Pendiri WhatsApp yang Kini Pimpin Signal Bicara Soal Dua Aplikasi Itu, antara Godaan Uang dan Privasi Pengguna
Cyberthreat.id - Setelah WhatsApp mengumumkan kebijakan barunya memaksa penggunanya untuk menyetujui data mereka dibagikan dengan perusahaan di bawah naungan Facebook, aplikasi Signal mencatat pertumbuhan unduhan 5 kali lipat dari sebelumnya untuk pengguna ponsel Android, dari sebelumnya 10 juta, menjadi 50 juta pada 12 Januari 2021. Lonjakan itu seperti dipamerkan lewat akun Twitter Signal hari ini.
Salah satu sosok penting di balik kedua aplikasi itu adalah Brian Acton. Dia dan Jan Kaum yang sama-sama pernah bekerja di Yahoo mendirikan WhatsApp pada 2009. Lima tahun kemudian, pada 2014, WhatsApp dibeli Facebook senilai US$ 19 miliar atau setara Rp200 triliun.
Sebelum dibeli Facebook, WhatsApp mengutip biaya US$ 1 dolar per tahun. Itu lantaran Brian ingin WhatsApp bisa hidup tanpa bergantung dari pendapatan iklan. Namun, setelah diakuisisi Facebook, Mark Zuckerberg mencabut ketentuan itu dan menggratiskan WhatsApp.
Sebagai konsekuensinya, Mark membutuhkan data pengguna WhatsApp untuk disinkronkan dengan Facebook sebagai bagian dari strategi penyajian iklan agar menjangkau pengguna yang tepat. Dengan begitu, Facebook bisa menyajikan iklan Adidas kepada seseorang yang benar-benar penyuka Adidas, alih-alih menyajikan iklannya kepada pecinta merek sepatu lain. Dengan begitu, pemasang iklan akan merasa beriklan di Facebook sangat tepat sasaran dan tidak akan beralih ke platform lain. Dengan cara itulah Facebook meraup keuntungan hingga menjadi salah satu perusahaan raksasa teknologi terbesar dunia. Sebagai gambaran, pada kuartal kedua 2020 saja, Facebook membukukan pendapatan sebesar US$ 18,69 miliar atau sekitar Rp274 triliun. Nilai perusahaannya pun diramal bakal tembus Rp14.600 triliun
Tapi Brian Acton tak sependapat dengan cara Mark. Dia ingin WhatsApp tak mengorbankan data penggunanya untuk meraup keuntungan. Tapi, dia tak kuasa mencegahnya. Saat keputusan itu dibuat, dia bukan lagi penentu kebijakan, melainkan Mark Zuckerberg selaku bos Facebook. Walhasil, Brian yang marah memilih meninggalkan aplikasi yang pernah didirikannya. Saking marahnya, dia pernah menyerukan orang-orang untuk menghapus Facebook lewat tagar #DeleteFacebook.
Brian yang patah hati kemudian bergabung ke Signal dan mendirikan Signal Technology Foundation bersama Moxie Marlinspike pada 2018. Sekadar informasi, teknologi enkripsi ujung ke ujung yang diterapkan di Facebook berasal dari protokol Signal.
Berbeda dengan WhatsApp yang dikelola di bawah perusahaan bisnis, Signal dikelola oleh yayasan nirlaba. Tak mencari keuntungan. Lantas, dari mana mereka mendapatkan uang untuk operasional dan membangun infrastrukturnya?
Dalam wawancara terbaru dengan Tech Crunch, Brian Acton mengatakan dia masih mengandalkan konsep seperti ketika awal mula WhatsApp didirikan: dari donasi penggunanya. Nilainya tetap sama, yakni US$1 per tahun. Itu artinya, Signal harus menggaet banyak pengguna untuk mendapatkan uang masuk.
“Jika Signal menjangkau satu miliar pengguna, itu berarti satu miliar donor. Yang harus kami lakukan adalah membuat Anda sangat bersemangat tentang Signal sehingga Anda ingin memberi kami satu dolar. Idenya adalah kami ingin mendapatkan donasi itu. Satu-satunya cara untuk mendapatkan donasi itu adalah dengan membangun produk yang inovatif dan menyenangkan. Itu hubungan yang lebih baik menurut saya," kata Brian Acton.
