PAPUA TANPA INTERNET
Yang Gundah Setelah Internet Tak Lagi Menyala di Papua
Jakarta, Cyberthreat.Id - Gilbert Yakwar tampak gundah. Sudah 10 hari Kabag Protokol Biro Humas Pemerintah Provinsi Papua itu mengaku kesulitan menjalin komunikasi. Pemblokiran akses internet yang dilakukan pemerintah pusat, kata dia, telah membuat birokrasi di sana lumpuh. Administrasi yang bersifat dokumen elektronik tak bisa keluar masuk.
“Kami sangat terganggu dari jalur komunikasi dengan daerah dan pusat. Administrasi yang bersifat elektronik yang biasa masuk setiap hari, semua terganggu,” kata Gilbert seperti dikutip BBC Indonesia.
Kegundahan Gilbert bermula sejak 19 Agustus 2019. Hari itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyatakan memperlambat akses internet di Papua menyusul gelombang unjuk rasa yang berujung kerusuhan di sejumlah kota di Papua. Unjuk rasa itu memprotes penangkapan dan dugaan ucapan berbau rasisme kepada mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, tiga hari sebelumnya.
Tak hanya memperlambat akses internet, dua hari berselang, pada 21 Agustus, Kominfo memblokir total akses internet untuk layanan seluler di Papu dan Papua Barat.
Sejak itu, kata Gilber, birokrasi lumpuh. Maklum, di era digital saat ini, kebutuhan terhadap akses internet telah merambah ke berbagai sektor. Dari urusan pemerintahan, perdagangan, antar jemput barang, hingga transaksi keuangan.
Kominfo sendiri beralasan penutupan akses internet di Papua lantaran banyaknya konten-konten video yang dianggap provokatif. Itu sebabnya, Kominfo memastikan blokir tidak dicabut selama belum ada rekomendasi dari aparat keamanan.
Namun, di Papua, Gilbert berpandangan lain. Kata dia, jika akses internet tak kunjung dibuka, berpotensi menimbulkan masalah baru. Orang-orang bisa marah lantaran menganggap ada diskriminasi.
“Jangan sampai sepekan lebih. Jangan nanti masyarakat berpolemik ada diskriminasi dengan internet. Cukup diskriminasi yang kemarin dibilang monyet. Jangan lagi komunikasi internet didiskriminasi,” ucap Gilbert.
Harapan Gilbert agar pemblokiran tak lebih sepekan tak terwujud. Saat artikel ini ditayangkan, Papua dan Papua Barat sudah 10 hari terisolir dari dunia maya.
"Jadi komunikasi jangan dianggap sepele. Internet sudah maju, masyarakat dan pemda sangat butuh akses internet. Indonesia maju dengan internet ya maju untuk semua," sambungnya.
Yang paling dikhawatirkan Gilbert, tak adanya akses internet bisa dimanfaatkan pihak lain untuk menyebar isu-isu melalui medium lain. Walhasil, warga kesulitan mengonfirmasi kebenarannya.
Atas Perintah Kemenko Polhukam
Di Jakarta, Ombudsman Indonesia merasa perlu menggali informasi lebih detail tentang alasan pemblokiran internet di Papua. Maka, pada Rabu, 28 Agustus 2019, Ombudman memanggil pihak Kominfo. Panggilan itu dipenuhi. Adalah Dirjen Aplikasi Informatika Samuel Abrijadi Pangerapan yang datang memenuhi panggilan.
Dalam pertemuan itu muncul sejumlah pertanyaan. Misalnya soal wewenang Kominfo. Lalu, jika masalahnya untuk menghambat hoax di sosmed, mengapa bukan layanan sosmed saja yang diblokir?
Menjawab pertanyaan itu, Semuel mengatakan, pemblokiran sosial media tidak bisa dilakukan per wilayah.
“Karena teknoloi pembatasan tidak bisa dilakukan secara regional terhadap medsos. Jadi, pembatasan tidak bisa regional,” kata Semuel.
Anggota Ombudsman RI Alvin Lie memakluminya. Alvin bilang, teknologi yang sekarang belum mampu memblokir media sosial tertentu saja.
“Misanya, suatu platform medsos kalau dibatasi hanya untuk Papua saja, itu belum bisa. Kalau dibatasi, ya seluruh Indonesia terbatasi. Nah, kami tadi juga bahas bahwa akses medsos saat ini terbanyak adalah menggunakan ponsel,” kata Alvin.
Hal lain, yang dibikin terang, soal siapa sebenarnya yang meminta pemblokiran. Ternyata, pihak Kominfo mengatakan mereka hanya menjalankan permintaan dari Kemenko Polhukam demi keamanan negara.
“Keamanan ini sifatnya lebih tinggi daripada yang lainnya,” kata Samuel.
“Kominfo inikan seperti polisi, seperti bea cukai, mereka melaksanakan permintaan dari pihak lain. Jadi bukan maunya mereka tapi karena ada permintaan,” timpal Alvin Lie.
Namun begitu, Ombudsman meminta pemerintah, dalam hal ini Kominfo, untuk mengevaluasi pemblokiran akses internet di Papua selama satu pekan ini. Sebab, kebutuhan masyarakat terhadap internet kini setara dengan kebutuhan pokok lainnya, seperti listrik.
"Jadi, yang tadi kami garis bawahi adalah kami mengingatkan Kominfo bahwa warga di Papua dan Papua Barat itu mempunyai hak untuk akses informasi melalui internet dan itu menjadi landasan kami untuk minta segera dilakukan evaluasi agar secara bertahap hak masyarakat di Papua dan Papua Barat untuk akses internet ini secara bertahap dipulihkan," kata Alvin Lie.
Sebelumnya, sejumlah LSM melakukan audiensi ke Kementerian Kominfo untuk meminta penjelasan tentang pemblokiran internet di Papua. Salah satu yang hadir adalah Damar Juniarto, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet).
Pihak SAFEnet menegaskan sudah mendapatkan penjelasan tersebut dari Menkominfo. Namun masih belum jelas kapan internet di Papua akan dibuka.
Damar juga menyebutkan bahwa Menkominfo mengambil kebijakan itu berdasarkan pasal 40 UU ITE.
"Dengan penekanan pada pasal 2a tentang kewajiban pemerintah untuk melakukan pembatasan dengan alasan ketertiban umum," Damar menjelaskan.
Di sisi lain, SAFEnet juga menyorot bahwa dalam kebijakan itu sendiri pihak Menkominfo tidak memiliki prosedur operasi standar yang jelas. Kesimpulan ini juga mereka dapat setelah audiensi dengan pihak kementerian tersebut.
Di sosial media Twitter, Damar juga rajin memberi informasi tentang dampak pemblokiran internet di Papua.
“Apa saja yg terganggu karena internet #PapuaDigelapkan ? Menurut koran Cendrawasih Pos hari ini (29/8), para pengemudi ojol, layan antar makanan, konsumen transportasi online. Apakah bakal dicap hoax?,” tulis Damar dalam salah satu ciutannya. []