Australia Blokir Situs Web Penyebar Ekstremisme
Sydney, Cyberthreat.id – Pemerintah Australia menyatakan perang siber terhadap para teroris. Situs-situs web yang menyebarkan terorisme akan diblokir.
Hal itu disampaikan Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, Minggu (25 Agustus 2019), seperti diktuip dari Reuters. Morrison mengatakan hal itu dalam pertemuan para pemimpin forum G7 di Prancis.
"Kami melakukan segala yang kami bisa untuk menangkal peluang teroris untuk menyebarkan kejahatan mereka," kata dia dalam sebuah pernyataan.
Menurut dia, langkah itu dimaksudkan agar para ekstremis tidak mengeksploitasi platform digital dengan unggahan-unggahan konten berbahaya.
Australia dan Selandia Baru telah meningkatkan pengawasan terhadap situs web dan perusahaan media sosial setelah pembantaian Christchurch pada Maret lalu.
Saat itu, 51 warga Muslim tewas dalam serangan terhadap dua masjid di Selandia Baru oleh warga setempat. Serangan itu disiarkan langsung oleh tersangka Brenton Tarrant melalui Facebook.
Pemerintah Australia mengatakan akan membangun kerangka kerja (framework) untuk memblokir domain internet yang menampung materi semacam itu. Komisi eSafety Australia akan menentukan berdasarkan kasus per kasus yang harus disensor. Mereka juga akan melibatkan industri internet menyangkut pengaturan blokir.
Pusat Koordinasi Krisis yang beroperasi 24 jam sepekan akan dibentuk untuk memantau dunia online terkait dengan ekstremisme atau materi-materi terorisme.
Sejauh ini, Pemerintah Australia belum merinci opsi legislatif apa yang akan digunakan jika platform digital gagal meningkatkan keamanan.
Raksasa teknologi termasuk Facebook, YouTube, Amazon, Microsoft dan Twitter, bersama dengan Telstra, Vodafone, TPG dan Optus diminta untuk memberikan rincian rekomendasi kepada pemerintah pada akhir September 2019.
Perusahaan-perusahaan tersebut adalah anggota Satuan Tugas untuk Memerangi Teroris dan Bahan Kekerasan Ekstrim Online, yang telah merekomendasikan kerangka kerja yang jelas.
Sky News Selandia Baru didenda US $ 2.560 oleh Otoritas Standar Penyiaran Selandia Baru awal Agustus ini karena memperlihatkan sejumlah klip yang diedit dan diambil dari video streaming 17 menit yang diduga milik penyerang Christchurch selama siaran berita.
Regulator mengatakan dalam penilaiannya, bahwa ketika siaran itu diberitakan, klip-klip berisi konten kekerasan yang mengganggu dapat berefek pada kesedihan atau justru mendukung tersangka dan mempromosikan pesan-pesannya.