mereka miliki aksesnya di bawah sanksi hukuman yang ketat.”

"Peralatan atau perangkat lunak apa pun yang dilisensikan Huawei ke entitas AS akan tetap berada di bawah kewajiban tersebut,” ujar dia.

“Dan, tidak ada cara bahwa entitas lisensi atau badan intelijen dapat meneliti jutaan baris kode untuk potensi pintu belakang."