Jokowi Usulkan Revisi UU ITE, Anggota DPR: Butuh Waktu Dua Tahun

Ilustrasi | Foto: freepik.com/Cyberthreat.id

Cyberthreat.id – Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menyambut baik wacana revisi Undang-Undang Nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disampaikan Presiden Joko Widodo.

"Dari sisi masyarakat hal ini [revisi UU ITE] tentu bisa memberikan rasa keadilan dan kenyamanan di masyarakat," kata Sukamta dalam pernyataan tertulisnya diterima Cyberthreat.id, Selasa (16 Februari 2021).

Meski begitu, Sukamta mengatakan, jangan sampai langkah merevisi UU tersebut sebatas “pergerakan politik”. "Jangan sampai revisi UU ITE ini hanya pergerakan politik kosong belaka," kata Sukamta.

Merevisi sebuah undang-undang, kata dia, juga memerlukan waktu sekitar dua tahun. UU yang direvisi kemungkinan baru diterapkan pada 2023 atau 2024.

Saat memberikan arahan dalam Rapat Pimpinan TNI dan Polri Tahun 2021 di Istana Negara, Jakarta, Senin (15 Februari 2021), Presiden RI Joko Widodo meminta kapolri untuk meningkatkan pengawasan agar penegakan UU ITE dapat berjalan secara konsisten, akuntabel, dan menjamin rasa keadilan di masyarakat.

Jokowi juga menuturkan, bahwa belakangan ini banyak masyarakat yang saling membuat laporan dengan menjadikan UU ITE sebagai salah satu rujukan hukumnya.

Hal tersebut sering kali menjadikan proses hukum dianggap kurang memenuhi rasa keadilan, tutur presiden.

“Pasal-pasal yang bisa menimbulkan multitafsir harus diterjemahkan secara hati-hati. Buat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal Undang-Undang ITE biar jelas,” kata Presiden.

“Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi Undang-Undang ITE ini karena di sinilah hulunya. Terutama, menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda yang mudah diinterpretasikan secara sepihak,” ujar dia.

Kembali ke awal tujuan UU

Pakar Telekomunikasi Heru Sutadi, memandang perlu pemerintah merevisi UU ITE secara menyeluruh.  Alasannya, sebagian pasal dalam UU sering disalahgunakan untuk menjerat masyarakat terkait dugaan pencemaran nama baik dan berita palsu (hoaks).

“Peluang multitafsir [terhadap pasal-pasal] masih besar ya, mau tidak mau UU ITE harus direvisi total,” ujar Heru juga Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute kepada Cyberthreat.id, Selasa.

Heru mengatakan, seharusnya UU ITE harus dimaknai sesuai dengan maksud dan tujuan awal UU ini dibuat. Kelahiran UU ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum akan informasi dan transaksi elektronik.

Kejahatan siber yang sebelumnya begitu marak seperti hacking, carding, dan lain-lain dapat ditangani dengan kehadiran UU tersebut. Sayangnya, dalam perjalanannya, UU ITE diartikan oleh beberapa pihak sebagai “UU sapu jagad” yang dapat digunakan untuk mempidanakan seseorang, khusnya melalui Pasal 27 ayat 3 terkait muatan penghinaan atau pencemaran nama baik.

Pandangan Heru juga senada dengan Sukamta. Menurut dia, UU ITE saat ini justru dipakai sebagian kalangan untuk melaporkan orang lain yang diduga melakukan pencemaran nama baik daripada pelanggaran transaksi elektronik.

"Banyak orang dilaporkan, ditangkap dan ditahan karena menyampaikan pendapatnya di internet," katanya.

Padahal, awal pembahasan UU ITE, kata Sukamta, untuk memberi kepastian hukum bagi para pelaku ekonomi dan bisnis di dunia maya.

Sukamta menyebut Pasal 27 ayat 3 yang selama ini disebut “pasal karet” sebetulnya telah direvisi pada 2016.

Saat itu, Sukamta yang menjadi anggota Panja revisi UU ITE menginginkan “pasal karet” tersebut ditinjau ulang. Akan tetapi, saat itu “mayoritas fraksi menginginkan pasal itu dipertahankan dengan ancaman pidananya dikurangi dari 6 tahun menjadi 4 tahun penjara.”

Pengurangan maksimal ancaman pidana penjara, kata Sukamta, agar tidak ada lagi ada kriminalisasi. Namun, pada kenyataannya, sekarang pasal ini digunakan melebar ke pasal-pasal lain seperti pasal hoaks dan pasal keonaran, tutur dia.

Sukamta mengatakan revisi UU ITE pada saat itu menyangkut pemblokiran situs internet, right to be forgotten, penyadapan, dan penyidikan.

Fraksi PKS dalam beberapa tahun terakhir mengusulkan revisi UU ITE dalam RUU Prolegnas, tetapi kurang mendapat dukungan dari parlemen.

Ia pun berharap bahwa revisi UU ITE benar terjadi dengan harapan bisa memberikan kejelasan hukum berasaskan keadilan.[]

Redaktur: Andi Nugroho