Brian mengatakan model ini telah berhasil untuk bisnis, yang memiliki staf di bawah 50 orang. Antara pengeluaran hemat dan sumbangan yayasan, Signal masih memiliki sejumlah uang di bank. Brian sendiri pada awal bergabung dengan Signal menempatkan uangnya US$ 50 juta.
Dengan cara itu, Brian yakin privasi pengguna tetap terjaga dan pengelola aplikasi juga mendapat pemasukan.
Fakta bahwa pengguna Signal "meledak" lantaran kebijakan WhatsApp itu, menurut Brian, adalah bukti bahwa orang-orang ingin datanya tidak dimonetisasi.
"Peristiwa terkecil membantu memicu hasil terbesar. Kami juga senang dapat melakukan percakapan tentang privasi online dan keamanan digital dan orang-orang beralih ke Signal sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut,” ujarnya.
“Ini adalah kesempatan besar bagi Signal untuk bersinar dan memberi orang pilihan dan alternatif. Itu adalah luka bakar yang lambat selama tiga tahun dan kemudian menghasilkan ledakan besar. Sekarang roketnya meluncur,” katanya bertamsil.
Peristiwa yang dimaksudnya adalah perubahan terbaru dalam kebijakan berbagi data yang diungkapkan oleh WhatsApp yang penggunanya kini mencapai 2 miliar orang di seluruh dunia.
Sekedar mengingatkan, WhatsApp telah meminta pengguna dalam beberapa hari terakhir untuk menyetujui persyaratan ketentuan baru yang memberikan aplikasi izin untuk membagikan data pribadi mereka dengan Facebook. Pengguna harus menyetujui persyaratan ini sebelum 8 Februari jika mereka ingin terus menggunakan aplikasi, kata peringatan itu.
Brian mengatakan WhatsApp bergulat dengan menggabungkan fitur-fitur monetisasi sambil tetap melindungi privasi orang. Dan "kebijakan rumit" barunya telah memaksa WhatsApp dan media untuk mencari penjelasan dan "membuat semua orang bingung".
Menariknya, meskipun telah secara terbuka mendesak pengguna untuk keluar dari Facebook, Brian tidak menyarankan agar orang-orang berhenti menggunakan WhatsApp. Sebaliknya, Acton mengatakan dia membayangkan orang-orang mengandalkan Signal untuk percakapan dengan keluarga dan teman dekat mereka, dan menggunakan WhatsApp untuk obrolan lain.
“Saya tidak ingin melakukan semua hal yang dilakukan WhatsApp. Keinginan saya adalah memberi orang pilihan, ”katanya. “Jika tidak, Anda terkunci pada sesuatu yang Anda tidak punya pilihan. Ini bukan hanya skenario pemenang mengambil semua."
Salah satu kritik yang sering diterima WhatsApp adalah tidak cukup untuk mengekang penyebaran informasi palsu di platformnya, yang mengakibatkan korban jiwa di kehidupan nyata. Terkait hal itu, Brian mengatakan ini adalah tantangan yang sulit dan meskipun teknologi dan platform memiliki tanggung jawab masing-masing, mereka tidak dapat melakukan banyak hal terutama ketika tidak dapat melihat isi percakapannya (lantaran dlindungi dengan enkripsi).
Sebagai solusinya, kata Brian, perkuatlah literasi digital bagi orang-orang di sekeling Anda.
“Anda harus mengajari anak-anak Anda tanggung jawab digital yang baik. Jangan langsung mengambil informasi yang Anda peroleh. Pahami sumbernya. Pahami siapa sumber terpercaya. Sebagai masyarakat, ajari setiap anggota cara kerjanya, ”katanya, menunjuk ke masa awal internet ketika penipuan email merajalela dan seiring waktu dan pendidikan orang belajar cara mengidentifikasinya.[]